10
November ditetapkan sebagai hari pahlawan, karena peristiwa agung yang terjadi
di Surabaya zaman dahulu. Adalah saat itu, Bung Tomo memimpin kaum pribumi
melawan kaum londo yang menirani. Dan terukirlah kalimat yang menyejarah itu,
merdeka atau mati, “Isy Karima au Mut Syahida”.
Setiap
dari bangsa mempunyai pahlawan, begitu pula ibu pertiwi. Ya, Indoneisa mempunyai
berjuta pahlawan, dari yang terkenal mendunia hingga yang menjelata di
desa-desa. Ada Tuanku Imam Bonjol dengan perang paderi-nya hingga Pangeran
Diponegoro yang dengan perang gerilya-nya mampu menggentarkan Belanda. Tapi ada
pula, bahkan bejibun jumlahnya, mereka yang tiada pernah tertulis nama, tapi
para generasi penerus masih mewarisi karya.
Sayang,
dewasa ini banyak orang yang melupakan jasa-jasa mereka. Meski tak mesti
sosok-sosok mereka diabadikan sebagai patung di jantung keramaian. Tak perlu
pula nama mereka diabadikan menjadi nama-nama jalan. Tidak, bukan itu yang
mereka inginkan. Karena sungguh, bukanlah ketenaran yang mereka citakan.
Dalam
berjuang, yang mereka inginkan hanyalah agar anak cucu, agar para generasi
penerus melanjutkan perjuangan yang telah mereka mulakan. Mereka hanya ingin
bangsa ini maju, menjadikannya negeri yang makmur sentausa, gemah ripah loh
jinawi, terberkahi dalam setiap jengkal tanahnya. Itu cukup.
Maka
benarlah istilah yang diungkapkan oleh sang bapak Proklamator Indonesia, Ir
Soekarno, “JAS MERAH”, jangan sampai melupakan sejarah. Janganlah kita lupa,
bahwa negeri ini ada berwasilah dengan jasa para pahlawan.
Di
sudut yang lain, ada pahlawan lain yang tiada masyhur. Mereka tiada diberi
gelar pahlawan berdasar SK Negara. Jalan-jalan juga tiada dinamai dengan nama
mereka. Dan makam mereka pun berbaur dengan rakyat lain dengan bersahaja.
Merekalah guru, pahlawan tanpa tanda jasa.
Entah
kenapa di hari pahlawan, jasa-jasa mereka jadi sering terlupakan. Dan julukan
itu pun seolah menguap ditelan zaman. Bahkan, martabat guru kini semakin
direndahkan, dipandang sebelah mata, dianggap sebagai pekerjaan yang tiada
bermanfaat di dunia.
Tapi
ada juga fenomena yang berkebalikan dari semua itu. Ada segolongan manusia yang
lain, yang menganggap guru adalah ranah yang prospek untuk mengeruk kekayaan di
dunia. Etos kerja dikesampingkan, sehingga substansi guru yang seharusnya
digugu lan ditiru pun jadi terlupakan. Begitu banyak pengajar yang sibuk
mencari sertifikasi, hingga teralihkan dari tugas mereka untuk mengajar para
siswa dan siswi.
Maka,
bukan 100% salah para siswa, jika banyak dari mereka yang melakukan perzinahan
di usia belia, lha wong guru-gurunya aja banyak yang selingkuh, bahkan beberapa
malah mengajak berhubungan badan dengan muridnya. Maka, tidak bisa disalahkan
para siswa, jika akhlak mereka tiada terperi, lha wong gurunya aja nggak bisa
memberi contoh banyak lagi.
Dan
kalau berbicara tentang pahlawan tanpa tanda jasa, aku selalu teringat dengan
ustadz, guru, dan pengajar-pengajarku di ma’had. Bagiku, merekalah pahlawan
yang sejati. Sosok-sosok inspiratif yang rela mengorbankan waktu dan tenaga,
hanya untuk mengajar kami, santri-santri yang kadang (n)dablek.
Sungguh,
perjuangan mereka begitu mengharukan. Ketika banyak guru yang mengejar gaji
dalam mengajar, mereka rela diberi gaji yang tidak banyak, bahkan mungkin
sedikit. Seorang ustad pernah berkata ketika mengajar, “kalau seandainya saya
hanya mencari dunia, saya tidak akan mengajar di sini. Karena sungguh yang saya
temukan di sini adalah barakah, kebahagiaan, dan ketentraman.”
Ustadzana Joko tercinta, mengajari | betapa cantik matematika |
Dan
bahkan, ada asatidzah yang menempuh jarak puluhan kilometer, menembus gelap dan
dinginnya malam, hanya untuk memberi bimbel, tambahan pelajaran kepada kami di
malam hari. Begitu bersemangat mereka mengajar, meski kadang kami yang
datangnya terlambat dan dengan wajah yang kurang bersemangat. Ya Allah,
ijzaahum khoiron mimma aatau
.
Maka
terkadang aku berpikir, bahwa sebenarnya ilmu hakiki yang kudapatkan dari
mereka bukanlah ilmu eksak atau apa yang menjadi spesialisasi mereka.
Sebenarnya, ilmu hakiki yang kudapat dari mereka adalah tentang adab, semangat,
dan bagaimana kita berusaha ikhlas di segala lini hidup kita. Semoga Allah
selalu memberi keistiqomahan kepada kita dan mereka. Amin.
Klaten, 29 Muharram 1436 H
Huda Syahdan