“Dan berserulah kepada manusia
untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan
kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang
jauh.”
Seperti itulah kalimat yang terukir dalam Al Qur’an,
menggambarkan perintah Allah kepada sosok agung yang didaulat menjadi teladan
umat ini. Dialah Nabi Ibrahim a.s, sang kekasih Allah.
Beberapa pertanyaan mungkin terbesit di benak kita.
Mengapa Nabi Ibrahim a.s dipilih menjadi teladan? Mengapa beliau dilantik
sebagai seorang qudwah? Mengapa harus beliau? Mengapa bukan orang lain
yang memiliki pengaruh lebih besar? Seorang raja, misalnya? Jawabannya adalah
karena beliau mempunyai keyakinan yang jarang dimiliki oleh manusia pada
umumnya.
Mari kita lihat, pada saat itu turun perintah dari
langit kepada beliau guna menyeru manusia untuk berhaji di sebuah tempat
terpencil, di tengah padang pasir yang tandus, jauh dari hingar bingar dunia
dan keramaian manusia. Sebuah perintah yang mungkin terasa amat janggal bagi
diri kita. Mustahil. Impossible. Bagaimana mungkin manusia bisa
menjawab seruan seseorang di sebuah tempat yang tak satupun mahluk tinggal di dalamnya? Sebuah perintah yang menurut
kita tidak masuk akal, namun
tidak demikian halnya bagi Nabi Ibrahim a.s.
Sebagaimana seorang teladan seharusnya bekerja, beliau
melaksanakan perintah-Nya tanpa banyak keluhan.
Beliau bekerja walau hal itu dianggap mustahil bagi logika manusia.
Dan hasilnya dapat kita lihat sekarang, berbondong-bondong manusia berangkat menjawab
seruan tersebut. Berhaji ke baitullah, Masjidil Haram.
Seperti itulah logika langit bekerja. Ajaib. Sulit
untuk dijangkau logika manusia. Terlalu rumit untuk dicerna akal seorang hamba.
Tapi begitulah, karena apa yang jadi dongeng manusia bisa terwujud di tangan
mereka yang percaya janji-Nya.
Maka sudah sepatutnya bagi kita, selaku umat yang
telah diberi teladan oleh Sang Penguasa Langit, untuk meniru apa yang telah beliau lakukan. Juga berusaha
mengenal lebih dalam cara ‘ajaib’ yang telah beliau gunakan. Belajar lebih banyak sistem logika
langit yang sudah
selayaknya kita tirukan hingga terciptanya karakter manusia langit. Dicintai
malaikat, dirindu manusia.
What’s Logika
Langit? Mungkin itu yang terbesit di pikiran kita. Secara etimologi, seperti
yang tersebut di Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘logika’ bermakna pengetahuan
tentang kaidah berpikir, sedangkan ‘langit’ bermakna ruang luas yang terbentang di atas
bumi.
Logika langit di sini bukan diartikan sebagai pengetahuan
tentang kaidah berpikir terhadap langit. Bukan. Logika langit yang kita bahas disini
memiliki makna lebih dalam. Sebuah konsep berpikir di luar batasan yang manusia
buat. Sebuah logika yang tidak hanya mengandalkan kemampuan akal, akan tetapi
lebih mengandalkan keMahaKuasaan Sang Pencipta. Sebuah logika yang hanya bisa
digunakan oleh mereka yang yakin akan segala janji-Nya.
Tapi terkadang kegelisahan
menghampiri kita. Kita telah meyakini janji-Nya. Kita telah memohon kuasa-Nya dalam
setiap sujud kita, tapi kenapa masih ada kesulitan yang sulit kita hadapi?
Mari kita lihat kembali perjalanan uswah kita. Ketika
beliau meminta kepada Rabbnya untuk memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan
orang mati. Bagaimana cara Allah menjawabnya? Apakah serta merta Dia memperlihatkan
sesosok mayat yang tidak bernyawa, kemudian Dia tiupkan kembali ruh sehingga
mayat itu menjadi hidup kembali?
Bukan, bukan begitu cara Allah menjawabnya. Dia tidak
melakukannya, meskipun dengan satu kata ‘kun’ Dia mampu mewujudkan segalanya.
Dia justru memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menangkap empat ekor burung,
mencincangnya menjadi kecil, dan meletakkan setiap bagiannya di gunung yang
berbeda. Lalu Dia perintahkan beliau untuk memanggil burung-burung itu kembali,
dan keempatnya pun terbang kembali menghampirinya seperti sedia kala.
Kemudian coba kita ambil contoh yang lain. Ketika Siti
Hajar mencari setetes air untuk Isma’il kecil yang menangis kehausan. Tujuh kali
ia berlari bolak-balik dari Shafa ke Marwa. Mungkin sebenarnya ia tahu mustahil
menemukan air disana. Namun begitulah, ia ingin menunjukkan kesungguhannya
kepada Allah. Ia tahu bahwa Allah ingin melihat perjuangannya. Dan akhirnya? Memancarlahlah
air itu. Bukan diantara jejak dan jalan yang ia telusuri. Bukan, bukan. Namun
tepat di bawah jejakan kaki Isma’il kecil.
Subhanallah, begitulah keajaiban itu datang. Ia
terletak setelah kerja keras dan perjuangan yang nyata. Dan seringkali datang
dari arah yang sama sekali tidak kita duga. Maka berjuanglah dan yakini, Allah
tidak akan pernah menyia-nyiakan iman dan amal hamba-Nya. Namun ketika
keajaiban itu tak kunjung datang, ketika segala sesuatunya tidak berakhir
sesuai dengan yang kita inginkan, ingatlah bahwa Allah selalu punya kejutan
yang menarik untuk kita. Ingatlah bahwa Dia selalu punya skenario yang lebih
indah daripada apa yang kita duga.
Mereka telah membuktikannya, kapan kita? [Huda]
Ket :
Artikel ini dimuat di El HUFFAZH edisi 7 "LOGIKA LANGIT". Terbit 8 April 2014. Masih ada banyak artikel yang ada di majalah super keren kita ini. Kalo kalian berminat hubungi gue ato ke e-mailnya EL HUFFAZH di elhuffazh@gmail.com . Harganya juga murah kok, cuma lima belas ribu doang :)