Kupu-kupu sebelum Kupu-kupu

28/07/15

“Binatang apa yang paling aneh?”.
“Belalang kupu-kupu, siang makan nasi kalau malam minum susu”
Tebakan tersebut menjadi begitu tersohor di masa kecil saya. Pun juga ketika seorang ibu me-ngliling bayi kecilnya dengan kata legendaris tersebut, ditambah sedikit awalan “pok ame-ame”. Ah, jadi rindu masa ketika memberi hiburan ke anak dengan kata cinta, bukan sekedar gadget yang tak bernyawa.

Tentang kupu-kupu, pasti kita pernah mendengar lirik lagu ini, “persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu”. Entah siapa penyanyinya saya sendiri juga ndak tahu, yang jelas ada salah satu stasiun televisi swasta yang menayangkan sinetron dengan soundtrack lagu ini, yang juga sempat menjadi salah satu topik obrolan kawan-kawan saya di mahad Al Mukmin semasa itu. Saya cuma bisa menyimak tanpa mampu menanggapi, Alhamdulillah saya emang rada kuper. :)

Mengenang masa di pondok emang tiada habisnya, pun bagi saya yang baru purna dari mahad ‘Hidup Mulia’. Masa-masa di pondok ibarat sejarah kehidupan yang perlu dikenang, bersebab di dalamnya sebuah pribadi bermetamorfosa, dari seorang yang mbok-mbokan dan suka dimanja menjadi sosok pasangan-able yang ndak cuma memancarkan akhlak mulia, tapi juga bermanfaat bagi sesama. Seperti ulat yang banyak dilirik jijik, menjadi kupu-kupu yang berwarna ceria. Menebarkan keindahan ke alam semesta. Tak salah mungkin kalau kita mengganti lirik lagu di atas menjadi, “Pesantren itu bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu.”

Setiap santri pasti punya kenangan indah tentang kehidupan kepesantrenannya. Dari sejak awal ia masuk, hingga ketika ia berisak mengikrarkan janji untuk berbudi mulia saat wisuda. Namun, izinkan saya bercerita tentang dua orang pribadi, orang yang begitu dekat dengan saya dan telah saya anggap adik kandung sendiri, tentang secuil perjuangan mereka. Perjuangan bermetamorfosa menjadi akhwat yang sejati, yang kelak kan dicemburui para bidadari.

Saya menjadi saksi mereka berdua berkembang semasa SMP. Melihat dari masa masih dipenuhi kepolosan, sampai masa ketika saya harus menundukkan pandangan. Melihat bagaimana mereka menetapi dan meniti jalan ini, hingga mampu berubah menjadi sosok yang layak untuk diceritakan kebajikannya. Sekarang pun, mereka masih terus berusaha berubah, karena saya yakin mereka sadar, jalan hijrah yang kan ditempuh masih panjang.

Sungguh, saya merasa malu, sering dianggap oleh mereka berdua sebagai sosok yang memotivasi, padahal sesungguhnya sayalah yang lebih layak untuk bercermin dan berbenah diri. Izinkan saya berceritera tanpa menyebut nama asli mereka, pun bagi yang tahu dimohon untuk tidak menyebarkan siapa sebenarnya mereka, demi menjaga keikhlasan hati mereka berdua.

Dia yang pertama, anggap saja si A. Dia terlahir dari keluarga pra-sejahtera. Kata orang pun rumahnya mewah, mepet sawah. Tapi semangatnya menuntut ilmu tak tergantikan. Setiap saya taklim ia selalu menjadi juru bicara kawan-kawannya. Mencecar saya dengan pertanyaan yang kadang bisa dikatakan rada nyeleneh, tapi justru berbobot dan menyadarkan. Kalau dia tak ada, masjid pun seolah terasa sepi. Tapi jujur, saya bersyukur bersebab itulah saya sadar, aih ilmu saya masih terlampau sedikit. Dan hal itu pun masih berlanjut hingga generasi berganti.

Purna masa studi di mahad ‘hidup mulia’, saya mendengar kabar yang mengejutkan, lebih tepatnya menggembirakan. “Kak, insyaAllah saya sama si B (sahabat karib si A yang nanti akan saya ceritakan) akan melanjutkan sekolah di pondok. Si B alhamdulillah sudah diterima di mahad X. Kalau saya, doakan biar diterima di mahad Y“. Saya yang menerima kabar itu pun hanya bisa mengamini, seraya berdoa semoga niat mulianya dikabulkan oleh Rabbul Izzati.

Suatu ketika, dia datang ke rumah nenek saya di lereng gunung lawu. Bukan, bukan menemui saya, tapi menemui tante saya yang juga tetangga dia di desa aslinya. Mereka mengobrol lama berdua di ruang tamu, dan saya pun ndak berani menyimak. Obrolan wanita. Beberapa waktu pun saya baru mendengar kabar dari umi, ketika tante saya bercerita. Ternyata sore itu dia menangis, bercerita tentang kendala buat masuk ‘penjara suci’.

Jadi, uminya alhamdulillah, akan dikaruniai buah hati lagi. Tapi dari situlah kegalauan itu bermula. Uminya kini tak lagi bisa bekerja seperti biasa, demi kebaikan janin yang dikandungnya. Dikhawatirkan jika dia bersekolah di pondok, orang tuanya ndak bisa membiayai, dan lebih takut seandainya dipaksa, sekarang bisa masuk tapi nantinya berhenti di tengah perantauannya. Umiya pun menyuruhnya untuk menunda studi setahun dulu, menggunakan setahun itu untuk bekerja, membantu menyokong kehidupan keluarga sambil mengumpulkan tabungan untuk kelanjutan studinya.

Dia kurang setuju dengan yang diinginkan uminya. Bukan, bukan karena niat durhaka. Tapi dia takut ketika ia berkerja sekarang, niat untuk masuk pesantren jadi hilang terpudar. Saya yang mendengarnya langsung terenyuh. Ketika mendengar itu dari umi, saya langsung bilang dengan aksen jawa yang kurang lebih artinya, “Mi, alhamdulillah kan kita diberi rizki agak lebih oleh Allah. Lha uangnya beberapa juga dipakai buat anak asuh kan? Mending beberapa anggaran diarahkan buat membantu si A. Saya kan pernah mengajar dia, insyaAllah semangat dan kepribadiannya baik kok mi.”

Saat itu, saya menyampaikan dengan wajah rada melas. Dan hal itu cuma berani saya sampaikan ke umi, soalnya kalau ke ayah takutnya dikira ada apanya. Alhamdulillah, umi bilang “InsyaAllah, nanti umi sampaikan ke ayah.” Alhamdulillah, akhirnya permintaan saya beliau kabulkan.

Dan Senin kemarin, kami mengantarnya ke mahad atas permintaan salah satu teman karib ayah yang juga kolega mahad Y. Saya pun turut serta, karena mau sekalian mampir ke Magetan, memenuhi beberapa keperluan kuliah. Sesampainya di mahad yang dituju, saya ndak tega lihat kondisinya. Jauh banget dari mahad saya semasa SMP dulu, apalagi sama mahad ‘hidup mulia’. Terpencil dari kota, aksesnya pun jauh dari kendaraan umum. Saya sendiri merasa, ah mungkin kalau saya yang dilepas di mahad ini mungkin ndak bakal betah lebih dari sehari.
Tampak depan mahad yang akan dicintainya

pembangunan mahad yang sampai sekarang masih berjalan

Di sana teman karib ayah menceritakan bagaimana keberkahan mahad tersebut. Tentang kebersahajaan dan kesederhanaannya, yang justru darinya naungan barakahNya tercipta. Meski dengan lauk seadanya, tapi  justru banyak santriwatinya lebih gemuk ketika pulang menikmati liburan. Mungkin segala keadaan tersebutlah yang justru bisa melahirkan para calon ummahat sejati. Ya Rabb, baarik lahunn wa baarik ‘alaihinn.

