Bersaudara Karena Al Quran

29/01/16

Al Quran itu berat, bahkan sebuah gunung bisa luluh lantak saat diturunkan Al Quran atasnya. Al Quran itu berat, sampai Allah menyebutnya dengan kata Qoulan tsaqiila. Tapi Al Quran itu hebat, dia bisa menyatukan dua, tiga, ah bahkan lebih dari itu, ribuan, ratusan, ratusan ribu, hingga tak mampu lagi terhitung, bahkan sebelum raga-raga mereka saling bertemu. Bahkan, sebelum mata-mata mereka saling bertatap. Bahkan, sebelum mulut-mulut mereka saling berucap. Dengan Al Quran, hati mereka telah saling berpelukan dan mengucapkan kata sakti itu, uhibbukum fillah.

Orang-orang bilang, masa SMA adalah masa yang paling berkesan dalam kehidupan. Masa dimana kebersamaan itu masih disertai dengan kepolosan. Masa ketika semua tak selalu dihadapi dengan serius, hanya butuh senyum yang tulus. Saya juga merasakan, bagaimana masa-masa SMA itu masa yang paling berkesan dalam kehidupan saya. Bertemu dengan kawan-kawan terbaik, para keluarga Allah yang memancarkan aroma surga. Saya selalu merindu mereka, dalam kesendirian, dalam doa, dalam suka dan duka yang menghampiri saya.

Tapi tak ada satupun yang abadi di dunia, kecuali ketidakabadian itu sendiri, dan juga Allah tentunya. Masa SMA saya yang sebenarnya lebih lama setahun pun, terasa begitu  cepat terlewati. Perpisahan itu menanti. Bahkan, kesedihannya mulai terasa sejak tahun terakhir kami berSMA bermula. Tapi seperti yang saudaraku katakan, perpisahan yang kita lakukan hanyalah sementara. Kita berpisah untuk kembali berjumpa, kami saling berbelok untuk kembali bersua, kami meniti jalan yang lain untuk kembali bertemu, melepas kasih dan rindu dalam keadaan yang lebih baik daripada dulu.

Wisuda itupun menjadi puncak gejolak emosi kami. Antara bahagia bisa menamatkan studi di mahad hidup mulia dan kesedihan karena harus berpisah, dengan saudara, dengan kawan, dengan asatizah, dan dengan dua menara yang selalu kokoh berdiri samping kami. Tangisan itu pecah. Tak peduli kami sudah dewasa, tak peduli kami kami bukanlah kaum hawa, tak peduli dengan keadaan di sekeliling yang tercipta. Kami begitu merindu, kawan-kawan yang bersaudara karena Al Quran. Saling berbisik uhibbukum fillah, saling memohon keridhoan, lagi melantun doa keberkahan.

Dan masa depan itu mulai kami tapaki. Ada yang berkelana merantau dan berbagi di pelosok-pelosok negeri. Ada yang melanjutkan studi di negeri para nabi. Ada yang masih di mahad, mengabdikan raga dan pikiran untuk membimbing adik-adik di sana. Dan ada pula yang memilih untuk bercicip ilmu di dunia luar, berbaur bersama orang lain, berusaha mengejawantahkan ilmu yang telah diberi, dan berusaha untuk mewarnai lingkungan, dengan warna dan nilai Al Quran. Dan saya, memilih untuk mengambil peran di bagian terakhir bersama belasan kawan lainnya.

Awal masa berdiri di dunia baru ini, saya masih merasakan latah kehidupan. Di mana dahulu yang sering saya dengar adalah lantunan Al Quran, berubah menjadi lantunan lagu yang membuaikan dan melenakan. Dahulu orang-orang di sekitar saya adalah orang-orang yang saya cintai karenaNya, dan sekarang berubah menjadi manusia-manusia heterogen yang banyak berseberangan pikiran dengan saya. Dan dahulu, saya hanya bertemu mahluk-mahluk yang bertipe sama, kini harus berjumpa dengan mahluk halus, dengan mahluk dunia lain, mahluk dunia merah muda dan bunga, yang terkadang menimbulkan banyak gejolak di pikiran dan hati saya.

Setiap hari, saya selalu merenung, diridhoikah jalan yang saya tempuh. Selalu terbesit dalam benak saya, apakah jalan yang saya pilih adalah pilihan terbaik. Tak jarang, acapkali mata saya meneteskan air mata. Ketika saya merasa tak berkutik di tengah hingar bingar kemaksiatan. Ketika saya hanya bisa terdiam melihat banyak hal yang tak sesuai dengan prinsip dan ideologi yang saya dapatkan. Ketika semua berjalan begitu janggal bagi hati saya, dan saya tak mampu melakukan apapun untuk mengubahnya.

Di titik lemah tersebutlah, peran dari saudara-saudara sangat saya butuhkan. Nasehat-nasehat tulus dari mereka. Untaian kata motivasi, rumpaian sajak sajak ulama, kembali menyadarkan saya untuk terus bersabar berjingkat dalam melalui duri-duri. Sebenarnya sudah sering mendengar nasehat dan untaian kata tulus yang mereka sampaikan, bahkan mungkin beberapa dari sayalah kalimat-kalimat tersebut bermula. Tapi saat saat seperti itu, saya merasa bahwa baru pertama kali saya mendengarnya. Ah, mungkin seperti itulah yang dirasakan Umar bin Khotob tatkala mendengar Abu Bakar melantunkan ayat itu, wa maa muhammadun illa rasuul…

Dan seiring waktu, saya kembali menemukan sosok yang saya rindui. Meski berbeda latar belakang, meski terkadang ada banyak visi dan misi kami yang bersebrangan, tapi saya bisa merasakan kehangatan saat berada di antara mereka. Nafas-nafas keIslaman itu bertiup dengan riuh. Semangat mereka yang membara menyulut semangat saya berkobar kembali. Ruh-ruh perjuangan mereka, mengilhami saya untuk kembali berdiri dan berlari. Ahlul Quran UNS, dari sanalah cinta saya bermula.

Berawal dari program untuk Grand Opening Asistensi Agama Islam, dimana kami para Huffazh dikumpulkan, saya bertemu dengan saudara baru saya. Ah mungkin bukan saudara baru, tapi saudara lama yang lama baru kali itu bisa bersua. Dari situlah ruh-ruh kami saling berakrab ria, berceloteh tentang Al Quran dalam hati, bercengkrama tentang kebahagiaan menjadi keluarga Allah meski tak melalui lisan maupun tulisan.

Sebakda acara itulah ikatan persaudaran kami semakin erat. Mungkin di dalam tulisan ini saya subjektif, tapi saya rasa saudara-saudara saya merasakan seperti yang saya rasakan. Selepasnya pun saya sering berceloteh, bercurhat ria, tentang persoalan hidup, pandangan hidup, maupun pasangan hidup. Eh. Dan mungkin berawal dari taman surga yang tersempil di dunia itu, saya dipertemukan dengan ikhwah-ikhwah lain yang mungkin belumlah bertitel huffazh, tapi keikhlasan dan semangat mereka mengalahkan kami, ah mungkin lebih tepatnya saya, dalam segala amal kehidupan.

Di sinilah saya kembali teringat dengan doa yang dahulu sering kami lantunkan dalam pertemuan dan perjamuan yang pernah kami lakukan. Doa rabithah, yang mungkin bagi sebaikan ikhwah dinisbatkan pada salah satu harakah. Ah, tapi saya cinta doa itu, dan saudara yang melantunkannya, bahkan mungkin saudara lain yang tak merapalkannya, karena saya merasa ikatan persaudaraan kita ada karena Iman, bukan harakah, bukan golongan, bukan kesukuan.

Fawatsiqillahumma rabithotaha wa adim wuddaha…

---

Semakin lama, saya semakin tak kuasa menuliskan kata-kata. Ada begitu banyak kesan kebaikan yang telah tercipta. Tentang semangat mereka dalam membumikan Al Quran. Tentang semangat mereka menularkan nilai kebaikan. Sekali lagi saya bercermin pada mereka, dan tak saya dapati dalam diri saya kecuali kekurangan dan kekurangan yang terasa bertambah adanya.

Mungkin di kesempatan ini saya ingin kembali mengulang sabda RasulNya yang masyhur itu, yang mungkin sejak kecil telah kita dengar dari para guru maupun ayah dan bunda. Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sampai dia mencintai saudaranya, sebagaimana dia mencintai dirinya. Saya selalu berharap bisa terus  membersamai mereka merengkuh ridhoNya, dan bisa terus berbagi kisah kebaikann dan kemuliaan mereka.

Sebagaimana mencintai dirinya, ah betapa masih jauh saya darinya.

Surakarta, 15 Dzulhijjah 1436H
Huda S Drajad
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS