“Binatang apa yang paling aneh?”.
“Belalang kupu-kupu, siang makan nasi kalau malam
minum susu”
Tebakan tersebut menjadi begitu tersohor di masa kecil
saya. Pun juga ketika seorang ibu me-ngliling bayi kecilnya dengan kata
legendaris tersebut, ditambah sedikit awalan “pok ame-ame”. Ah, jadi rindu masa
ketika memberi hiburan ke anak dengan kata cinta, bukan sekedar gadget yang tak
bernyawa.
Tentang kupu-kupu, pasti kita pernah mendengar lirik
lagu ini, “persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu”.
Entah siapa penyanyinya saya sendiri juga ndak tahu, yang jelas ada salah satu
stasiun televisi swasta yang menayangkan sinetron dengan soundtrack lagu
ini, yang juga sempat menjadi salah satu topik obrolan kawan-kawan saya di
mahad Al Mukmin semasa itu. Saya cuma bisa menyimak tanpa mampu menanggapi,
Alhamdulillah saya emang rada kuper. :)
Mengenang masa di pondok emang tiada habisnya, pun
bagi saya yang baru purna dari mahad ‘Hidup Mulia’. Masa-masa di pondok ibarat
sejarah kehidupan yang perlu dikenang, bersebab di dalamnya sebuah pribadi
bermetamorfosa, dari seorang yang mbok-mbokan dan suka dimanja menjadi
sosok pasangan-able yang ndak cuma memancarkan akhlak mulia, tapi juga
bermanfaat bagi sesama. Seperti ulat yang banyak dilirik jijik, menjadi
kupu-kupu yang berwarna ceria. Menebarkan keindahan ke alam semesta. Tak salah
mungkin kalau kita mengganti lirik lagu di atas menjadi, “Pesantren itu bagai
kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu.”
Setiap santri pasti punya kenangan indah tentang
kehidupan kepesantrenannya. Dari sejak awal ia masuk, hingga ketika ia berisak
mengikrarkan janji untuk berbudi mulia saat wisuda. Namun, izinkan saya
bercerita tentang dua orang pribadi, orang yang begitu dekat dengan saya dan
telah saya anggap adik kandung sendiri, tentang secuil perjuangan mereka.
Perjuangan bermetamorfosa menjadi akhwat yang sejati, yang kelak kan dicemburui
para bidadari.
Saya menjadi saksi mereka berdua berkembang semasa SMP.
Melihat dari masa masih dipenuhi kepolosan, sampai masa ketika saya harus
menundukkan pandangan. Melihat bagaimana mereka menetapi dan meniti jalan ini,
hingga mampu berubah menjadi sosok yang layak untuk diceritakan kebajikannya. Sekarang
pun, mereka masih terus berusaha berubah, karena saya yakin mereka sadar, jalan
hijrah yang kan ditempuh masih panjang.
Sungguh, saya merasa malu, sering dianggap oleh mereka
berdua sebagai sosok yang memotivasi, padahal sesungguhnya sayalah yang lebih
layak untuk bercermin dan berbenah diri. Izinkan saya berceritera tanpa
menyebut nama asli mereka, pun bagi yang tahu dimohon untuk tidak menyebarkan
siapa sebenarnya mereka, demi menjaga keikhlasan hati mereka berdua.
Dia yang pertama, anggap saja si A. Dia terlahir dari
keluarga pra-sejahtera. Kata orang pun rumahnya mewah, mepet sawah. Tapi
semangatnya menuntut ilmu tak tergantikan. Setiap saya taklim ia selalu menjadi
juru bicara kawan-kawannya. Mencecar saya dengan pertanyaan yang kadang bisa
dikatakan rada nyeleneh, tapi justru berbobot dan menyadarkan. Kalau dia tak
ada, masjid pun seolah terasa sepi. Tapi jujur, saya bersyukur bersebab itulah
saya sadar, aih ilmu saya masih terlampau sedikit. Dan hal itu pun masih
berlanjut hingga generasi berganti.
Purna masa studi di mahad ‘hidup mulia’, saya
mendengar kabar yang mengejutkan, lebih tepatnya menggembirakan. “Kak,
insyaAllah saya sama si B (sahabat karib si A yang nanti akan saya ceritakan)
akan melanjutkan sekolah di pondok. Si B alhamdulillah sudah diterima di mahad
X. Kalau saya, doakan biar diterima di mahad Y“. Saya yang menerima kabar itu
pun hanya bisa mengamini, seraya berdoa semoga niat mulianya dikabulkan oleh
Rabbul Izzati.
Suatu ketika, dia datang ke rumah nenek saya di lereng
gunung lawu. Bukan, bukan menemui saya, tapi menemui tante saya yang juga
tetangga dia di desa aslinya. Mereka mengobrol lama berdua di ruang tamu, dan
saya pun ndak berani menyimak. Obrolan wanita. Beberapa waktu pun saya baru
mendengar kabar dari umi, ketika tante saya bercerita. Ternyata sore itu dia
menangis, bercerita tentang kendala buat masuk ‘penjara suci’.
Jadi, uminya alhamdulillah, akan dikaruniai buah hati
lagi. Tapi dari situlah kegalauan itu bermula. Uminya kini tak lagi bisa
bekerja seperti biasa, demi kebaikan janin yang dikandungnya. Dikhawatirkan
jika dia bersekolah di pondok, orang tuanya ndak bisa membiayai, dan lebih
takut seandainya dipaksa, sekarang bisa masuk tapi nantinya berhenti di tengah
perantauannya. Umiya pun menyuruhnya untuk menunda studi setahun dulu,
menggunakan setahun itu untuk bekerja, membantu menyokong kehidupan keluarga
sambil mengumpulkan tabungan untuk kelanjutan studinya.
Dia kurang setuju dengan yang diinginkan uminya.
Bukan, bukan karena niat durhaka. Tapi dia takut ketika ia berkerja sekarang,
niat untuk masuk pesantren jadi hilang terpudar. Saya yang mendengarnya
langsung terenyuh. Ketika mendengar itu dari umi, saya langsung bilang dengan
aksen jawa yang kurang lebih artinya, “Mi, alhamdulillah kan kita diberi rizki
agak lebih oleh Allah. Lha uangnya beberapa juga dipakai buat anak asuh kan?
Mending beberapa anggaran diarahkan buat membantu si A. Saya kan pernah
mengajar dia, insyaAllah semangat dan kepribadiannya baik kok mi.”
Saat itu, saya menyampaikan dengan wajah rada melas.
Dan hal itu cuma berani saya sampaikan ke umi, soalnya kalau ke ayah takutnya
dikira ada apanya. Alhamdulillah, umi bilang “InsyaAllah, nanti umi sampaikan
ke ayah.” Alhamdulillah, akhirnya permintaan saya beliau kabulkan.
Dan Senin kemarin, kami mengantarnya ke mahad atas permintaan
salah satu teman karib ayah yang juga kolega mahad Y. Saya pun turut serta,
karena mau sekalian mampir ke Magetan, memenuhi beberapa keperluan kuliah. Sesampainya
di mahad yang dituju, saya ndak tega lihat kondisinya. Jauh banget dari mahad
saya semasa SMP dulu, apalagi sama mahad ‘hidup mulia’. Terpencil dari kota,
aksesnya pun jauh dari kendaraan umum. Saya sendiri merasa, ah mungkin kalau
saya yang dilepas di mahad ini mungkin ndak bakal betah lebih dari sehari.
Di sana teman karib ayah menceritakan bagaimana keberkahan
mahad tersebut. Tentang kebersahajaan dan kesederhanaannya, yang justru darinya
naungan barakahNya tercipta. Meski dengan lauk seadanya, tapi justru banyak santriwatinya lebih gemuk
ketika pulang menikmati liburan. Mungkin segala keadaan tersebutlah yang justru
bisa melahirkan para calon ummahat sejati. Ya Rabb, baarik lahunn wa baarik
‘alaihinn.
Sepulang dari sana, saya mendapati cerita lain yang
juga membuat saya terharu. Tentang bagaimana si A tadi semasa SMP mengumpulkan
uang untuk bekalnya, bahkan ketika libur UN menjadi seorang perawat bayi
dadakan selama 2 bulan agar bisa memenuhi mimpinya menuntut ilmu di mahad. Tentang
bagaimana dia menjadi yang pertama meminta brosur dan mendaftar, bahkan ketika
pendaftaran sendiri belum dibuka. Dan saya teringat tak henti ketika kami
hendak pulang, dia mengucap jazakumullah terus. Meski tak memandang
langsung, tapi saya bisa merasakan bagaimana terharunya dia. :’( Tapi
alhamdulillah mulai hari itu, akhirnya terwujudkanlah mimpinya untuk menjadi
seorang santriwati.
Berkisah ke sosok lain, sahabat si A yang belakangan
saya ketahui ternyata dia juga saudara sepupunya. Seorang yang bagi saya lebih
nyantri daripada seorang santriwati yang sejati. Semasa SMP pun, saya begitu
takjub melihat amalnya. Bagaimana dia meski di sekolah negeri masih bisa
istiqomah menghafal juz amma, melaksanakan sholat dhuha, dan juga
berpuasa. Puasanya pun bukan hanya puasa senin dan kamis, tapi juga digabung
dengan puasa dawud. Saya selalu malu, jika membandingkan amal saya dengan
amalnya.
Semasa saya ajar pun, si B ini juga hampir selalu
hadir. Meski lebih banyak diam, tapi dia seolah menjadi ruh dari halaqoh itu.
Ketika dia berhalangan, seolah ada sesuatu yang tidak terhadirkan. Sebenarnya,
saya dan bahkan tante saya sendiri pun menyayangkan, kenapa dia masuknya mahad
X tadi. Tapi tak apalah, bukankah tak bermasalah jika sama-sama menimba ilmu
agama, pikir kami. Dan juga, hawa mahad ‘hidup mulia’ insyaAllah bisa mewarnai
langkahnya untuk tidak tergesa.
Tentang si B, mungkin tiada banyak kisah yang bisa
saya ceritakan. Karena meski belum layak dikatakan berakhlaq Al Quran sempurna,
tapi setiap amalnya selalu membuat saya terkesima. Kaana amruhaa ‘ajaban,
mungkin itu agak bisa mewakilinya.
Oh ya terlupa. Semenjak lulus dari jenjang SMP bulan
lalu, mereka berdua memutuskan untuk meningkatkan kualitas berpakaian mereka.
Memang sudah syar’i sebelumnya, tapi mereka menambahkan cadar untuk lebih
menjaga taqwa. Bercerita tentang mereka, sebenarnya mereka tak layak untuk
dianalogikan sebagai ulat yang bermetamorfosa. Karena mereka telah menjadi
kupu-kupu, sebelum meringkuh dalam kepompong untuk bermetamorfosa lebih indah
dari sebelumnya. Mungkin dari situlah saya terinspirasi memberi judul artikel
ini, kupu-kupu sebelum kupu-kupu. Barakallahu fiihimaa.
Sebenarnya saya malu bercerita tentang kedua sosok ini
di sini, karena jujur saya begitu banyak menimba ilmu dari mereka. Saya
bersyukur, pernah bertemu dengan kedua sosok ini, karena mungkin setelah ini,
akan susah bagi kami untuk berinteraksi kembali. Bagaimanapun, kami bukan
mahram kan? Sebenarnya juga ada beberapa yang lain yang juga punya cerita,
hanya karena keterbatasan saya ndak sampaikan semua. Saya berharap, jika calon
istri saya kelak saat ini membaca artikel ini, mohon kelak ingatkan saya untuk
menyambung tali silaturahmi dengan mereka. Jangan berburuk sangka juga ya.
Hehe.
Semoga cerita di atas bisa memberi kita motivasi. Saya
hanya menitip doa bagi kebaikan saya, kalian semua, dan terutama mereka kedua.
Semoga Allah selalu mengilhami kita jalan yang Dia ridhoi. Semoga kita diberi
keistiqomahan untuk meniti ‘jalan lurus’ ini. Wallahu a’lam bish showab.
Klaten, 12 Syawal 1436 H
Huda S Drajad
Klaten, 12 Syawal 1436 H
Huda S Drajad