Titik Balik Kita

30/10/18


Selamat, Anda diterima di fakultas kedokteran Universitas X.

Kalimat ini, terlihat sederhana dan tanpa makna atau kata-kata puitis di sana. Font yang dipakai pun biasa saja, tapi ada banyak orang yang bahagaianya tidak ketulungan ketika membaca kalimat ini pada gawai yang dipegangnya. Yap, diterima menjadi mahasiswa kedokteran merupakan mimpi yang didambakan banyak anak, bahkan bukan Cuma anaknya, tapi juga bapak ibunya. Tak terasa, perjuangan yang selama ini dilakukan akhirnya berbuah manis. Calon dokter, menjadi salah satu yang dirasa derajatnya sedikit tinggi dibandingkan kawan-kawan yang diterima di jurusan lain.

Aih, ternyata kemudian apa yang diimpikan berbenturan dengan realita. Perjuangan menjadi seorang dokter ternyata bukanlah jalan yang mudah. Ada banyak ujian yang harus dilewati, dari asistensi pagi hari, pretest dan postest, sampai responsi dan ujian Blok selalu menghantui. Dan kemudian, niat untuk menjadi mahasiswa kedokteran itulah benar-benar akan diuji.

Ada banyak kemudian yang mulai merasa cemas. Dari sekian ujian yang dilewati, ternyata mulai banyak yang gagal lulus atau remidi. Sesuatu yang dianggap baru bagian sebagian besar mahasiswa baru ini, ya selama ini mereka selalu menjadi bintang di kelasnya, dari TK sampai SMA. Ranking satu dua yang biasanya menjadi makanan sehari-hari, kini hanya menjadi impian di tengah siang bolong. Tak jarang yang kemudian merasa terbebani dengan berbagai status merah atau remidi yang disandangnya. Ya mau gimana lagi, dulu biasanya yang teratas, sekarang malah jadi yang terbawah.

Di titik awal seperti inilah kemudian kesungguhan masing-masing mahasiswa itu kembali teruji. Dan ternyata, bukan satu dua saja yang mengalaminya, ada banyak dari mahasiswa kedokteran yang merasakan ketakutan dan tekanan yang sama. Dari seorang juara kelas, lalu harus bersusah payah demi lolos dari remidi. Dari seorang juara olimpiade, lalu harus mengais-ngais nilai demi tidak ujian lagi. Dan ternyata, saya juga pernah termasuk di antara mereka.

Adalah sejak osmaru (orientasi mahasiswa baru) bermula, saya mulai merasakan tekanan ini. Dulu, saya merasakan kegelisahan yang sama. Saat itu kelompok kami melanggar salah satu aturan, dan oleh mas mas komdis kami diberi hukuman untuk menghapalkan 9 regio abdomen. Eh regio, makanan apa itu? Abdomen? Apakah itu makanan khas Jepang? Oke itu ramen, gak lucu btw. Tapi beneran, saya tertekan. Di hari berikutnya ketika harus setoran, terlihat kawan-kawan saya merapalkan kesembilan regio dari hipocondriaca dextra sampai lumbal sinistra dengan lancar. Sementara saya masih saja kagok dan mencerna apa maksud dari semua ini.

Pun mulai masuk course, dari Anatomi, Fisiologi, hingga Histologi. Saya masih takjub dengan kawan-kawan saya yang tiap kuliah selalu menganggukkan kepala. Sementara saya hanya terdiam tak percaya, istilah apakah semua ini. Apa benar saya harus menghafal semuanya. Apa benar saya harus memahami segalanya? Dan puncaknya, ketika sampai fase responsi saya remed 2 dari 3 mata kuliah itu. Pun untuk course fisiologi yang lolos pun, saya sama sekali belum paham apapun kecuali bahwa homeostasis itu adalah sebuah keseimbangan layaknya yin dan yang.

Rasa minder kemudian menyelimuti lagi ketika memasuki blok-blok selanjutnya. Dari blok Biomolekuler sampai blok Immunologi, saya lihat kawan-kawan yang lain dengan mudahnya memahami diagram-diagram itu. Sementara saya, bahkan bisa hafal satu enzym saja sudah bersyukur. Jangankan berharap nilai A, lulus aja sudah menjadi salah satu hal yang membuat saya bahagia.

Dan saya semakin tertekan ketika setiap diskusi teman-teman saya selalu memahami setiap materi yang diberikan. Saya tertekan, meskipun saya masuk UNS bukan dari jalur undangan, tapi tetap saja beban menjaga nama seorang hafizh itu bukan beban yang sederhana. Tapi saya selalu menghibur diri, “gapapa, kan dulu mereka dari sekolah negeri, jadi ya emang mereka udah fokus ke materi seperti itu dari lama. Kan dulu aku banyak belajar huruf arabnya jadi ya gapapalah adaptasi”. Sebuah pembenaran yang sebenarnya tidak sepenuhnya benar, tapi tetap saya gumankan demi menghibur diri agar tidak berlarut dalam kesedihan.

Pun kemudian ketika akhirnya melihat kakak tingkat yang berprestasi dengan segala caranya, di organisasi, menjadi asisten lab, menjadi delegasi olimpiade, saya menjadi semakin minder. Duh, IPK kok Cuma segini, mungkin gak ya bisa sekeren mereka. Duh, saya gak paham banyak hal, bisa gak ya bermanfaat seperti mereka. Saya pun saat itu Cuma mencanangkan dua mimpi yang keliatan muluk, menjadi delegasi IMO musculoskeletal dan asisten anatomi, meskipun sama sekali ndak tahu gimana caranya nantinya.

Adalah kemudian akhirnya Allah yang memudahkan jalannya. Saya dipertemukan dengan Jibril, Mas Taufik, dan kawan-kawan lain yang kemudian membimbing saya untuk banyak belajar. Hingga akhirnya diterima menjadi asisten anatomi menjadi titik balik pertama saya. Saya yang notabene berIP pas-pasan, dipertemukan dengan kawan-kawan hebat yang tak diragukan etos belajar dan kecerdasannnya. Dan saya bersyukur, semangat belajar mereka menular, yang awalnya saya menganggap bahwa belajar itu adalah sebuah hal yang susah, karena tekanan dari kawan-kawan yang pintar akhirnya perlahan saya mulai belajar menikmati semua hal itu.

Pun kemudian titik balik kedua saya ada saat saya terpilih menjadi seorang ketua himpunan. Adalah saya sering memotivasi staff saya untuk belajar, kemudian saya tertohok seandainya etos belajar saya tidak lebih dari mereka. Dari situlah kemudian saya mencoba untuk lebih aktif dalam diskusi tutuorial, lebih serius ketika belajar OSCE, dan lebih berusaha ketika akan menghadapi UB. Dan berbagai hal yang dulu saya anggap sebagai beban, ternyata perlahan berubah menjadi kenikmatan. Dan saya bersyukur, Allah berikan kemudahan untuk berbalik di titik ini.

===
Dalam berbagai kesempatan diskusi dengan beberapa orang, termasuk kakak tingkat dan dosen saya, beliau pernah berpesan bahwa setiap orang memiliki titik baliknya masing-masing. Yang perlu dilakukan sekarang hanyalah berusaha untuk meraih titik balik itu. Karena sejatinya juga, hidup kita adalah benar-benar seperti roda, ada begitu banyak titik balik, dan semudah itu Allah kemudian membolak-balikkan kita, atau menaik turunkan derajat kita. Di sanalah kemudian, keinsafan bahwa diri kita tak ada apa-apa tanpaNya perlu ditanamkan.

Seperti di awal, ada mereka yang juara kelas dari SD-SMA, tapi kemudian Allah berikan ujian yang cukup berat selama menjadi mahasiswa kedokteran. Kemudian dia berusaha survive, Allah mudahkan, hingga akhirnya bisa berprestasi semasa preklinik, lalu Allah pertemukan dengan masa koas yang kata sebagian orang ialah seperti keset. Masa koas terlampaui, lalu tersematlah gelar dokter. Dibanggakan keluarga hingga mungkin warga desa, tapi kemudian ketika mengambil PPDS dijadikan lagi dia di bawah, bahkan bahasa kasarnya di bawah keset.

Begitulah takdir hidup berjalan, ada kalanya kita di atas, tapi tak jarang juga kita di bawah. Maka benalah kemudian ketika dokter Indah kemarin berkata bahwa dokter itu sama sekali tak layak untuk sombong. Karena tadi, semudah itu kemudian Allah akan mengubah derajatnya. Di sanalah kita kemudian belajar akan kesyukuran ketika berada di atas, dan kesabaran ketika berada di bawah.

Maka ketika barangkali tiba masa-masa sulit itu, semoga kita terus dikuatkan. Karena pasti Allah yang akan memberikan titik balik bagi kita. Bisa jadi titik balik itu bukan di masa pre klinik ini, bisa jadi ketika koas, bisa jadi ketika sudah lulus dokter, ketika sudah berkeluarga, memiliki anak, atau saat-saat setelahnya. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha dan percaya, bahwa akhir yang baik akan diberikan kepada mereka yang percaya janjiNya.

Dan bukankah untuk melihat sunrise dari puncak gunung dengan indah diperlukan pendakian yang tak mudah?

Maha benarlah firmanNya ketika manusia berangankan surga
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?” (Al Baqoroh: 214)

Semoga aku dan kamu dikuatkan. Kalau kamu lagi bete, cerita aja. Kalau kamu lagi lelah, cerita aja. Kalau kamu lagi butuh bantuan, cerita aja. Kalau cerita kepada manusia belum menyelesaikan masalah, coba cerita dalam sujudmu di atas sajadah

Huda S Drajad
G0015110
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS