Meski Terasa Pahit

16/10/14

Qulil haqqo walau kaana murron
Katakanlah kebaikan, walau kan dirasa kepahitan

                Aku yakin, pasti kalian udah pada pernah hafal mahfuzhot di atas (itu mahfuzhot atau hadist :D). Sejak Mts, atau mungkin malah sewaktu masih ngaji di madrasah diniyah semasa SD dulu, pasti kita udah dikenalkan dengan kata mutiara itu. Katakanlah kebenaran, walau terasa pahit.

                Pahit di sini bisa terasa bagi kedua belah pihak, baik yang mendengar maupun yang mengucap. Dan tentunya yang kedua lebih sering merasakannya. Dan harus selalu kita yakini, bahwa kebenaran tetaplah kebenaran. Sekalipun ia diringi rasa pahit, ia akan diganjar dengan kebaikan oleh Sang Penguasa Langit. Sekalipun ia sepat, ia akan membawa kebahagiaan kelak di akhirat.
***

                Salah satu kisah yang telah masyhur adalah kisah Ka’ab bin Malik. Kisah yang dialami oleh sahabat yang dijuluki Rasulullah penyair ini begitu mulia dan menyejarah. Ia merasakan kepahitan setelah mengatakan kebenaran. Dan pada akhirnya ia mengetahui, betapa manis apa yang ia cecap setelahnya.

                Adalah saat itu, ketika Rasul mengabarkan kepada para Sahabat untuk berjihad –padahal beliau biasanya merahasiakan peperangan-, tanaman-tanaman di Madinah sedang subur-suburnya, dan buah-buahnya sedang ranum-ranumnya. Di perang terakhir yang dipimpin langsung oleh Rasulullah tersebut, Ka’ab bin Malik sebenarnya mampu dan berada dalam kondisi yang paling kondusif untuk berperang. Saat itu, Ka’ab juga telah membeli hewan tunggangan.

                Sayang, Ka’ab terlalu asyik dengan kebunnya, hingga dia tertinggal untuk berangkat berjihad. Lalu, berkatalah ia dalam hati, “besok, aku akan ke pasar untuk membeli perbekalan, dan berangkat menyusul mereka.

                Keesokan harinya, ia pergi ke pasar, dan sayang, ia tak berhasil menemukan apa yang diinginkannya. Pergilah Ka’ab ke pasar di hari berikutnya, dan ia dapatkan keadaan yang sama. Berlangsunglah hal itu berhari-hari, hingga akhirnya ia tidak mengikuti peperangan tersebut.

                Lalu, Ka’ab berjalan-jalan di sekitar pasar Madinah, dan tidak didapatinya orang yang tetap tinggal, kecuali mereka yang telah dicap sebagai munafik. Jumlah mereka 80 orang lebih dan mereka merasa tidak diketahui, tersebab banyaknya orang yang tidak dikenal.

                Sekembalinya Rasulullah dari perang tersebut, Ka’ab memikirkan cara untuk meredam amarah beliau. Ditemuinya sanak dan famili untuk bertukar pikiran tentang alasan yang akan ia kemukakan setibanya Rasulullah tiba di Madinah.

                Dhuha itu, Rasulullah memasuki masjid. Seusai melaksanakan sholat Dhuha, beliau lalu duduk-duduk di dalamnya. Kemudian, satu per satu orang yang tidak ikut berperang mendatangi Rasulullah, menyampaikan berbagai alasan, setelah didahului dengan sumpah. Lalu Rasulullah beristighfar, menerima lahir mereka dan menyerahkan yang batin kepada Allah.

Lalu sampailah pada giliran Ka’ab bin Malik. Ditanyailah ia oleh Rasulullah,
“Bukankah kamu telah membeli unta, yang bisa kau tunggangi?”
“Benar ya Rasulallah”, jawabnya mengiyakan.
“Lalu kenapa kau tidak mengikuti perang ini?”, tanya beliau lagi.

                Dijawablah ia dengan jawaban yang sungguh menakjubkan, dan layak untuk kita pelajari dan teladani.

                “Wallahi, Demi Allah. Andaikan bukan Engkau yang berada di hadapanku wahai Rasulullah, tentunya aku bisa menyampaikan alasan, dengan kepawaian lidah yang telah Allah anugerahkan untukku, sehingga amarahnya bisa ku padamkan. Namun, aku menyadari seandainya aku berkata benar sekarang, meski itu mebuat engkau berang, aku berharap Allah akan mengampuninya. Dan seandainya aku menyampaikan kedustaan, meski hal itu membuat engkau senang Ya Rasulallah, pasti Allah akan mengungkapkan segala kebohongan. Ya Nabiyallah, sungguh aku berada pada posisi yang paling memungkinkan untuk berperang.”

                Kemudian Ka’ab disuruh Rasulullah untuk berdiri. Lalu, sebagian besar kaum Muslimin yang berada di sana, menyalahkan Ka’ab, “demi Allah, belum pernah kami melihatmu melakukan dosa sesuatupun. Mengapa kamu tidak menyampaikan alasan sehingga beliau memaafkanmu dan beristighfar untukmu?” Mereja terus menyalahkannya hingga hampir-hampir ia menarik kembali perkataannya, andaikan ia tidak tahu bahwa Hilal dan Umayyah dan Muroroh binti Rabi’ah mengatakan hal yang sama.

                Kemudian Rasulullah melarang kaum Muslimin untuk berbicara dengan mereka bertiga. Setelahnya, perlakuan orang-orang berubah, seakan-akan tidak pernah mengenal mereka. Bumi seolah menjadi sempit dan sesak di dada mereka. Salam mereka tidak dijawab. Senyum mereka tidak dibalas. Sapaan mereka tidak ditanggapi.

                Akan tetapi, Ka’ab tetap yakin di atas millah ini. Bahkan, ketika diajak Raja Ghossan untuk bergabung dengan mereka pun, ia tidak menggubrisnya. Ka’ab juga tetap berusaha sabar, meski ketika telah berlalu 40 hari dan dia harus berpisah dan ditinggal sang istri. Sungguh, saat itu beliau merasakan kesempitan yang begitu menyesakkan, sebagaimana yang Allah gambarkan dalam Al Qur’an. Dhoqot ‘alaihimul ardhu bimaa rohubat wa dhooqot ‘alaihim anfusuhum.

                Lalu, tibalah hari itu, hari ketika ia mendengar seruan dari puncak gunung Sal’, “Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”

                Ka’ab langsung bersujud dan mengetahui bahwa Allah telah memberikan jalan keluar untuknya. Kemudian diberikanlah pakaiannya kepada sang pemberi kabar gembira tersebut. Setelahnya ditemuilah Rasulullah.

                Saat itu, beliau sedang duduk di masjid dan dikelilingi oleh para Sahabat. Wajah beliau saat itu bersinar, menampakkan cahaya kebahagiaan. Ka’ab lalu mendekat dan bersimpuh di hadapan beliau. Lalu berliau bersabda “Ka’ab bin Malik, bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah engkau lalui sejak dilahirkan ibumu.”

***
                Hari itu, bersyukurlah Ka’ab bin Malik atas kejujuran yang ia junjung. Terpujilah namanya di bumi dan di langit. Dan abadilah kisahnya dalam Al Qur’an nan mulia, untuk memberi pelajaran kepada orang-orang yang datang setelahnya.

                Ka’ab telah merasakan, betapa manisnya cecapan kebenaran, meski harus diawali dengan kepahitan. Ia merasakan bahwa akhir yang indah akan diberikan kepada mereka yang menjunjung kejujuran, bukan mereka yang mendustakan. Ia telah menjadi bukti, bahwa tiadalah kebenaran membawa keburukan, akan tetap pahit hanyalah ujian untuk memperoleh keberhasilan.