Sepulang dari sana, saya mendapati cerita lain yang juga membuat saya terharu. Tentang bagaimana si A tadi semasa SMP mengumpulkan uang untuk bekalnya, bahkan ketika libur UN menjadi seorang perawat bayi dadakan selama 2 bulan agar bisa memenuhi mimpinya menuntut ilmu di mahad. Tentang bagaimana dia menjadi yang pertama meminta brosur dan mendaftar, bahkan ketika pendaftaran sendiri belum dibuka. Dan saya teringat tak henti ketika kami hendak pulang, dia mengucap jazakumullah terus. Meski tak memandang langsung, tapi saya bisa merasakan bagaimana terharunya dia. :’( Tapi alhamdulillah mulai hari itu, akhirnya terwujudkanlah mimpinya untuk menjadi seorang santriwati.

Berkisah ke sosok lain, sahabat si A yang belakangan saya ketahui ternyata dia juga saudara sepupunya. Seorang yang bagi saya lebih nyantri daripada seorang santriwati yang sejati. Semasa SMP pun, saya begitu takjub melihat amalnya. Bagaimana dia meski di sekolah negeri masih bisa istiqomah menghafal juz amma, melaksanakan sholat dhuha, dan juga berpuasa. Puasanya pun bukan hanya puasa senin dan kamis, tapi juga digabung dengan puasa dawud. Saya selalu malu, jika membandingkan amal saya dengan amalnya.

Semasa saya ajar pun, si B ini juga hampir selalu hadir. Meski lebih banyak diam, tapi dia seolah menjadi ruh dari halaqoh itu. Ketika dia berhalangan, seolah ada sesuatu yang tidak terhadirkan. Sebenarnya, saya dan bahkan tante saya sendiri pun menyayangkan, kenapa dia masuknya mahad X tadi. Tapi tak apalah, bukankah tak bermasalah jika sama-sama menimba ilmu agama, pikir kami. Dan juga, hawa mahad ‘hidup mulia’ insyaAllah bisa mewarnai langkahnya untuk tidak tergesa.

Tentang si B, mungkin tiada banyak kisah yang bisa saya ceritakan. Karena meski belum layak dikatakan berakhlaq Al Quran sempurna, tapi setiap amalnya selalu membuat saya terkesima. Kaana amruhaa ‘ajaban, mungkin itu agak bisa mewakilinya.

Oh ya terlupa. Semenjak lulus dari jenjang SMP bulan lalu, mereka berdua memutuskan untuk meningkatkan kualitas berpakaian mereka. Memang sudah syar’i sebelumnya, tapi mereka menambahkan cadar untuk lebih menjaga taqwa. Bercerita tentang mereka, sebenarnya mereka tak layak untuk dianalogikan sebagai ulat yang bermetamorfosa. Karena mereka telah menjadi kupu-kupu, sebelum meringkuh dalam kepompong untuk bermetamorfosa lebih indah dari sebelumnya. Mungkin dari situlah saya terinspirasi memberi judul artikel ini, kupu-kupu sebelum kupu-kupu. Barakallahu fiihimaa.

Sebenarnya saya malu bercerita tentang kedua sosok ini di sini, karena jujur saya begitu banyak menimba ilmu dari mereka. Saya bersyukur, pernah bertemu dengan kedua sosok ini, karena mungkin setelah ini, akan susah bagi kami untuk berinteraksi kembali. Bagaimanapun, kami bukan mahram kan? Sebenarnya juga ada beberapa yang lain yang juga punya cerita, hanya karena keterbatasan saya ndak sampaikan semua. Saya berharap, jika calon istri saya kelak saat ini membaca artikel ini, mohon kelak ingatkan saya untuk menyambung tali silaturahmi dengan mereka. Jangan berburuk sangka juga ya. Hehe.

Semoga cerita di atas bisa memberi kita motivasi. Saya hanya menitip doa bagi kebaikan saya, kalian semua, dan terutama mereka kedua. Semoga Allah selalu mengilhami kita jalan yang Dia ridhoi. Semoga kita diberi keistiqomahan untuk meniti ‘jalan lurus’ ini. Wallahu a’lam bish showab.

Klaten, 12 Syawal 1436 H
Huda S Drajad

Senyuman Sang Pejuang Tulis

23/07/15

Salah satu hal yang membedakan mahad kami dengan mahad-mahad pada umumnya adalah, kelas tiga di mahad kami diperbolehkan untuk mengikuti bimbingan belajar di luar mahad. Dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi tentunya, seperti telah menyelesaikan ujian akhir tahfizh maupun mendapat SKCK tak resmi dari Madrasah dan Kesantrian.
Alhamdulillah, Allah mempermudahku untuk bisa mendapatkan perizinan bersama 3 temanku lainnya. Aku pun mendaftar di Ganesha Operation Karanganyar seperti para pendahuluku. Yakali perjuangannya besar banget les di sana, mulai dari touring setengah jam seminggu dua kali, kudu bolak-balik ke kesantrian buat ngambil kunci motor yang dititipin, sampai godaan warung-warung yang buka di sepanjang jalan raya Solo-Tawangmangu. Apalagi nasi gorengnya Pak Shobirin, bikin benteng iman abis. Ahihi. Tak jarang pula aku harus melompati pagar asrama Cuma buat ngambil jubah atau ngambil iftor yang di kamar. Hasbunallah wa ni’mal wakil.
Pertama kali les di sana, aku merasa minder, secara ilmu eksak yang didapetin di mahad kan kurang banget. Udah gitu di kelasku aku satu-satunya murid yang berasal dari mahad hidup mulia. Huhu. Dan di antara semua pelajaran, kimialah yang menjadi momok bagiku. Pelajaran saat itu tentang benzena dan lain-lainnya, tentang ikatan-ikatannya, bikin pusing seribu pening. Alhamdulillah, tentor kimianya, Bu PT sama Bu HI super-super, tak lama pun aku bisa mulai mengejar ketertinggalanku.
Semakin lama les di sana, alhamdulillah mulai banyak hal yang kudapatkan, dari ilmu-ilmu, pengetahuan tentang dunia luar, hingga kenalan-kenalan baru, dari para tentor hingga anak-anak sekolah lain.Dan  alhamdulillah, setiap try out grafiknya selalu meningkat, seperti cinta kita, semakin lama semakin tinggi menggapai surgaNya. :p
Dan ketika hari H perang, aku udah mulai merasa mantab. Alhamdulillah semua bisa dijalani dengan semestinya, melingkari setiap jawaban dengan pensil legendaris yang juga kupakai saat UN SMP dahulu kala. Dan masa itu pun tiba, masa rehat dan perpulangan, menuju ke pangkuan ibu bapa masing-masing. Tapi selalu sama, libur purna sekolah selalu menyisakan tantangan yang berbeda. Pun juga libur kali ini. Kalau dahulu kala kami disibukkan dengan murojaah hafalan sama belajar matematika biar masuk ma’had hidup mulia, sekarang tanggungannya berbeda.
Di depan kami, telah menanti seekor monster cantik bernama SBMPTN, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Katanya sih, jauh lebih nyeremin daripada ‘sekedar’ UN, huhu. Apalagi banyak kakak tingkatku dipaksa untuk berjatuhan di fase ini, “Anak MATIQ mah susah buat masuk PTN”. Huhu, aku tambah minder. Tapi mungkin di situ kali yak seninya, seni menata hati dan ruhani. Mungkin dengan bersebab itulah kita jadi tetap bercengkrama dengan Sang Pencipta. Dan kayaknya kita harus rajin bercengkrama denganNya terus, biar ndak was-was kayak gitu lagi.
Selepas UN, beberapa dari kami ikut bimbel untuk mengejar segala ketertinggalan. Ada yang harus menempuh jarak 35 kilometer cuma buat ikut les, ada juga yang sampai ikut camp, membayar berpuluh juta untuk ‘sekedar’ memasuki PTN yang didamba. Aku sedikit lebih santai, karena program yang kuambil di GO berkesinambung sampai setelah UN. Alhamdulillah juga, GO sistemnya bukan franchise, jadi aku bisa pindah cabang ke deket rumah. Niatnya sih biar bisa deket kalau pengen materi tambahan, tapi…
Di GO Klaten petualangan baru dimulai. Awal masuk kelas, aku merasa terasing (lagi). Yakali kayak si Zainuddin ‘Van Der Wijck’ yang terasing di negeri sendiri. Aku coba buat ngajak kenalan, yang ada jadinya malah kayak orang yang SKSD karena kesepian. Huahh. Di  awal masuk juga aku merasa seolah dapet pandangan miring waktu pada tahu aku anak pesantren yang ingin mengundi nasib di kedokteran. Huhu. Tapi ya gimana lagi, bismillah aku tetep kudu terus menjalani. Tetep percaya, jodoh ada di tanganNya, kalau emang dia, meski sekarang belum kenal pun pasti suatu saat dipertemukan sepelaminan berdua. Aku ngomong apa sih? :3

Alhamdulillah juga, Allah memberi kemudahan. Meskipun tiap kali mau minta jawaban sama pembahasan try out kudu ke Karanganyar dulu. Tapi aku masih penasaran, itu peringkat pertama sama keduanya orang itu mlulu. Hsssh, awalnya pengen ngajak kenalan, tapi nggak jadi gegara takut kalau-kalau dikira pemandu bakat laskar pelangi. Dan saat itu tetap menemaniku pensil ajaib yang berusia jumlah jari kiri.

Try out demi try out berlalu, hingga akhirnya tibalah tanggal 9 Mei. Aku berharap banget bisa diterima di jalur SNMPTN, biar nggak senam jantung lagi. Kan bisa kemlinti tuh, tiap ditanya orang kuliah dimana langsung jawab, “FK UGM”. Simpel, padat, tapi berisi penuh wibawa. Tapi alhamdulillah aku ndak diterima di UGM, la wong ndak daftar di sana. :D Tapi sama aja sih, di UNS juga ndak diterima. Kata pak Raviqnya sih nilai UN biologiku ndak memadai :D

Aku yang udah deg-degan seharian saat itu langsung drop. Mangkel banget sama UNS yang katanya ngasih kemudahan buat para Huffazhul Quran buat masuk kedokteran. Tapi perlahan juga sadar, ah Al Quran dihafal bukan untuk sekedar masuk kedokteran. Ditambah sokongan dari berbagai pihak, aku kembali tersadar kembali. Udah dilupakan yang lalu, biarlah jadi bahan buat postingan di blog ini. Dan ndak nyangka, banyak orang yang berhusnudzon, yang terkadang bikin aku sendiri malu, ‘ah, aku sungguh terlampau jauh dari pandangan baik kalian"

Semua berjalan kembali normal. Rutinitas buat les tetap dijalani. Walaupun sekarang jadi agak kurang bersemangat. Bayang-bayang yang aneh-aneh itu muncul terus. Gimana kalau ternyata ndak lulus. Gimana kalau ternyata ndak diterima di kedokteran. Gimana kalau ternyata dia minta dilamarnya tahun depan (hey). Ya, meski udah punya planning B buat cadangan kalau-kalau ndak diterima, tapi tetep aja hati ini masih was-was. Mungkin gegara itu hikmahnya bikin aku jadi ndak lupa diri. Jadi inget terus sama Rabbul Izzati. Yakali harusnya dalam keadaan kayak gini kudu inget juga ya, huhu.

Hari H telah tiba. Hari H telah tiba. Hore, hore, hore hore hore. Yakali ndak Cuma Tasya kok yang gembira dengan hari H, aku pun juga :). Para pejuang pensil di manapun berada juga udah bersiap siaga buat bertempur. Pun kami, para pejuang muda dari mahad hidup mulia. Ada belasan kawanku yang mengundi nasib bertempur di jalan ini. Alhamdulillah, aku tiada sendiri di tempat tesku. Ada kawan karibku Fahry Fahrozy yang setia menemani. Alhamdulillah, aku tidak ditakdirkan menjadi gelandangan sendiri.

Sepurna tes, kulihat wajah peserta lain cerah. S**t, apa cuma aku yang berwajah suram gini. Dan sebulan lamanya harus kembali ikut senam ayo bangkit. Bangkit dari keterdetakan jantung. Berdag-dug ria. Eh, ndak juga sih. Udah menjelang wisuda soalnya, pikirannya jadi terbiaskan. Habis itu semasa rekreasi di malang juga udah agak tenang. Paling-paling kalok ada yang nanya sekolah di mana aku jawabnya, “Doakan bapak, ibu, semoga saya diterima di kedokteran ataupun tempat terbaik lainnya.”

Dan akhirnya masa rekreasi di Malang pun purna. 7 Juli 2015, karena udah kangen pondok, gue langsung capcuss ke mahad. Mumpung gratis kalau alumni. Hihi. Dan mulai H-2 itulah aku kembali ketar-ketir. Pengumuman kali ini lebih  menyangkut banyak hal. Menyangkut nasib 7 hari sisa dari bulan Ramadhan, menyangkut hal yang bakal disunggangkan di wajah, senyumankah atau kemurungan.

Ketika tiba hari H-nya, aku tambah menggalau ria. Dari jam 7 pagi aku udah buka situs pengumuman.sbmptn.or.id isinya countdown eui. Tambah bikin nyesek. Seharian penuh aku ndak bisa konsen buat ngapa-ngapain. Alhamdulillah habis asharnya ada kajian tahsin seru dari ustad Aos. Tapi tetep aja, sang tepak imutku tetap kupegang erat-erat. Di refresh terus situsnya. Hahaha.

Jam 5 pun tiba. Dan situsnya pun overload. Haduh. Aku yang udah nggalau ria jadi tambah risau. Bolak-balik itu situs di refresh, kemudian nyari-nyari situs mirrornya, tapi tetep aja sama. The page you request cannot be displayed. Jam 17.12 udah bisa buka via situs its, tapi waktu masukkin nomor ngelag lagi. Fiuh. Dan akhirnya jam 17.20 barulah bisa dibuka via situsnya Undip. Mungkin karena jaringannya lemot backgroundnya pun masih putih sederhana. Dan saat itu hanya satu yang tertangkap di mata, kata-kata “KEDOKTERAN – UNIVERSITAS SEBELAS MARET”.
ALhamdulillah :')

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Langsung di tempat itu pula aku bersujud, berterima kasih atas karunia yang tak terhingga dariNya. Langsung kukabari sanak keluarga, dan juga ikhwah Pasukan Langit tercinta. Dan terlihat senyum mereka yang juga ikut merekah. Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar. :’)

Berturut turut setelah itu, beberapa kawan mengabari keterimaan mereka. Mulai dari Pak Boss Naufal Ade yang diterima di pilihan keduanya Geologi-Universitas Indonesia, kemudian juga bang Ibrahim Fay yang diterima di pilihan kedua juga, Teknik Informatika-Universitas Riau. Dan malamnya baru satu ikhwah lagi mengabari, Pak Profesor Fisika Bahaul Fahmi, yang diterima di pilihan ketiga Teknik Kimia-Universitas Sebelas Maret.

Tapi seindah apapun senyuman yang tersungging di bibir kami, tetap ada rasa sedih yang menyelinap. Ya, kami sedih atas belum diterimanya ikhwah kami yang lain. Ah, Barakallah lakum, Allah selalu punya rencana yang lebih indah dibanding rencana-rencana kita.
----

Dari saat itulah, judul artikel ini bermula. Senyuman Sang Pejuang Pensil. Alhamdulillah sang pejuang pensil tersenyum, karena doa dan usaha yang ia panjatkan berbuah manis dan senyum menentramkan. Alhamdulillah sang pejuang pensil tersentum, bersebab karuniaNya yang tiada terkirakan. Alhamdulillah sang pejuang pensil tersenyum, kerana saat ia beritahu kawan karibnya berita membahagiakan ini, mereka memberikannya doa yang menyejukkan, barakallahu fiik.

Sungguh, aku ndak mampu merasakan kecuali bahagia, saat ikhwah-ihwah memberiku doa termanis itu. Bahkan, kawan yang mungkin sudah lama tak berkontak, ikut mendendangkan doa mesra itu. Sungguh, di sini aku ingin sekali berkata, uhibbukum fillah, aku mencintai kalian kerana Allah.

Dan terlepas dari pro dan kontra ujian menggunakan Lembar Jawab Komputer (LJK), sebenarnya ada salah satu pelajaran penting yang bisa diambil. Mungkin ini Cuma mengada-ada, tapi tak apalah. Bukankah kita berharga bersebab kebaikan yang kita ambil di segala warna?

Jadi, ujian menggunakan LJK menuntut kita untuk kembali menggunakan pensil. Ya, pensil. Sarana menulis yang kita akrabi dahulu di masa kecil. Bukan hanya saat UN, tetapi juga saat SBMPTN. Semua itu seolah mengisyaratkan kepada kita, “Kembalilah berkanak-kanak, karena dalam kekanakanmu, kau menyimpan sejuta mimpi yang tak terengkuh oleh keraguan hatimu. Kembalilah berpolos ria, karena dalam kepolosanmu, harapan-harapan itu menjadi sangat nyata 5 cm di depan matamu. Tak perlu kau risaukan kegagalan, karena yang kau butuhkan hanyalah semangat untuk meraih cita-citamu.”

Dalam masa berpensil kita tak pernah malu untuk berkata, aku ingin menjadi dokter, aku ingin menjadi pilot, aku ingin menjadi tentara. Dalam masa berpensil, kita tak pernah ragu untuk mencoba, mengabaikan realitas bias yang ada. Huhu.

Yakali saya berpendapat ujian menggunakan komputer ditiadakan. Mungkin iya sih lebih hemat, lebih praktis, dan lebih mudah, tapi bukankah dalam mengejar cita itu butuh pengorbanan dalam ketiganya? Ah, siapa sih yang mau mendengar celotehan anak blogger serabutan gini?

Oh ya, lupa. Jangan sampai dipinggirkan juga, tak ada cita yang lebih indah daripada menjadi khodimul Quran, para pelayan Al Quran. Oh ya aku lupa, minta doanya lagi ya kawan, bukan minta kuliah kok, minta jodoh. :D

Klaten, 7 Syawal 1436H
Salam hangat dari sang pejuang pensil yang selalu tersenyum berdoa untukmu
Huda S Drajad

Sang Pengandung Kalam Mulia

“Asyrofu ummati Hamalatul Qur’ani wa ashhaabul lail”. Sebaik-baik golongan dari umatku adalah mereka, para penghafal Al Qur’an dan ahli qiyamul lail.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZkAuVJaoNT2gkeSt2du1_vn7uiyIygtbUf2CIrQ7vI9RbI7D111gdQEiseqoTZaD5rqN5kNmX-uTcjYXj5fab7kjGpBEZLajwYI9JPaDjuENLpPykKAOOb_tEgDXzXuAWdeFnyVRL2jA/s1600/Metode+Sederhana+Menghafal+Al-Qur'an+Bagi+Orang+Sibuk.jpgBagi sebagian ikhwah yang berkonsentrasi dalam menghafal Al Qur’an, mungkin ada yang menjadikan hadist ini sebagai motivasi. Ada yang menempelnya di dinding kamar, di pintu lemari, atau mungkin di mushaf yang dengannya sering berinteraksi. Hadist ini sering mengingatkan di kala futur menghampiri. Memberi pencerahan dan menggugah jiwa untuk bangkit kembali.
Sebenarnya, kalau kita mau memperhatikan, ada redaksi unik dalam penyebutan ‘penghafal Al Qur’an’ dalam hadist Rasulullah tersebut. Rasulullah menyebut mereka yang mulia dengan hamalatulQur’an, para pengandung Al Qur’an, bukanhuffazhulQur’an. Ada suatu indikasi, yang layak bagi kita untuk meninjaunya kembali
.
Kalau kita tengok sejarah, zaman dahulu gelar alhafizh sebenarnya disematkan kepada mereka yang mampu menghafal ratusan ribu hadis, Ibnu Hajar contohnya. Dan kita pun telah akrab dengan julukan nan agung itu, AlHafizh Ibnu Hajar Al-Atsqoilani. Sungguh, ternyata ada begitu banyak makna yang terbiaskan di sekitar kita.
Rasulullah menyebut para penghafal Al Qur’an sebagai para pengandung Al Qur’an, bukan sekedar penjaga, karena –wallahu a’lam- seorang pengandung akan lebih berhati-hati dengan kandungannya. Ia akan terus memperhatikannya siang dan malam. Hatinya pun juga selalu memikirkan apa yang ia bawa, karena sungguh ia tiada ingin semuanya berakhir sia-sia, atau bahkan berujung nestapa.
Hammalatul Qur’an, seolah mengisyaratkan bahwa Al Qur’an adalah sesuatu yang harus ia jaga sepanjang hayatnya. Selayaknya bagi mereka untuk mencukupi asupan gizinya dengan terus mengulangsecaraberkesinambungan dan mengamalkannya dalam keseharian. Selalu ia jaga kandungan itu dengan vaksin keikhlasan, agar tiada berakhir dengan sesalan. Dan di akhir, ia berupaya untuk terus melahirkan generasi pembaharuan, yang rabbani lagi berakhlaq menawan.
Maka sungguh, adalah sebuah keanehan saat seorang yang mengandung Al Qur’an dalam jiwanya, tetapi dia masih terpukau dengan rumah yang megah. Sungguh, adalah suatu kemirisan tatkala seorang yang diberi amanah kalam Sang Kholik Yang MahaMulia, tetapi dia tersilaukan dengan dengan kendaraan yang mewah. Sungguh, adalah sebuah kesedihan ketika seseorang yang dijuluki asyrofu ummah, bahkan ahlullahiwakhosshotuhu, tetapi kebeningan hatinya mudah terhijabkan oleh gemerlap dunia dan perhiasan yang indah.
Bukan kesalahan untuk memilikinya, akan tetapi terlalu naif apabila semua hal itu dijadikan tujuan semata. Sungguh menjadi seorang hamilulQur’an adalah karunia tiada terhingga, nikmat yang tiada tara, yang memuliakannya di akhirat dan di dunia.Dan juga harus selalu kita ingat bahwasetiap amal yang bernilai tinggi bisa menjadi bumerang saat hati diniatkan bukan untuknya lagi. Sungguh, niat begitu penting, dan menentukan seberapa tinggi derajatnya di hadapan Sang Pemberi rizqi.
Hadits itu begitu masyhur. Ketika di hari kiamat kelak seorang Qari akan dihadapkan di depan Rabb-Nya. Ditunjukilah nikmat padanya yang terkarunia di dunia. Ia pun mengakuinya. Lalu ditanyalah ia oleh Sang Pemberi Karunia, “Amal apakah yang engkau kerjakan dengan nikmat-nikmat itu, wahai hamba-Ku?”
“Ya Rabb, sesungguhnya daku membaca Al Qur’an, mempelajari, dan mengajarkannya semata-mata hanya untuk-Mu.”
“Dusta, engkau belajar Al Qur’an hanya agar dikata engkau alim di antara manusia. Dan engkau membaca Al Qur’an semata-mata hanya agar engkau dikata sebagai seorang Qari’ oleh mereka. Engkau telah mendapatkannya, dan memang begitulah yang dikata manusia tentang dirimu.” Kemudian diperintahkanlah Malaikat untuk menyeret dan melemparkannya ke neraka.
Astaghfirullah. Maka kita harus lebih berhati-hati lagi, menjaga hati ini. Menjaga segumpal daging ini agar terus lurus menetapi jalan Ilahi. Selayaknya kita takut, karena sesungguhnya dalam hadist lain Rasul nan Mulia pernah bersabda, “kebanyakan munafik dari ummatku adalah para Qari’ mereka”
Ya Allah, kami berlindung pada-Mu dari perbuatan syirik yang nista. Maka, selayaknya bagi kita untuk terus mengulang hadist yang termaktub di akhir doa pertama dari kumpulan doa khotmilQur’an. “Waj’alhu lanaa hujjatan Yaa Rabbal ‘Alamin”. Duhai Rabbi, jadikanlah dia hujjah bagi kami.
Laa haula wa laa quwwata illa billah.
(terinspirasi dari tausiyah ustadzana Salim A Fillah)

NB: Artikel ini juga dimuat di majalah Al Huffazh edisi 9, "Al Quran, Bukan Prosesor Biasa"
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS