Selamat, Anda diterima di fakultas kedokteran Universitas X.
Kalimat ini, terlihat sederhana dan tanpa makna atau kata-kata puitis di sana.
Font yang dipakai pun biasa saja, tapi ada banyak orang yang bahagaianya tidak
ketulungan ketika membaca kalimat ini pada gawai yang dipegangnya. Yap,
diterima menjadi mahasiswa kedokteran merupakan mimpi yang didambakan banyak
anak, bahkan bukan Cuma anaknya, tapi juga bapak ibunya. Tak terasa, perjuangan
yang selama ini dilakukan akhirnya berbuah manis. Calon dokter, menjadi salah
satu yang dirasa derajatnya sedikit tinggi dibandingkan kawan-kawan yang diterima
di jurusan lain.
Aih, ternyata kemudian apa yang diimpikan berbenturan dengan realita.
Perjuangan menjadi seorang dokter ternyata bukanlah jalan yang mudah. Ada
banyak ujian yang harus dilewati, dari asistensi pagi hari, pretest dan
postest, sampai responsi dan ujian Blok selalu menghantui. Dan kemudian, niat
untuk menjadi mahasiswa kedokteran itulah benar-benar akan diuji.
Ada banyak kemudian yang mulai merasa cemas. Dari sekian ujian yang
dilewati, ternyata mulai banyak yang gagal lulus atau remidi. Sesuatu yang
dianggap baru bagian sebagian besar mahasiswa baru ini, ya selama ini mereka
selalu menjadi bintang di kelasnya, dari TK sampai SMA. Ranking satu dua yang
biasanya menjadi makanan sehari-hari, kini hanya menjadi impian di tengah siang
bolong. Tak jarang yang kemudian merasa terbebani dengan berbagai status merah
atau remidi yang disandangnya. Ya mau gimana lagi, dulu biasanya yang teratas,
sekarang malah jadi yang terbawah.
Di titik awal seperti inilah kemudian kesungguhan masing-masing
mahasiswa itu kembali teruji. Dan ternyata, bukan satu dua saja yang
mengalaminya, ada banyak dari mahasiswa kedokteran yang merasakan ketakutan dan
tekanan yang sama. Dari seorang juara kelas, lalu harus bersusah payah demi
lolos dari remidi. Dari seorang juara olimpiade, lalu harus mengais-ngais nilai
demi tidak ujian lagi. Dan ternyata, saya juga pernah termasuk di antara
mereka.
Adalah sejak osmaru (orientasi mahasiswa baru) bermula, saya mulai
merasakan tekanan ini. Dulu, saya merasakan kegelisahan yang sama. Saat itu
kelompok kami melanggar salah satu aturan, dan oleh mas mas komdis kami diberi
hukuman untuk menghapalkan 9 regio abdomen. Eh regio, makanan apa itu? Abdomen?
Apakah itu makanan khas Jepang? Oke itu ramen, gak lucu btw. Tapi beneran, saya
tertekan. Di hari berikutnya ketika harus setoran, terlihat kawan-kawan saya
merapalkan kesembilan regio dari hipocondriaca dextra sampai lumbal sinistra
dengan lancar. Sementara saya masih saja kagok dan mencerna apa maksud dari
semua ini.
Pun mulai masuk course, dari Anatomi, Fisiologi, hingga Histologi. Saya
masih takjub dengan kawan-kawan saya yang tiap kuliah selalu menganggukkan
kepala. Sementara saya hanya terdiam tak percaya, istilah apakah semua ini. Apa
benar saya harus menghafal semuanya. Apa benar saya harus memahami segalanya?
Dan puncaknya, ketika sampai fase responsi saya remed 2 dari 3 mata kuliah itu.
Pun untuk course fisiologi yang lolos pun, saya sama sekali belum paham apapun
kecuali bahwa homeostasis itu adalah sebuah keseimbangan layaknya yin dan yang.
Rasa minder kemudian menyelimuti lagi ketika memasuki blok-blok
selanjutnya. Dari blok Biomolekuler sampai blok Immunologi, saya lihat
kawan-kawan yang lain dengan mudahnya memahami diagram-diagram itu. Sementara
saya, bahkan bisa hafal satu enzym saja sudah bersyukur. Jangankan berharap
nilai A, lulus aja sudah menjadi salah satu hal yang membuat saya bahagia.
Dan saya semakin tertekan ketika setiap diskusi teman-teman saya selalu
memahami setiap materi yang diberikan. Saya tertekan, meskipun saya masuk UNS
bukan dari jalur undangan, tapi tetap saja beban menjaga nama seorang hafizh
itu bukan beban yang sederhana. Tapi saya selalu menghibur diri, “gapapa, kan
dulu mereka dari sekolah negeri, jadi ya emang mereka udah fokus ke materi
seperti itu dari lama. Kan dulu aku banyak belajar huruf arabnya jadi ya gapapalah
adaptasi”. Sebuah pembenaran yang sebenarnya tidak sepenuhnya benar, tapi tetap
saya gumankan demi menghibur diri agar tidak berlarut dalam kesedihan.
Pun kemudian ketika akhirnya melihat kakak tingkat yang berprestasi
dengan segala caranya, di organisasi, menjadi asisten lab, menjadi delegasi
olimpiade, saya menjadi semakin minder. Duh, IPK kok Cuma segini, mungkin gak
ya bisa sekeren mereka. Duh, saya gak paham banyak hal, bisa gak ya bermanfaat
seperti mereka. Saya pun saat itu Cuma mencanangkan dua mimpi yang keliatan
muluk, menjadi delegasi IMO musculoskeletal dan asisten anatomi, meskipun sama
sekali ndak tahu gimana caranya nantinya.
Adalah kemudian akhirnya Allah yang memudahkan jalannya. Saya
dipertemukan dengan Jibril, Mas Taufik, dan kawan-kawan lain yang kemudian
membimbing saya untuk banyak belajar. Hingga akhirnya diterima menjadi asisten
anatomi menjadi titik balik pertama saya. Saya yang notabene berIP pas-pasan,
dipertemukan dengan kawan-kawan hebat yang tak diragukan etos belajar dan
kecerdasannnya. Dan saya bersyukur, semangat belajar mereka menular, yang
awalnya saya menganggap bahwa belajar itu adalah sebuah hal yang susah, karena
tekanan dari kawan-kawan yang pintar akhirnya perlahan saya mulai belajar
menikmati semua hal itu.
Pun kemudian titik balik kedua saya ada saat saya terpilih menjadi
seorang ketua himpunan. Adalah saya sering memotivasi staff saya untuk belajar,
kemudian saya tertohok seandainya etos belajar saya tidak lebih dari mereka.
Dari situlah kemudian saya mencoba untuk lebih aktif dalam diskusi tutuorial,
lebih serius ketika belajar OSCE, dan lebih berusaha ketika akan menghadapi UB.
Dan berbagai hal yang dulu saya anggap sebagai beban, ternyata perlahan berubah
menjadi kenikmatan. Dan saya bersyukur, Allah berikan kemudahan untuk berbalik
di titik ini.
===
Dalam berbagai kesempatan diskusi dengan beberapa orang, termasuk kakak
tingkat dan dosen saya, beliau pernah berpesan bahwa setiap orang memiliki
titik baliknya masing-masing. Yang perlu dilakukan sekarang hanyalah berusaha
untuk meraih titik balik itu. Karena sejatinya juga, hidup kita adalah
benar-benar seperti roda, ada begitu banyak titik balik, dan semudah itu Allah
kemudian membolak-balikkan kita, atau menaik turunkan derajat kita. Di sanalah
kemudian, keinsafan bahwa diri kita tak ada apa-apa tanpaNya perlu ditanamkan.
Seperti di awal, ada mereka yang juara kelas dari SD-SMA, tapi kemudian
Allah berikan ujian yang cukup berat selama menjadi mahasiswa kedokteran.
Kemudian dia berusaha survive, Allah mudahkan, hingga akhirnya bisa berprestasi
semasa preklinik, lalu Allah pertemukan dengan masa koas yang kata sebagian
orang ialah seperti keset. Masa koas terlampaui, lalu tersematlah gelar dokter.
Dibanggakan keluarga hingga mungkin warga desa, tapi kemudian ketika mengambil
PPDS dijadikan lagi dia di bawah, bahkan bahasa kasarnya di bawah keset.
Begitulah takdir hidup berjalan, ada kalanya kita di atas, tapi tak
jarang juga kita di bawah. Maka benalah kemudian ketika dokter Indah kemarin
berkata bahwa dokter itu sama sekali tak layak untuk sombong. Karena tadi,
semudah itu kemudian Allah akan mengubah derajatnya. Di sanalah kita kemudian
belajar akan kesyukuran ketika berada di atas, dan kesabaran ketika berada di
bawah.
Maka ketika barangkali tiba masa-masa sulit itu, semoga kita terus
dikuatkan. Karena pasti Allah yang akan memberikan titik balik bagi kita. Bisa
jadi titik balik itu bukan di masa pre klinik ini, bisa jadi ketika koas, bisa
jadi ketika sudah lulus dokter, ketika sudah berkeluarga, memiliki anak, atau
saat-saat setelahnya. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha dan percaya, bahwa
akhir yang baik akan diberikan kepada mereka yang percaya janjiNya.
Dan bukankah untuk melihat sunrise dari puncak gunung dengan indah
diperlukan pendakian yang tak mudah?
Maha benarlah firmanNya ketika manusia berangankan surga
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?” (Al
Baqoroh: 214)
Semoga aku dan kamu dikuatkan. Kalau kamu lagi bete, cerita aja. Kalau kamu
lagi lelah, cerita aja. Kalau kamu lagi butuh bantuan, cerita aja. Kalau cerita
kepada manusia belum menyelesaikan masalah, coba cerita dalam sujudmu di atas
sajadah
Huda S Drajad
G0015110