ejak masa kecil, banyak dari anak-anak Indonesia, diajarkan dengan
cerita-cerita kancil maupun peribahasa-peribahasa populer. Cerita dan
peribahasa tersebut pun, acapkali menjadi sebuah tuntunan dan watak dari
bangsa itu sendiri. Salah satu peribahasa yang terkenal ialah air
beriak tanda tak dalam, dan air tenang menghanyutkan.
Entah sadar
atau tidak, peribahasa yang memiliki makna bahwa seseorang yang lebih
banyak diam biasanya memiliki ilmu dan kebijaksanaan, dan mereka yang
banyak berkata, biasanya tak memiliki apapun selain omongan saja. Hingga
banyak akhirnya generasi muda yang tumbuh dalam kediaman. Ditambah
dengan kata-kata mutiara diam itu emas, maka anak-anak Indonesia banyak
yang tumbuh menjadi mereka yang lebih suka untuk berdiam. Diam untuk
melihat, diam untuk mendengar, diam untuk memahami, dan diam untuk
menyampaikan.
Tapi ketika menginjak masa remaja, generasi itu
bertemu dengan zaman sudah berubah. Kata-kata diam itu emas pun menjadi
sebuah dongeng di masa lampau. Keterbukaan dan kemudahan dalam mengakses
dunia, menjadikan generasi sekarang tumbuh dalam keadaan yang serba
dimudahkan. Bahkan kebebasan itu kini tak lagi hanya disampaikan dalam
bentuk tulisan saja, semua aplikasi yang ada seolah berlomba untuk
menyediakan pelayanan terbaik, agar generasi itu memiliki kemudahan
untuk menceritakan kehidupan. Setiap saat barangkali akan selalu muncul
cerita-cerita baru, di berbagai lini masa, di berbagai media sosial yang
ada.
Hingga akhirnya kemudahan ini, yang dibarengi juga dengan
kemudahan berekspresi, menjadikan generasi itu menjadi 'penulis' yang
bisa menuliskan segalanya dengan sesuka hati mereka. Acapkali banyak
opini yang bermunculan, padahal sumber yang diperoleh tak lebih dari
sekedar opini juga. Pun pokok bahasan tentang mengkritik orang lain,
jauh lebih mengasyikkan dibandingkan bahasan bagaimana mengajak mereka
kembali pada kebenaran. Barangkali, keadaan inilah yang diwanti oleh
para orang tua terdahulu, agar tak banyak berkata dalam hal yang
sia-sia. Atau bukan kesiaan, tapi tak ada kebijaksanaan.
Maka,
sebagai orang yang masih mempunyai nurani dan budi pekerti, harusnya
kita kembali bertanya, untuk inikah kemudahan itu ada. Untuk menjadi
seseorang yang sekedar dikenal atau menjadi mereka yang menyuarakan
kebenaran dengan sebenar-benarnya kebenaran. Maka, mari kita kembalikan
budaya untuk kembali kepada para guru, dan menjadi kaum yang belajar
sebelum berkata.
Pst: Barangkali sang penulis juga masih masuk menjadi golongan itu dengan status biasa.
Sekre HMPD, 17117