Belajar sebelum Berkata

17/01/17

ejak masa kecil, banyak dari anak-anak Indonesia, diajarkan dengan cerita-cerita kancil maupun peribahasa-peribahasa populer. Cerita dan peribahasa tersebut pun, acapkali menjadi sebuah tuntunan dan watak dari bangsa itu sendiri. Salah satu peribahasa yang terkenal ialah air beriak tanda tak dalam, dan air tenang menghanyutkan.

Entah sadar atau tidak, peribahasa yang memiliki makna bahwa seseorang yang lebih banyak diam biasanya memiliki ilmu dan kebijaksanaan, dan mereka yang banyak berkata, biasanya tak memiliki apapun selain omongan saja. Hingga banyak akhirnya generasi muda yang tumbuh dalam kediaman. Ditambah dengan kata-kata mutiara diam itu emas, maka anak-anak Indonesia banyak yang tumbuh menjadi mereka yang lebih suka untuk berdiam. Diam untuk melihat, diam untuk mendengar, diam untuk memahami, dan diam untuk menyampaikan.

Tapi ketika menginjak masa remaja, generasi itu bertemu dengan zaman sudah berubah. Kata-kata diam itu emas pun menjadi sebuah dongeng di masa lampau. Keterbukaan dan kemudahan dalam mengakses dunia, menjadikan generasi sekarang tumbuh dalam keadaan yang serba dimudahkan. Bahkan kebebasan itu kini tak lagi hanya disampaikan dalam bentuk tulisan saja, semua aplikasi yang ada seolah berlomba untuk menyediakan pelayanan terbaik, agar generasi itu memiliki kemudahan untuk menceritakan kehidupan. Setiap saat barangkali akan selalu muncul cerita-cerita baru, di berbagai lini masa, di berbagai media sosial yang ada.

Hingga akhirnya kemudahan ini, yang dibarengi juga dengan kemudahan berekspresi, menjadikan generasi itu menjadi 'penulis' yang bisa menuliskan segalanya dengan sesuka hati mereka. Acapkali banyak opini yang bermunculan, padahal sumber yang diperoleh tak lebih dari sekedar opini juga. Pun pokok bahasan tentang mengkritik orang lain, jauh lebih mengasyikkan dibandingkan bahasan bagaimana mengajak mereka kembali pada kebenaran. Barangkali, keadaan inilah yang diwanti oleh para orang tua terdahulu, agar tak banyak berkata dalam hal yang sia-sia. Atau bukan kesiaan, tapi tak ada kebijaksanaan.

Maka, sebagai orang yang masih mempunyai nurani dan budi pekerti, harusnya kita kembali bertanya, untuk inikah kemudahan itu ada. Untuk menjadi seseorang yang sekedar dikenal atau menjadi mereka yang menyuarakan kebenaran dengan sebenar-benarnya kebenaran. Maka, mari kita kembalikan budaya untuk kembali kepada para guru, dan menjadi kaum yang belajar sebelum berkata.

Pst: Barangkali sang penulis juga masih masuk menjadi golongan itu dengan status biasa.
Sekre HMPD, 17117

Mari Mentraktir

10/01/17

Salah satu keuntungan dari memiliki teman ialah ada mereka yang bisa membantu dan menemani kita. Dan kriteria teman sejati, seperti yang dikatakan oleh seorang sahabat, ialah mereka yang mampu membersamai dikala kita sedang berduka.

Ada begitu banyak duka yang bisa saja hadir dalam hidup kita. Harus mengulang ujian, belajar ndak paham-paham, atau mungkin kehabisan uang jajan di akhir bulan. Saat itulah, kawan-kawan sejati itu hadir, memberikan secercah harapan dan pemakluman bahwa dalam hidup kita tidak pernah sendirian.

Adalah dalam fisika kita juga mengenal hukum kekekalan energi. Di mana hukum tersebut berbunyi bahwa suatu energi tidak dapat dihapuskan, hanya saja ia mengalami perubahan menjadi bentuk energi lain.

Barangkali seperti itulah kebaikan-kebaikan yang kita temui dalam hidup kita ini. Setiap kebaikan yang kita lakukan, akan selalu mengalir ke segala penjuru. Kebaikan itu terus bersemi, terus memberi arti, meski terkadang kita sudah tidak sadar bahwa kebaikan itu bermula karena kebaikan sebelumnya.

Maka, mari kita galakkan gerakan untuk berbagi kebaikan. Salah satu contohnya barangkali dengan berusaha menyisihkan uang jajan kita, dan mengajak makan bersama sahabat-sahabat yang kita punya. Sungguh, tiadalah ajakan kita, dan sedikit uang yang kita keluarkan, menjadi sebab dari perkara kecuali kebaikan. Di mana hubungan kita menjadi erat, tambah erat, dan semakin erat.

Pun bisa jadi nantinya kita juga akan ditraktir olehnya. Sehingga meski dalam hitungan manusia impas karena sama-sama menraktir, tapi dalam gambaran ruhani setiap transaksi traktir menraktir membuahkan cinta di antara kita yang semakin membesar adanya.

Bayangkan juga kalian makan bersama, membayar sendiri-sendiri. Ah, biasa dan tak lebih dari sekedar makan biasa. Tetapi dengan bergantian memberi, cinta dan kasih akan tumbuh dan meninggi laksana mentari di pagi hari.

Maka, tak salah Rasul bersabda, tahaaduu, tahaabbu. Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai. Iya, salinglah memberi, bukan satu pihak saja. Karena yang butuh cinta adalah kita semua.

Pst: Terima kasih buat teman-teman yang sudah mentraktir saya, saya tunggu traktiran selanjutnya :“)
Rahmi, 10 Januari 2017
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS