Qulil haqqo walau kaana murron
Katakanlah kebaikan, walau kan dirasa kepahitan
Aku
yakin, pasti kalian udah pada pernah hafal mahfuzhot di atas (itu mahfuzhot
atau hadist :D). Sejak Mts, atau mungkin malah sewaktu masih ngaji di madrasah
diniyah semasa SD dulu, pasti kita udah dikenalkan dengan kata mutiara itu.
Katakanlah kebenaran, walau terasa pahit.
Pahit
di sini bisa terasa bagi kedua belah pihak, baik yang mendengar maupun yang
mengucap. Dan tentunya yang kedua lebih sering merasakannya. Dan harus selalu
kita yakini, bahwa kebenaran tetaplah kebenaran. Sekalipun ia diringi rasa
pahit, ia akan diganjar dengan kebaikan oleh Sang Penguasa Langit. Sekalipun ia
sepat, ia akan membawa kebahagiaan kelak di akhirat.
***
Salah
satu kisah yang telah masyhur adalah kisah Ka’ab bin Malik. Kisah yang dialami
oleh sahabat yang dijuluki Rasulullah penyair ini begitu mulia dan menyejarah.
Ia merasakan kepahitan setelah mengatakan kebenaran. Dan pada akhirnya ia
mengetahui, betapa manis apa yang ia cecap setelahnya.
Adalah
saat itu, ketika Rasul mengabarkan kepada para Sahabat untuk berjihad –padahal beliau
biasanya merahasiakan peperangan-, tanaman-tanaman di Madinah sedang
subur-suburnya, dan buah-buahnya sedang ranum-ranumnya. Di perang terakhir yang
dipimpin langsung oleh Rasulullah tersebut, Ka’ab bin Malik sebenarnya mampu
dan berada dalam kondisi yang paling kondusif untuk berperang. Saat itu, Ka’ab
juga telah membeli hewan tunggangan.
Sayang,
Ka’ab terlalu asyik dengan kebunnya, hingga dia tertinggal untuk berangkat
berjihad. Lalu, berkatalah ia dalam hati, “besok, aku akan ke pasar untuk
membeli perbekalan, dan berangkat menyusul mereka.
Keesokan
harinya, ia pergi ke pasar, dan sayang, ia tak berhasil menemukan apa yang
diinginkannya. Pergilah Ka’ab ke pasar di hari berikutnya, dan ia dapatkan
keadaan yang sama. Berlangsunglah hal itu berhari-hari, hingga akhirnya ia
tidak mengikuti peperangan tersebut.
Lalu,
Ka’ab berjalan-jalan di sekitar pasar Madinah, dan tidak didapatinya orang yang
tetap tinggal, kecuali mereka yang telah dicap sebagai munafik. Jumlah mereka
80 orang lebih dan mereka merasa tidak diketahui, tersebab banyaknya orang yang
tidak dikenal.
Sekembalinya
Rasulullah dari perang tersebut, Ka’ab memikirkan cara untuk meredam amarah
beliau. Ditemuinya sanak dan famili untuk bertukar pikiran tentang alasan yang
akan ia kemukakan setibanya Rasulullah tiba di Madinah.
Dhuha
itu, Rasulullah memasuki masjid. Seusai melaksanakan sholat Dhuha, beliau lalu
duduk-duduk di dalamnya. Kemudian, satu per satu orang yang tidak ikut
berperang mendatangi Rasulullah, menyampaikan berbagai alasan, setelah
didahului dengan sumpah. Lalu Rasulullah beristighfar, menerima lahir mereka
dan menyerahkan yang batin kepada Allah.
Lalu sampailah pada giliran Ka’ab bin Malik.
Ditanyailah ia oleh Rasulullah,
“Bukankah kamu telah membeli unta, yang bisa kau
tunggangi?”
“Benar ya Rasulallah”, jawabnya mengiyakan.
“Lalu kenapa kau tidak mengikuti perang ini?”,
tanya beliau lagi.
Dijawablah
ia dengan jawaban yang sungguh menakjubkan, dan layak untuk kita pelajari dan
teladani.
“Wallahi,
Demi Allah. Andaikan bukan Engkau yang berada di hadapanku wahai Rasulullah,
tentunya aku bisa menyampaikan alasan, dengan kepawaian lidah yang telah Allah
anugerahkan untukku, sehingga amarahnya bisa ku padamkan. Namun, aku menyadari
seandainya aku berkata benar sekarang, meski itu mebuat engkau berang, aku
berharap Allah akan mengampuninya. Dan seandainya aku menyampaikan kedustaan,
meski hal itu membuat engkau senang Ya Rasulallah, pasti Allah akan
mengungkapkan segala kebohongan. Ya Nabiyallah, sungguh aku berada pada posisi
yang paling memungkinkan untuk berperang.”
Kemudian
Ka’ab disuruh Rasulullah untuk berdiri. Lalu, sebagian besar kaum Muslimin yang
berada di sana, menyalahkan Ka’ab, “demi Allah, belum pernah kami melihatmu melakukan
dosa sesuatupun. Mengapa kamu tidak menyampaikan alasan sehingga beliau
memaafkanmu dan beristighfar untukmu?” Mereja terus menyalahkannya hingga
hampir-hampir ia menarik kembali perkataannya, andaikan ia tidak tahu bahwa
Hilal dan Umayyah dan Muroroh binti Rabi’ah mengatakan hal yang sama.
Kemudian
Rasulullah melarang kaum Muslimin untuk berbicara dengan mereka bertiga. Setelahnya,
perlakuan orang-orang berubah, seakan-akan tidak pernah mengenal mereka. Bumi
seolah menjadi sempit dan sesak di dada mereka. Salam mereka tidak dijawab.
Senyum mereka tidak dibalas. Sapaan mereka tidak ditanggapi.
Akan
tetapi, Ka’ab tetap yakin di atas millah ini. Bahkan, ketika diajak Raja
Ghossan untuk bergabung dengan mereka pun, ia tidak menggubrisnya. Ka’ab juga
tetap berusaha sabar, meski ketika telah berlalu 40 hari dan dia harus berpisah
dan ditinggal sang istri. Sungguh, saat itu beliau merasakan kesempitan yang
begitu menyesakkan, sebagaimana yang Allah gambarkan dalam Al Qur’an. Dhoqot
‘alaihimul ardhu bimaa rohubat wa dhooqot ‘alaihim anfusuhum.
Lalu,
tibalah hari itu, hari ketika ia mendengar seruan dari puncak gunung Sal’, “Ka’ab
bin Malik, bergembiralah!”
Ka’ab
langsung bersujud dan mengetahui bahwa Allah telah memberikan jalan keluar
untuknya. Kemudian diberikanlah pakaiannya kepada sang pemberi kabar gembira
tersebut. Setelahnya ditemuilah Rasulullah.
Saat
itu, beliau sedang duduk di masjid dan dikelilingi oleh para Sahabat. Wajah
beliau saat itu bersinar, menampakkan cahaya kebahagiaan. Ka’ab lalu mendekat
dan bersimpuh di hadapan beliau. Lalu berliau bersabda “Ka’ab bin Malik,
bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah engkau lalui sejak dilahirkan
ibumu.”
***
Hari
itu, bersyukurlah Ka’ab bin Malik atas kejujuran yang ia junjung. Terpujilah namanya
di bumi dan di langit. Dan abadilah kisahnya dalam Al Qur’an nan mulia, untuk
memberi pelajaran kepada orang-orang yang datang setelahnya.
Ka’ab
telah merasakan, betapa manisnya cecapan kebenaran, meski harus diawali dengan
kepahitan. Ia merasakan bahwa akhir yang indah akan diberikan kepada mereka
yang menjunjung kejujuran, bukan mereka yang mendustakan. Ia telah menjadi
bukti, bahwa tiadalah kebenaran membawa keburukan, akan tetap pahit hanyalah
ujian untuk memperoleh keberhasilan.
Potret
kehidupan para salaful ummah memang menakjubkan. Kita merindu pribadi Sa’ad,
yang jujur dan berani mengatakan kebenaran. Kita merindu sosok, yang karenanya
Allah berfirman, “Ya ayyuhalladziina aamanu ittaqullaha wa kuunuu ma’ash
shodiqin”. Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah,
dan jadilah termasuk orang-orang yang benar. Allahummaj’alnaa minhum.
inspired from : At Taibuuna ilallah
Klaten, 23 Dzulhijjah 2014