Salah satu hal yang
membedakan mahad kami dengan mahad-mahad pada umumnya adalah, kelas tiga di
mahad kami diperbolehkan untuk mengikuti bimbingan belajar di luar mahad.
Dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi tentunya, seperti telah
menyelesaikan ujian akhir tahfizh maupun mendapat SKCK tak resmi dari Madrasah
dan Kesantrian.
Alhamdulillah, Allah
mempermudahku untuk bisa mendapatkan perizinan bersama 3 temanku lainnya. Aku
pun mendaftar di Ganesha Operation Karanganyar seperti para pendahuluku. Yakali
perjuangannya besar banget les di sana, mulai dari touring setengah jam seminggu
dua kali, kudu bolak-balik ke kesantrian buat ngambil kunci motor yang
dititipin, sampai godaan warung-warung yang buka di sepanjang jalan raya
Solo-Tawangmangu. Apalagi nasi gorengnya Pak Shobirin, bikin benteng iman abis.
Ahihi. Tak jarang pula aku harus melompati pagar asrama Cuma buat ngambil jubah
atau ngambil iftor yang di kamar. Hasbunallah wa ni’mal wakil.
Pertama kali les di sana, aku
merasa minder, secara ilmu eksak yang didapetin di mahad kan kurang banget.
Udah gitu di kelasku aku satu-satunya murid yang berasal dari mahad hidup
mulia. Huhu. Dan di antara semua pelajaran, kimialah yang menjadi momok bagiku.
Pelajaran saat itu tentang benzena dan lain-lainnya, tentang ikatan-ikatannya,
bikin pusing seribu pening. Alhamdulillah, tentor kimianya, Bu PT sama Bu HI
super-super, tak lama pun aku bisa mulai mengejar ketertinggalanku.
Semakin lama les di sana,
alhamdulillah mulai banyak hal yang kudapatkan, dari ilmu-ilmu, pengetahuan
tentang dunia luar, hingga kenalan-kenalan baru, dari para tentor hingga
anak-anak sekolah lain.Dan
alhamdulillah, setiap try out grafiknya selalu meningkat, seperti cinta
kita, semakin lama semakin tinggi menggapai surgaNya. :p
Dan ketika hari H perang, aku
udah mulai merasa mantab. Alhamdulillah semua bisa
dijalani dengan semestinya, melingkari setiap jawaban dengan pensil legendaris
yang juga kupakai saat UN SMP dahulu kala. Dan masa itu pun tiba, masa rehat
dan perpulangan, menuju ke pangkuan ibu bapa masing-masing. Tapi selalu sama,
libur purna sekolah selalu menyisakan tantangan yang berbeda. Pun juga libur
kali ini. Kalau dahulu kala kami disibukkan dengan murojaah hafalan sama
belajar matematika biar masuk ma’had hidup mulia, sekarang tanggungannya
berbeda.
Di depan kami, telah menanti
seekor monster cantik bernama SBMPTN, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri. Katanya sih, jauh lebih nyeremin daripada ‘sekedar’ UN, huhu. Apalagi
banyak kakak tingkatku dipaksa untuk berjatuhan di fase ini, “Anak MATIQ mah
susah buat masuk PTN”. Huhu, aku tambah minder. Tapi mungkin di situ kali yak
seninya, seni menata hati dan ruhani. Mungkin dengan bersebab itulah kita jadi tetap
bercengkrama dengan Sang Pencipta. Dan kayaknya kita harus rajin bercengkrama
denganNya terus, biar ndak was-was kayak gitu lagi.
Selepas UN, beberapa dari
kami ikut bimbel untuk mengejar segala ketertinggalan. Ada yang harus menempuh
jarak 35 kilometer cuma buat ikut les, ada juga yang sampai ikut camp, membayar
berpuluh juta untuk ‘sekedar’ memasuki PTN yang didamba. Aku sedikit lebih
santai, karena program yang kuambil di GO berkesinambung sampai setelah UN.
Alhamdulillah juga, GO sistemnya bukan franchise, jadi aku bisa pindah
cabang ke deket rumah. Niatnya sih biar bisa deket kalau pengen materi
tambahan, tapi…
Di GO Klaten petualangan baru
dimulai. Awal masuk kelas, aku merasa terasing (lagi). Yakali kayak si
Zainuddin ‘Van Der Wijck’ yang terasing di negeri sendiri. Aku coba buat ngajak
kenalan, yang ada jadinya malah kayak orang yang SKSD karena kesepian. Huahh. Di
awal masuk juga aku merasa seolah dapet pandangan miring waktu pada tahu
aku anak pesantren yang ingin mengundi nasib di kedokteran. Huhu. Tapi ya
gimana lagi, bismillah aku tetep kudu terus menjalani. Tetep percaya, jodoh ada
di tanganNya, kalau emang dia, meski sekarang belum kenal pun pasti suatu saat
dipertemukan sepelaminan berdua. Aku ngomong apa sih? :3
Alhamdulillah juga, Allah
memberi kemudahan. Meskipun tiap kali mau minta jawaban sama pembahasan try out
kudu ke Karanganyar dulu. Tapi aku masih penasaran, itu peringkat pertama sama
keduanya orang itu mlulu. Hsssh, awalnya pengen ngajak kenalan, tapi nggak jadi
gegara takut kalau-kalau dikira pemandu bakat laskar pelangi. Dan saat itu
tetap menemaniku pensil ajaib yang berusia jumlah jari kiri.
Try out demi try out berlalu,
hingga akhirnya tibalah tanggal 9 Mei. Aku berharap banget bisa diterima di
jalur SNMPTN, biar nggak senam jantung lagi. Kan bisa kemlinti tuh, tiap
ditanya orang kuliah dimana langsung jawab, “FK UGM”. Simpel, padat, tapi berisi
penuh wibawa. Tapi alhamdulillah aku ndak diterima di UGM, la wong ndak
daftar di sana. :D Tapi sama aja sih, di UNS juga ndak diterima. Kata pak Raviqnya sih nilai UN
biologiku ndak memadai :D
Aku yang udah deg-degan
seharian saat itu langsung drop. Mangkel banget sama UNS yang katanya ngasih
kemudahan buat para Huffazhul Quran buat masuk kedokteran. Tapi perlahan juga
sadar, ah Al Quran dihafal bukan untuk sekedar masuk kedokteran. Ditambah
sokongan dari berbagai pihak, aku kembali tersadar kembali. Udah dilupakan yang
lalu, biarlah jadi bahan buat postingan di blog ini. Dan ndak nyangka, banyak
orang yang berhusnudzon, yang terkadang bikin aku sendiri malu, ‘ah, aku
sungguh terlampau jauh dari pandangan baik kalian"
Semua berjalan kembali
normal. Rutinitas buat les tetap dijalani. Walaupun sekarang jadi agak kurang
bersemangat. Bayang-bayang yang aneh-aneh itu muncul terus. Gimana kalau
ternyata ndak lulus. Gimana kalau ternyata ndak diterima di kedokteran. Gimana
kalau ternyata dia minta dilamarnya tahun depan (hey). Ya, meski udah punya
planning B buat cadangan kalau-kalau ndak diterima, tapi tetep aja hati ini
masih was-was. Mungkin gegara itu hikmahnya bikin aku jadi ndak lupa diri. Jadi
inget terus sama Rabbul Izzati. Yakali harusnya dalam keadaan kayak gini kudu
inget juga ya, huhu.
Hari H telah tiba. Hari H telah
tiba. Hore, hore, hore hore hore. Yakali ndak Cuma Tasya kok yang gembira
dengan hari H, aku pun juga
:). Para pejuang pensil di manapun berada juga
udah bersiap siaga buat bertempur. Pun kami, para
pejuang muda dari mahad hidup mulia. Ada belasan kawanku yang mengundi nasib
bertempur di jalan ini. Alhamdulillah, aku tiada sendiri di tempat tesku. Ada
kawan karibku Fahry Fahrozy yang setia menemani. Alhamdulillah, aku tidak
ditakdirkan menjadi gelandangan sendiri.
Sepurna tes, kulihat wajah
peserta lain cerah. S**t, apa cuma aku
yang berwajah suram gini. Dan sebulan lamanya harus kembali ikut senam ayo
bangkit. Bangkit dari keterdetakan jantung. Berdag-dug ria. Eh, ndak juga
sih. Udah menjelang wisuda soalnya, pikirannya jadi terbiaskan. Habis itu
semasa rekreasi di malang juga udah agak tenang. Paling-paling kalok ada yang
nanya sekolah di mana aku jawabnya, “Doakan
bapak, ibu, semoga saya diterima di kedokteran ataupun tempat terbaik lainnya.”
Dan akhirnya masa rekreasi di
Malang pun purna. 7 Juli 2015, karena udah kangen pondok, gue langsung capcuss
ke mahad. Mumpung gratis kalau alumni. Hihi. Dan mulai H-2 itulah aku kembali
ketar-ketir. Pengumuman kali ini lebih
menyangkut banyak hal. Menyangkut nasib 7 hari sisa dari bulan Ramadhan,
menyangkut hal yang bakal disunggangkan di wajah, senyumankah atau kemurungan.
Ketika tiba hari H-nya, aku
tambah menggalau ria. Dari jam 7 pagi aku udah buka situs pengumuman.sbmptn.or.id
isinya countdown eui. Tambah bikin nyesek. Seharian penuh aku ndak bisa
konsen buat ngapa-ngapain. Alhamdulillah habis asharnya ada kajian tahsin seru
dari ustad Aos. Tapi tetep aja, sang tepak imutku tetap kupegang erat-erat. Di
refresh terus situsnya. Hahaha.
Jam 5 pun tiba. Dan situsnya
pun overload. Haduh. Aku yang udah nggalau ria jadi tambah risau.
Bolak-balik itu situs di refresh, kemudian nyari-nyari situs mirrornya,
tapi tetep aja sama. The page you request cannot be displayed. Jam 17.12
udah bisa buka via situs its, tapi waktu masukkin nomor ngelag lagi. Fiuh. Dan
akhirnya jam 17.20 barulah bisa dibuka via situsnya Undip. Mungkin karena
jaringannya lemot backgroundnya pun masih putih sederhana. Dan saat itu hanya satu yang tertangkap di mata,
kata-kata “KEDOKTERAN – UNIVERSITAS SEBELAS MARET”.
|
ALhamdulillah :') |
Allahu akbar, Allahu akbar,
Allahu akbar. Langsung di tempat itu pula aku bersujud, berterima kasih atas
karunia yang tak terhingga dariNya. Langsung kukabari sanak keluarga, dan juga
ikhwah Pasukan Langit tercinta. Dan terlihat senyum mereka yang juga ikut merekah. Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar. :’)
Berturut turut setelah itu,
beberapa kawan mengabari keterimaan mereka. Mulai dari Pak Boss Naufal Ade yang
diterima di pilihan keduanya Geologi-Universitas Indonesia, kemudian juga bang
Ibrahim Fay yang diterima di pilihan kedua juga, Teknik Informatika-Universitas
Riau. Dan malamnya baru satu ikhwah lagi mengabari, Pak Profesor Fisika Bahaul Fahmi, yang diterima di
pilihan ketiga Teknik Kimia-Universitas Sebelas Maret.
Tapi seindah apapun senyuman
yang tersungging di bibir kami, tetap ada rasa sedih yang menyelinap. Ya, kami
sedih atas belum diterimanya ikhwah kami yang lain. Ah, Barakallah lakum,
Allah selalu punya rencana yang lebih indah dibanding rencana-rencana kita.
----
Dari saat itulah, judul
artikel ini bermula. Senyuman Sang Pejuang Pensil. Alhamdulillah sang pejuang
pensil tersenyum, karena doa dan usaha yang ia panjatkan berbuah manis dan
senyum menentramkan. Alhamdulillah sang pejuang pensil tersentum, bersebab
karuniaNya yang tiada terkirakan. Alhamdulillah sang pejuang pensil tersenyum,
kerana saat ia beritahu kawan karibnya berita membahagiakan ini, mereka
memberikannya doa yang menyejukkan, barakallahu fiik.
Sungguh, aku ndak mampu
merasakan kecuali bahagia, saat ikhwah-ihwah memberiku doa termanis itu.
Bahkan, kawan yang mungkin sudah lama tak berkontak, ikut mendendangkan doa mesra
itu. Sungguh, di sini aku ingin sekali berkata, uhibbukum fillah, aku
mencintai kalian kerana Allah.
Dan terlepas dari pro dan
kontra ujian menggunakan Lembar Jawab Komputer (LJK), sebenarnya ada salah satu
pelajaran penting yang bisa diambil. Mungkin ini Cuma mengada-ada, tapi tak
apalah. Bukankah kita berharga bersebab kebaikan yang kita ambil di segala
warna?
Jadi, ujian menggunakan LJK
menuntut kita untuk kembali menggunakan pensil. Ya, pensil. Sarana menulis yang
kita akrabi dahulu di masa kecil. Bukan hanya saat UN, tetapi juga saat SBMPTN.
Semua itu seolah mengisyaratkan kepada kita, “Kembalilah berkanak-kanak, karena
dalam kekanakanmu, kau menyimpan sejuta mimpi yang tak terengkuh oleh keraguan
hatimu. Kembalilah berpolos ria, karena dalam kepolosanmu, harapan-harapan itu
menjadi sangat nyata 5 cm di depan matamu. Tak perlu kau risaukan kegagalan,
karena yang kau butuhkan hanyalah semangat untuk meraih cita-citamu.”
Dalam masa berpensil kita tak
pernah malu untuk berkata, aku ingin menjadi dokter, aku ingin menjadi pilot,
aku ingin menjadi tentara. Dalam masa berpensil, kita tak pernah ragu untuk
mencoba, mengabaikan realitas bias yang ada. Huhu.
Yakali saya berpendapat ujian
menggunakan komputer ditiadakan. Mungkin iya sih lebih hemat, lebih praktis,
dan lebih mudah, tapi bukankah dalam mengejar cita itu butuh pengorbanan dalam
ketiganya? Ah, siapa sih yang mau mendengar celotehan anak blogger serabutan
gini?
Oh ya, lupa. Jangan sampai
dipinggirkan juga, tak ada cita yang lebih indah daripada
menjadi khodimul Quran, para pelayan Al Quran. Oh ya aku lupa, minta doanya lagi ya kawan, bukan
minta kuliah kok, minta jodoh.
:D
Klaten, 7 Syawal
1436H
Salam hangat dari
sang pejuang pensil yang selalu tersenyum berdoa untukmu
Huda S Drajad