                Potret kehidupan para salaful ummah memang menakjubkan. Kita merindu pribadi Sa’ad, yang jujur dan berani mengatakan kebenaran. Kita merindu sosok, yang karenanya Allah berfirman, “Ya ayyuhalladziina aamanu ittaqullaha wa kuunuu ma’ash shodiqin”. Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah, dan jadilah termasuk orang-orang yang benar. Allahummaj’alnaa minhum.
inspired from : At Taibuuna ilallah

Klaten, 23 Dzulhijjah 2014

Amal, Ujian, Kesabaran

12/10/14


Wa quli’maluu fasayarollahu ‘amalakum wa rosuuluhu wal mukminun. Dan katakanlah, beramallah kalian, maka akan melihat amal-amal kalian Allah, Rasul-Nya, dan segenap kaum muslimin lainnya.

Seringkali, kita merasakan kesusahan dalam melaksanakan sebuah amal. Sendiriankah atau berjamaah. Berkhalwat dalam tenang maupun dalam keramaian orang. Semua pernah merasakan dan hal itu adalah sebuah kepastian. Karena sungguh, tiadalah seseorang memperoleh kekuasaan, tanpa menghadapi ujian dan kepayahan.

Kadang, kita sering bersuudzon pada-Nya. Apa mungkin bukan ini yang diridhoi-Nya? Apa mungkin bukan ini yang patut kami kerjakan. Apa dan apa, mungkin dan mungkin.

Aku sendiri juga sering mengalaminya. Salah satunya, saat ketika aku ditunjuk sebagai pengajar TPA, meneruskan perjuangan seniorku. Awal menjabat, ada banyak target yang ingin ku capai. Di awal masa mengajar, ada banyak hal yang ingin ku gapai. Sungguh, saat itu semua begitu mudah terasa.

Tapi sebagaimana rumus yang jamak berlaku, ada banyak hal yang kita harapkan, berkebalikan dengan apa yang menjadi kenyataan. Saat itu, tidak ada satupun murid yang masuk. Satu dua, itu pun hanya bermain dan berlalu. Berulangkali aku berangkat dengan penuh keyakinan, dan berharap akan segera terjadi perubahan.

Seminggu, dua minggu, tiada perubahan yang berarti.Teman-teman seperjuangan yang mengajar di tempat yang berbeda, mulai akrab dengan para murid dab membangun kebersamaan bersama. Sedang aku, selalu duduk di sudut masjid itu, merenung dan terpaku.

Saat itu aku mulai merasa, apakah mungkin Allah tidak meridhoi jalan ini? Apakah mungkin, karena hal ini bukanlah jalan yang baik, lalu Allah menyemai duri? Aku selalu bertanya dalam keadaan tiada pasti.

Hampir sebulan aku mengajar, dan masih belum ada satu pun yang datang. Aku mulai goyah. Mulai kubuaat beberapa planning cadangan, dari berhenti mengajar atau pindah ke lain tempat. Saat itu, partner mengajarku juga hampir-hampir menyerah. Hasbunallah.

Setiap hari aku mencoba berdo’a, dan teringat usahaku untuk bisa mengajar, yang saat itu tersandung berbagai hambatan. Mulai dari usaha untuk segera menyelesaikan hafalan (karena resminya, kita baru dibolehkan mengajar saat udah selesai 20 juz) , lalu kegamangan saat diminta untuk mengajar di tempat yang berbeda, dan usaha-usaha lainnya.

Ketika akhirnya bisa mempertahankan gelar juara
Dan suatu ketika, doa yang ku panjatkan akhirnya terkabulkan. Sedikit demi sedikit, pelan pelan, para murid mulai datang. Mungkin hanya hitungan jari, tapi tak apalah mereka mampu mengembalikan semangat kami. Dan hari itu menjadi awal kegemilangan tempat kami untuk menyabet berbagai prestasi, kelak di kemudian hari.

Begitulah, dari pengalaman tersebut aku belajar untuk lebih menginsyafi, bahwa tak selamanya jalan dakwah itu mudah. Aku jadi semakin meyakini, bahwa akan selalu ada ujian dalam setiap langkah, tapi hanya dia yang terus berusaha yang dapat berubah.

ketika juara ketiga kali berturut-turut
Saat-saat seperti itu membuatku merasakan, betapa beratnya ujian yang dulu menimpa Rasulullah, dalam mengemban risalah. Sungguh aku malu, begitu banyak aku mengeluh hanya karena sebuah peluh. Begitu sering aku menggerutu, padahal semua itu adalah kebaikan bagiku. Astaghfirullah.

Sungguh, Rasulullah akan berhenti berdakwah, jika beliau berfikiran bahwa jalan yang disemai duri  berarti tidak diridhoi. Dalam semua siksaan, dalam setiap cercaan, dalam segala cobaan.

Sungguh kita perlu belajar lagi, perlu lebih mentadabburi, perlu lebih menghayati dan menafakkuri, ayat yang telah termaktub dalam dustur ilahi.

“Apakah kalian mengira, kalian akan diberi balasan surga, dan belum datang kepada kalian permisalan orang-orang yang datang sebelum kalian. Mereka ditimpa kesusahan dan kepayahan, hingga berkatalah Rasul mereka, bilamanakah pertolongan Allah. Sesungguhnya amat dekatlah pertolongan-Nya”

Sungguh, aku merasa malu.

Karangpandan, 19 Dzulhijjah 1435 H.

Pria Setengah Lelaki

06/10/14


Kau hancurkan aku dengan sikapmu
Tak sadarkah kau telah menyakitiku
Lelah hati ini menyakinkanmu
Cinta ini, membunuhku



Whoah, aku jadi keterusan nyanyi. Pasti pada kenal ama lagu ini. Dan pasti banyak juga yang bilang ‘nyentuh banget’ *make nada alay. Ada juga yang bilang ‘ihh, lagunya so sweet banget’. Jujur, aku dulu juga berfikiran kayak gitu. Tapi sekarang, ternyata itu lagu maknanya payah, gak nguati babar blas.

Pria setengah lelaki, mungkin ini judulnya gak bisa dan gak dibenarkan dalam kaidah bahasa. Tapi kalau salah terus mau diganti apa? Lelaki banci-kah? Atau waria-kah? Entar dikira aku mau bahas masalah transgender terus bikin kontroversi gitu. Heu. Bukan, bukan. Bagiku, orang kayak gitu udah gak pantes disebut lelaki lagi. Wal’iyyadzubillah.

Maksud dari pria setengah lelaki itu ya, pria yang payah. Pria yang mungkin sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pria yang terlihat parlente, padahal sebenarnya kere. Pria yang katanya keren, padahal sebenarnya cemen. Pria yang sering disematkan gelar maskulin, padahal aslinya gak lebih dari kanak-kanak bertubuh bongsor yang bisanya cuma main.

Mereka yang ku maksud, pria bermulut buaya yang sukanya berdusta dan pria pengemis cinta, yang gak punya derajat di hadapan wanita. Dan mereka berdua sama, gak jauh lebih baik daripada para banci dan waria.

Yang pertama, buaya darat penipu, pria yang kerjaannya memberi harapan palsu. Pria yang suka tebar pesona, baik dengan ketampanan maupun harta, yang kebanyakan juga kebanyakan masih minta orang tua. Pengecut dan gak gentle, itu kata ustadh kami. Kenapa? Ya karena mereka masih kekanak-kanakan dan gak bisa berfikir dewasa.

Mereka gak pernah mau bertanggung jawab dan bisanya Cuma nyakitin perasaan pasangannya. Dan ceweknya juga payah, mau-maunya gitu digombalin. Harusnya kalau ketemu ‘spesies’ kayak gini, dia bilang ‘What The Hell’! Bukannya malah terpikat terus maksiat. Astaghfirullah.

Lelaki kedua, sang pengemis cinta. Pria yang jauh lebih payah. Pria rentan, yang seolah-olah nyawanya di tangan wanita. Sukanya lagu romantis, dan kalau ditinggal ceweknya nangis. Suka lagu mellow, dan lihat film yang ber-quote ‘o em ji hellow’. Payah. Ya Rabb, na’udzubika minhu.

Padahal ya, seorang lelaki itu kudu kuat. Gak gampang menyerah. Bisa menghadapi segudang masalah. Hla ini, ditinggal satu cewek aja galau berminggu-minggu. Padahal, masih ada segudang cewek di dunia, yang jauh lebih baik dalam akhlaq, rupa, dan agama. Gak perlu sampai nangis-nangis mimblik gitu. Pyuh.

Semoga Allah menyelamatkan kita, dari jenis lelaki seperti ini, baik membersamai atau menjadi sepertinya. Sungguh kita rindu pada mereka, sosok yang ditunggu dan dinanti oleh mertua, tanpa harus mengemis dan meminta. Mereka yang dipilih karena agama dan akhlaqnya. Allahummaj’alnaa minhum.

Karangpandan, 9 Dzulhijjah 1435 H

Zaman Lisan

01/10/14

Zaman cangkem, awalnya aku pengen ngasih judul begitu. Cuma kayaknya terlalu keras. Aku takut dicerca -,-“. Pertama kali aku denger kata majemuk ini, sewaktu pembacaan Laporan Pertanggung Jawaban kemaren. Itu yang bilang mudirku langsung, yah emang rada keras, tapi sesungguhnya menggambarkan betapa urgennya hal ini. Dan terpaksa, aku ganti judulnya.

Zaman cangkem, berarti zaman perkataan, zaman lisan. Zaman bilamana orang-orang suksesnya adalah orang-orang yang mau berkata. Di zaman ini, banyak orang yang sukses yang besar bukan karena kepintarannya, tapi hanya karena kepandaiannya dalam mengolah kata.

Hitler
Adolf Hitler pernah berkata, “Kebohongan akan menjadi kebenaran, manakala ia terus disampaikan”. Bayangin aja, Cuma bermodalkan ngobral kata-kata. Cuma tinggal ngomong di sini, dan ngomong di sana, dan bim salabim apa yang disampaikan dianggap sebagai kebenaran.

Ada banyak bukti yang bisa dijadikan contoh. Misalnya para sales keliling, kita lihat, mungkin barang yang mereka jual kurang berkualitas dan bisa dikatakan mahal. Tapi seiring dengan omongan dan mungkin ‘bualan’ yang terus ia sampaikan, konsumen menjadi tak ragu untuk membelinya.

Selain itu, perkataan juga sarat dengan kekuasaan. Bayangkan apabila seorang presiden berkhutbah saja gagap, apakah rakyatnya masih menganggap dia sebagai pemimpin yang cakap? Bayangkan juga seandainya seorang raja berkata terbata, masihkah rakyatnya mau mengikutinya?

Tapi kita lihat para anggota parlemen, meski banyak di antara mereka yang berpendidikan rendah, meski tak sedikit di antara mereka yang mempunya gelar tanpa menempuh kuliah. Tapi kita lihat, mereka bisa duduk di Senayan, menguasai para teknokrat dan cendekiawan. Kenapa? Kok bisa? Karena mereka punya modal olah kata dan suara.

Rasulullah sendiri juga tidak menyepelekan masalah perkataan. Beliau pernah bersabda, wa inna minal bayaani lasihrun. Dan dari sebagian perkataan itu adalah sihir. Allahu akbar.

Maka, sudah selayaknya bagi kita belajar, bagaimana cara ngomong yang baik. Belajar bagaimana mengungkapkan apa-apa yang terbesit dalam benak kita. Belajar bagaimana menyampaikan perkataan dengan hikmah, agar ia berharga dan tak dibuang layaknya sepah.

Sungguh mulia doa yang diucap oleh Nabi Musa. Doa yang dirapal oleh sang pemimpin yang meski berlisan kelu, tapi mempunyai saudara yang padu. Doa yang dilantun oleh sang lelaki perkasa, yang selayaknya bagi kita untuk mengikutinya. Rabbi isyroh lii shodrii, wa yassir lii amrii, wahlul ‘uqdatan min lisaanii, yafqohuu qoulii.

Duhai rabbi, lapangkanlah dada ini, dan mudahkanlah perkara yang hamba lalui, serta jadikanlah lisan ini tiada kelu lagi. Agar dengannya, mereka memahami.

Duhai indahnya, duhai syahdunya.

Karangpandan, 8 Dzulhijjah 1435 H

Lelaki rabun bertabur cahaya

Innamal a’maalu bin niyat

Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, itulah sabda Rasul yang mulia. Yang dipilih Imam An Nawawi sebagai hadits pertama dari 42 kumpulan haditsnya. Menggambarkan betapa mulianya niat, betapa besarnya, betapa pentingnya.

Ya, niat, pondasi dari setiap amal yang kita lakukan. Dan di zaman yang penuh tekanan ini, ada banyak hal yang kita lupakan. Niat amal sholeh untuk kita sendiri, bagus tapi masih ada kekurangan. Bagus, tapi masih ada yang terlupakan. Bagus, tapi masih butuh sedikit perbaikan.

Sungguh, kita akan termasuk dari golongan orang egois, tatkala kita berniat untuk kebaikan kita semata. Sungguh, kita akan termasuk dari golongan orang individualis, manakala kita hanya berupaya untuk kemajuan kita saja. Kenapa? Karena Islam mengajarkan kita untuk maju bersama. Karena Islam mendorong kita untuk terus berbagi. Berbagi harta, berbagi cinta, berbagi cita, dan berbagi suka duka.

Karena dengan bersama, keajaiban akan terjadi. Karena dengan bersama, keajaiban logika langit mampu bekerja. Karena dengan bersama, niat kadang menjadi kenyataan, meski kita belum mampu melaksanakannya.

Begitulah, karena saat kita berfikir sendiri, otak ini terlalu lemah untuk ditimpa berbagai masalah. Dengan berfikir bersama, cita-cita akan mudah tercapai. Karena saat bersama, kita akan saling mengisi. Saling menambal kekurangan antar pribadi. Saling mengingatkan saat lalai menghampiri. Dan saat futur menerpa bisa terus berbagi motivasi. Semua berawal dari niat untuk kebaikan bersama.

***

Lelaki rabun dan lelaki buta, dari merekalah cerita ini bermula. Kisah agung nan mulia. Mungkin kisah mereka akan membuka sebuah cakrawala, yang bagi kita kadang dilupa.

Tersebutlah di zaman dahulu, ketika kekuasaan Islam masih berjaya, dua orang yang bersahabat. Mereka bukanlah sahabat biasa, karena yang satu rabun, dan yang lain buta. Rojulun aghmadh wa rojulun a’ma.

Mereka begitu padu, berangkat ke masjid bersama berlalu. Sang lelaki rabun menuntun Sang Kawan, menunjukkan padanya rumah Ar Rahman. Tapi sebagaimana sunnatullah yang selalu ada, banyak pribadi yang mencibir dan mencela. Bagaimana seorang yang rabun menuntun si buta, padahal untuk melihat saja, dia harus bersusah dan melebihkan usaha? Sebuah pemandangan yang mengundang gelak tawa.

Sang lelaki rabun pun menyadarinya. Maka, suatu hari dia berkata pada sahabatnya, “Sepertinya kita harus mengambil jalan yang berbeda, agar tiada lagi orang yang mencela kita.” Sang kawan menyergah, “Kenapa? Bukankah ketika kita dicela mereka mendapat dosa dan kita memanen pahala? Bukankah ketika kita dihina mereka justru yang kan terhina dan kita menjadi mulia?” Dijawablah sang buta dengan ketulusan dan senyum yang menawan, “Ya, kau benar akhi. Tapi, aku lebih suka jika kita mendapat kebaikan dan pahala, dan mereka juga mendapatkan hal yang sama”

Subhanallah. Begitulah kharateristik orang terdahulu, berbuat kebaikan yang sering membuat kita tersipu. Begitulah sifat-sifat agung yang terpancar dalam hidupnya, ingin selalu berbagi dan memberi cahaya, meski hal itu tiada disuka. Begitulah watak agung yang mereka wariskan kepada generasi penerus, yang tiada dilekang zaman dan tiada tergerus.

Karangpandan, 7 Dzulhijjah 1435
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS