Poligami Tidak Menjamin Surga

04/08/15


Dalam belajar, sebenarnya tidak mengenal ruang dan waktu. Banyak ilmu kita dapatkan dari hal-hal kecil di sekitar kita, bahkan terkadang dari disiplin ilmu lainnya.

Suatu waktu, saya pernah diberi pelajaran filosofis kehidupan oleh salah satu guru. Tentang bagaimana pronoun yang bisa berubah bentuk tergantung di mana ia berada. Seperti hidup, kita punya karakter yang harus kita pertahankan, aku tetaplah aku. I am I. Tapi aku juga bisa beradaptasi sesuai lingkungan, seperti I can be mine, me, or myself, tergantung di mana ia berada.

Pun juga dalam pelajaran kimia, ada banyak pelajaran filosofis yang ada. Ketika berbicara tentang atom emas, kita menyebutnya aurum. Dalam keadaan lain, ada kalanya aurum kita ganti dengan aurat. Tak salah kan kalau kita harus menutupi aurat karena ia emas kita? Barangkali saya terlalu mengada-ada, tapi bukankah tak ada satupun kebetulan di dunia, kecuali telah ditakdirkanNya? :D

Salah satu pelajaran yang sering diceritakan oleh ustadz saya selama masih bujang adalah keadaan atom yang tidak stabil saat ia berdiri sendiri. Beliau selalu bercerita bagaimana atom menjadi stabil setelah ia bergabung menjadi molekul atau senyawa. Seperti manusia, yang selalu labil saat ia masih sendiri, tapi menjadi kuat setelah ada seseorang yang menemani di sisi.

Senyawa atau molekul terkadang bukan hanya terdiri dari dua atom saja, seperti molekul air, yang terdiri dari 2 molekul oksigen dan 1 hidrogen. Begitu pula gas propana yang terdiri dari 4 atom C dan 10 atom H. Manusia pun begitu adanya. Terkadang seorang lelaki tak hanya beristri satu, bisa jadi lebih, tergantung kemampuan yang ia punya. Kita begitu mengenal istilah itu, poligami.

Belakangan ini poligami kembali menjadi trending topic, terutama setelah film “Surga yang Tak Dirindukan”-nya Asma Nadia diluncurkan di pasaran. Pun juga artikel dan tulisan Mbak Asma yang menyinggung tentang poligami mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak. Beberapa waktu yang lalu pun saya juga melihat bagaimana sahabat saya beradu argumen dengan salah seorang muslimah. Ya Rabb, barakallahu fiihima.

Saya ndak pengen membahas tentang film itu, soalnya belum pernah nonton. Hehe. Cuma sekedar mengajak menyimak firman-Nya dalam surat An Nur, “nikahilah mereka yang baik untuk kalian di antara perempuan-perempuan, dua tiga, atau empat.”  Barulah setelah itu Allah menutup dengan “dan jika kalian takut tidak mampu berbuat adil, maka satu”. Jelas dalam konteks di atas, perintah yang pertama ialah poligami, baru kemudian jika tidak mampu berbuat adil maka satu saja cukup. Maka, saya pun meyakini, poligami itu lebih utama.

Dari pemahaman tentang ayat di atas lah yang kemudian menimbulkan pro dan kontra, hingga akhirnya banyak orang yang membenci poligami, pada ia adalah salah satu sunnah Rasulullah yang tak layak untuk dibenci.

Mungkin sedikit kita beralih topik berbicara mengenai syariat Jihad. Jihad merupakan puncak tertinggi dalam Islam dan menjadi salah satu amalan terbaik di dalamnya. Allah pun menjanjikan surga bagi siapa yang mati karenanya. Tapi jihad juga berat, bahkan hal itu pun disebutkan Allah dalam Al Quran. Begitu pula poligami, ia berat, butuh pengorbanan, tapi bukankah untuk merengkuh surgaNya membutuhkan pengorbanan tersebut. Poligami bisa jadi seperti jihad, hanya barangkali jika tak berniat untuknya bukan salah satu tanda kemunafikan, berbeda dengan syariat Jihad.

Tapi bukankah ada masanya orang-orang juga dibolehkan untuk tak berjihad jika mereka tak mampu? Seperti poligami juga. Poligami memang utama, tapi bukanlah sebuah celaan bagi mereka yang tak melakukannya. Karena barangkali mereka masih takut jika berbuat tak adil, masih tak mampu menenangkan hati sang istri, masih belum sanggup mengelola gejolak hati. Barangkali pula ia mempunyai sejuta alasan yang menahan untuk berpoligami dan bercukup diri dengan satu bidadari. Ah,sungguh itu bukanlah sebuah kesalahan baginya. Dan dengan satu, barangkali akan menghadirkan rasa surga di rumahnya yang mungkin tak mampu ia rengkuh dengan selebihnya.

Saya masih meyakini, poligami memang utama dan berniat untuk melaksanakannya. Tapi entah, ketika kelak beristri juga apakah ada hal yang ternyata membuat saya hanya sekedar meniatkan, atau benar-benar melakukannya, hanya Allah-lah Yang Mengetahui segalanya. :)

Nah, di sini saya mengingatkan bagi mereka yang mungkin fanatik dengan poligami, tapi tak belajar dahulu sebelum melakukannya. Ingat, poligami ndak menjamin masuk surga loh! WALLAHI, DEMI ALLAH, POLIGAMI TIDAK MENJAMIN SESEORANG MASUK SURGA! Hla wong jihad, menghafal Al Quran, bersedekah aja bisa menyeret ke neraka jika ia tidak ikhlas karenaNya. Iya kan? Hehe. Karena terkadang ada seseorang yang berpoligami hanya menuruti nafsunya dan tak mampu berlaku mulia pada keluarganya. Maka yang ini patut dihindari.

Kesimpulannya, bagi yang mampu berpoligamilah, namun bagi yang tidak, seyogyanya menahan diri dan bercukup dengan satu, demi kebaikan setiap individu.

Semoga tulisan ringan saya ini bisa menjadi pencerahan. Tak ada alasan yang membolehkan kita untuk mencela syariat ini, pun poligami. Karena apa yang Allah tetapkan ialah kebaikan bagi hambaNya, yang barangkali belum diketahui hikmahnya oleh mereka. Pun bagi yang merasa sanggup dan yakin untuk berpoligami, jangan menyalahkan dan menjelekkan mereka yang belum mampu. Bukankah kullan wa’adAllahu husnan? Bukankah setiap mukmin dijanjikan olehNya kebaikan? Ahh, jika saya salah mohon diluruskan. Wallahu a’lam.

Klaten, 19 Syawal 1436H
Huda S Drajad

NB : Bersebab adanya beberapa ikhwah yang ternyata salah paham dalam memahami artikel saya di atas, mungkin video di bawah bisa dirujuk, lebih jelas pembahasannya insyaAllah :) :) Buat para akhwat, yakin kebahagiaan itu adanya pada Allah, bukan pada manusia yak . Dan mungkin sederhananya, poligami itu kebutuhan. Yang ndak butuh ndak perlu diprovokasi, yang butuh jangan dihalangi. 


Kupu-kupu sebelum Kupu-kupu

28/07/15

“Binatang apa yang paling aneh?”.
“Belalang kupu-kupu, siang makan nasi kalau malam minum susu”
Tebakan tersebut menjadi begitu tersohor di masa kecil saya. Pun juga ketika seorang ibu me-ngliling bayi kecilnya dengan kata legendaris tersebut, ditambah sedikit awalan “pok ame-ame”. Ah, jadi rindu masa ketika memberi hiburan ke anak dengan kata cinta, bukan sekedar gadget yang tak bernyawa.

Tentang kupu-kupu, pasti kita pernah mendengar lirik lagu ini, “persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu”. Entah siapa penyanyinya saya sendiri juga ndak tahu, yang jelas ada salah satu stasiun televisi swasta yang menayangkan sinetron dengan soundtrack lagu ini, yang juga sempat menjadi salah satu topik obrolan kawan-kawan saya di mahad Al Mukmin semasa itu. Saya cuma bisa menyimak tanpa mampu menanggapi, Alhamdulillah saya emang rada kuper. :)

Mengenang masa di pondok emang tiada habisnya, pun bagi saya yang baru purna dari mahad ‘Hidup Mulia’. Masa-masa di pondok ibarat sejarah kehidupan yang perlu dikenang, bersebab di dalamnya sebuah pribadi bermetamorfosa, dari seorang yang mbok-mbokan dan suka dimanja menjadi sosok pasangan-able yang ndak cuma memancarkan akhlak mulia, tapi juga bermanfaat bagi sesama. Seperti ulat yang banyak dilirik jijik, menjadi kupu-kupu yang berwarna ceria. Menebarkan keindahan ke alam semesta. Tak salah mungkin kalau kita mengganti lirik lagu di atas menjadi, “Pesantren itu bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu.”

Setiap santri pasti punya kenangan indah tentang kehidupan kepesantrenannya. Dari sejak awal ia masuk, hingga ketika ia berisak mengikrarkan janji untuk berbudi mulia saat wisuda. Namun, izinkan saya bercerita tentang dua orang pribadi, orang yang begitu dekat dengan saya dan telah saya anggap adik kandung sendiri, tentang secuil perjuangan mereka. Perjuangan bermetamorfosa menjadi akhwat yang sejati, yang kelak kan dicemburui para bidadari.

Saya menjadi saksi mereka berdua berkembang semasa SMP. Melihat dari masa masih dipenuhi kepolosan, sampai masa ketika saya harus menundukkan pandangan. Melihat bagaimana mereka menetapi dan meniti jalan ini, hingga mampu berubah menjadi sosok yang layak untuk diceritakan kebajikannya. Sekarang pun, mereka masih terus berusaha berubah, karena saya yakin mereka sadar, jalan hijrah yang kan ditempuh masih panjang.

Sungguh, saya merasa malu, sering dianggap oleh mereka berdua sebagai sosok yang memotivasi, padahal sesungguhnya sayalah yang lebih layak untuk bercermin dan berbenah diri. Izinkan saya berceritera tanpa menyebut nama asli mereka, pun bagi yang tahu dimohon untuk tidak menyebarkan siapa sebenarnya mereka, demi menjaga keikhlasan hati mereka berdua.

Dia yang pertama, anggap saja si A. Dia terlahir dari keluarga pra-sejahtera. Kata orang pun rumahnya mewah, mepet sawah. Tapi semangatnya menuntut ilmu tak tergantikan. Setiap saya taklim ia selalu menjadi juru bicara kawan-kawannya. Mencecar saya dengan pertanyaan yang kadang bisa dikatakan rada nyeleneh, tapi justru berbobot dan menyadarkan. Kalau dia tak ada, masjid pun seolah terasa sepi. Tapi jujur, saya bersyukur bersebab itulah saya sadar, aih ilmu saya masih terlampau sedikit. Dan hal itu pun masih berlanjut hingga generasi berganti.

Purna masa studi di mahad ‘hidup mulia’, saya mendengar kabar yang mengejutkan, lebih tepatnya menggembirakan. “Kak, insyaAllah saya sama si B (sahabat karib si A yang nanti akan saya ceritakan) akan melanjutkan sekolah di pondok. Si B alhamdulillah sudah diterima di mahad X. Kalau saya, doakan biar diterima di mahad Y“. Saya yang menerima kabar itu pun hanya bisa mengamini, seraya berdoa semoga niat mulianya dikabulkan oleh Rabbul Izzati.

Suatu ketika, dia datang ke rumah nenek saya di lereng gunung lawu. Bukan, bukan menemui saya, tapi menemui tante saya yang juga tetangga dia di desa aslinya. Mereka mengobrol lama berdua di ruang tamu, dan saya pun ndak berani menyimak. Obrolan wanita. Beberapa waktu pun saya baru mendengar kabar dari umi, ketika tante saya bercerita. Ternyata sore itu dia menangis, bercerita tentang kendala buat masuk ‘penjara suci’.

Jadi, uminya alhamdulillah, akan dikaruniai buah hati lagi. Tapi dari situlah kegalauan itu bermula. Uminya kini tak lagi bisa bekerja seperti biasa, demi kebaikan janin yang dikandungnya. Dikhawatirkan jika dia bersekolah di pondok, orang tuanya ndak bisa membiayai, dan lebih takut seandainya dipaksa, sekarang bisa masuk tapi nantinya berhenti di tengah perantauannya. Umiya pun menyuruhnya untuk menunda studi setahun dulu, menggunakan setahun itu untuk bekerja, membantu menyokong kehidupan keluarga sambil mengumpulkan tabungan untuk kelanjutan studinya.

Dia kurang setuju dengan yang diinginkan uminya. Bukan, bukan karena niat durhaka. Tapi dia takut ketika ia berkerja sekarang, niat untuk masuk pesantren jadi hilang terpudar. Saya yang mendengarnya langsung terenyuh. Ketika mendengar itu dari umi, saya langsung bilang dengan aksen jawa yang kurang lebih artinya, “Mi, alhamdulillah kan kita diberi rizki agak lebih oleh Allah. Lha uangnya beberapa juga dipakai buat anak asuh kan? Mending beberapa anggaran diarahkan buat membantu si A. Saya kan pernah mengajar dia, insyaAllah semangat dan kepribadiannya baik kok mi.”

Saat itu, saya menyampaikan dengan wajah rada melas. Dan hal itu cuma berani saya sampaikan ke umi, soalnya kalau ke ayah takutnya dikira ada apanya. Alhamdulillah, umi bilang “InsyaAllah, nanti umi sampaikan ke ayah.” Alhamdulillah, akhirnya permintaan saya beliau kabulkan.

Dan Senin kemarin, kami mengantarnya ke mahad atas permintaan salah satu teman karib ayah yang juga kolega mahad Y. Saya pun turut serta, karena mau sekalian mampir ke Magetan, memenuhi beberapa keperluan kuliah. Sesampainya di mahad yang dituju, saya ndak tega lihat kondisinya. Jauh banget dari mahad saya semasa SMP dulu, apalagi sama mahad ‘hidup mulia’. Terpencil dari kota, aksesnya pun jauh dari kendaraan umum. Saya sendiri merasa, ah mungkin kalau saya yang dilepas di mahad ini mungkin ndak bakal betah lebih dari sehari.
Tampak depan mahad yang akan dicintainya

pembangunan mahad yang sampai sekarang masih berjalan

Di sana teman karib ayah menceritakan bagaimana keberkahan mahad tersebut. Tentang kebersahajaan dan kesederhanaannya, yang justru darinya naungan barakahNya tercipta. Meski dengan lauk seadanya, tapi  justru banyak santriwatinya lebih gemuk ketika pulang menikmati liburan. Mungkin segala keadaan tersebutlah yang justru bisa melahirkan para calon ummahat sejati. Ya Rabb, baarik lahunn wa baarik ‘alaihinn.

Sepulang dari sana, saya mendapati cerita lain yang juga membuat saya terharu. Tentang bagaimana si A tadi semasa SMP mengumpulkan uang untuk bekalnya, bahkan ketika libur UN menjadi seorang perawat bayi dadakan selama 2 bulan agar bisa memenuhi mimpinya menuntut ilmu di mahad. Tentang bagaimana dia menjadi yang pertama meminta brosur dan mendaftar, bahkan ketika pendaftaran sendiri belum dibuka. Dan saya teringat tak henti ketika kami hendak pulang, dia mengucap jazakumullah terus. Meski tak memandang langsung, tapi saya bisa merasakan bagaimana terharunya dia. :’( Tapi alhamdulillah mulai hari itu, akhirnya terwujudkanlah mimpinya untuk menjadi seorang santriwati.

Berkisah ke sosok lain, sahabat si A yang belakangan saya ketahui ternyata dia juga saudara sepupunya. Seorang yang bagi saya lebih nyantri daripada seorang santriwati yang sejati. Semasa SMP pun, saya begitu takjub melihat amalnya. Bagaimana dia meski di sekolah negeri masih bisa istiqomah menghafal juz amma, melaksanakan sholat dhuha, dan juga berpuasa. Puasanya pun bukan hanya puasa senin dan kamis, tapi juga digabung dengan puasa dawud. Saya selalu malu, jika membandingkan amal saya dengan amalnya.

Semasa saya ajar pun, si B ini juga hampir selalu hadir. Meski lebih banyak diam, tapi dia seolah menjadi ruh dari halaqoh itu. Ketika dia berhalangan, seolah ada sesuatu yang tidak terhadirkan. Sebenarnya, saya dan bahkan tante saya sendiri pun menyayangkan, kenapa dia masuknya mahad X tadi. Tapi tak apalah, bukankah tak bermasalah jika sama-sama menimba ilmu agama, pikir kami. Dan juga, hawa mahad ‘hidup mulia’ insyaAllah bisa mewarnai langkahnya untuk tidak tergesa.

Tentang si B, mungkin tiada banyak kisah yang bisa saya ceritakan. Karena meski belum layak dikatakan berakhlaq Al Quran sempurna, tapi setiap amalnya selalu membuat saya terkesima. Kaana amruhaa ‘ajaban, mungkin itu agak bisa mewakilinya.

Oh ya terlupa. Semenjak lulus dari jenjang SMP bulan lalu, mereka berdua memutuskan untuk meningkatkan kualitas berpakaian mereka. Memang sudah syar’i sebelumnya, tapi mereka menambahkan cadar untuk lebih menjaga taqwa. Bercerita tentang mereka, sebenarnya mereka tak layak untuk dianalogikan sebagai ulat yang bermetamorfosa. Karena mereka telah menjadi kupu-kupu, sebelum meringkuh dalam kepompong untuk bermetamorfosa lebih indah dari sebelumnya. Mungkin dari situlah saya terinspirasi memberi judul artikel ini, kupu-kupu sebelum kupu-kupu. Barakallahu fiihimaa.

Sebenarnya saya malu bercerita tentang kedua sosok ini di sini, karena jujur saya begitu banyak menimba ilmu dari mereka. Saya bersyukur, pernah bertemu dengan kedua sosok ini, karena mungkin setelah ini, akan susah bagi kami untuk berinteraksi kembali. Bagaimanapun, kami bukan mahram kan? Sebenarnya juga ada beberapa yang lain yang juga punya cerita, hanya karena keterbatasan saya ndak sampaikan semua. Saya berharap, jika calon istri saya kelak saat ini membaca artikel ini, mohon kelak ingatkan saya untuk menyambung tali silaturahmi dengan mereka. Jangan berburuk sangka juga ya. Hehe.

Semoga cerita di atas bisa memberi kita motivasi. Saya hanya menitip doa bagi kebaikan saya, kalian semua, dan terutama mereka kedua. Semoga Allah selalu mengilhami kita jalan yang Dia ridhoi. Semoga kita diberi keistiqomahan untuk meniti ‘jalan lurus’ ini. Wallahu a’lam bish showab.

Klaten, 12 Syawal 1436 H
Huda S Drajad

Senyuman Sang Pejuang Tulis

23/07/15

Salah satu hal yang membedakan mahad kami dengan mahad-mahad pada umumnya adalah, kelas tiga di mahad kami diperbolehkan untuk mengikuti bimbingan belajar di luar mahad. Dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi tentunya, seperti telah menyelesaikan ujian akhir tahfizh maupun mendapat SKCK tak resmi dari Madrasah dan Kesantrian.
Alhamdulillah, Allah mempermudahku untuk bisa mendapatkan perizinan bersama 3 temanku lainnya. Aku pun mendaftar di Ganesha Operation Karanganyar seperti para pendahuluku. Yakali perjuangannya besar banget les di sana, mulai dari touring setengah jam seminggu dua kali, kudu bolak-balik ke kesantrian buat ngambil kunci motor yang dititipin, sampai godaan warung-warung yang buka di sepanjang jalan raya Solo-Tawangmangu. Apalagi nasi gorengnya Pak Shobirin, bikin benteng iman abis. Ahihi. Tak jarang pula aku harus melompati pagar asrama Cuma buat ngambil jubah atau ngambil iftor yang di kamar. Hasbunallah wa ni’mal wakil.
Pertama kali les di sana, aku merasa minder, secara ilmu eksak yang didapetin di mahad kan kurang banget. Udah gitu di kelasku aku satu-satunya murid yang berasal dari mahad hidup mulia. Huhu. Dan di antara semua pelajaran, kimialah yang menjadi momok bagiku. Pelajaran saat itu tentang benzena dan lain-lainnya, tentang ikatan-ikatannya, bikin pusing seribu pening. Alhamdulillah, tentor kimianya, Bu PT sama Bu HI super-super, tak lama pun aku bisa mulai mengejar ketertinggalanku.
Semakin lama les di sana, alhamdulillah mulai banyak hal yang kudapatkan, dari ilmu-ilmu, pengetahuan tentang dunia luar, hingga kenalan-kenalan baru, dari para tentor hingga anak-anak sekolah lain.Dan  alhamdulillah, setiap try out grafiknya selalu meningkat, seperti cinta kita, semakin lama semakin tinggi menggapai surgaNya. :p
Dan ketika hari H perang, aku udah mulai merasa mantab. Alhamdulillah semua bisa dijalani dengan semestinya, melingkari setiap jawaban dengan pensil legendaris yang juga kupakai saat UN SMP dahulu kala. Dan masa itu pun tiba, masa rehat dan perpulangan, menuju ke pangkuan ibu bapa masing-masing. Tapi selalu sama, libur purna sekolah selalu menyisakan tantangan yang berbeda. Pun juga libur kali ini. Kalau dahulu kala kami disibukkan dengan murojaah hafalan sama belajar matematika biar masuk ma’had hidup mulia, sekarang tanggungannya berbeda.
Di depan kami, telah menanti seekor monster cantik bernama SBMPTN, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Katanya sih, jauh lebih nyeremin daripada ‘sekedar’ UN, huhu. Apalagi banyak kakak tingkatku dipaksa untuk berjatuhan di fase ini, “Anak MATIQ mah susah buat masuk PTN”. Huhu, aku tambah minder. Tapi mungkin di situ kali yak seninya, seni menata hati dan ruhani. Mungkin dengan bersebab itulah kita jadi tetap bercengkrama dengan Sang Pencipta. Dan kayaknya kita harus rajin bercengkrama denganNya terus, biar ndak was-was kayak gitu lagi.
Selepas UN, beberapa dari kami ikut bimbel untuk mengejar segala ketertinggalan. Ada yang harus menempuh jarak 35 kilometer cuma buat ikut les, ada juga yang sampai ikut camp, membayar berpuluh juta untuk ‘sekedar’ memasuki PTN yang didamba. Aku sedikit lebih santai, karena program yang kuambil di GO berkesinambung sampai setelah UN. Alhamdulillah juga, GO sistemnya bukan franchise, jadi aku bisa pindah cabang ke deket rumah. Niatnya sih biar bisa deket kalau pengen materi tambahan, tapi…
Di GO Klaten petualangan baru dimulai. Awal masuk kelas, aku merasa terasing (lagi). Yakali kayak si Zainuddin ‘Van Der Wijck’ yang terasing di negeri sendiri. Aku coba buat ngajak kenalan, yang ada jadinya malah kayak orang yang SKSD karena kesepian. Huahh. Di  awal masuk juga aku merasa seolah dapet pandangan miring waktu pada tahu aku anak pesantren yang ingin mengundi nasib di kedokteran. Huhu. Tapi ya gimana lagi, bismillah aku tetep kudu terus menjalani. Tetep percaya, jodoh ada di tanganNya, kalau emang dia, meski sekarang belum kenal pun pasti suatu saat dipertemukan sepelaminan berdua. Aku ngomong apa sih? :3

Alhamdulillah juga, Allah memberi kemudahan. Meskipun tiap kali mau minta jawaban sama pembahasan try out kudu ke Karanganyar dulu. Tapi aku masih penasaran, itu peringkat pertama sama keduanya orang itu mlulu. Hsssh, awalnya pengen ngajak kenalan, tapi nggak jadi gegara takut kalau-kalau dikira pemandu bakat laskar pelangi. Dan saat itu tetap menemaniku pensil ajaib yang berusia jumlah jari kiri.

Try out demi try out berlalu, hingga akhirnya tibalah tanggal 9 Mei. Aku berharap banget bisa diterima di jalur SNMPTN, biar nggak senam jantung lagi. Kan bisa kemlinti tuh, tiap ditanya orang kuliah dimana langsung jawab, “FK UGM”. Simpel, padat, tapi berisi penuh wibawa. Tapi alhamdulillah aku ndak diterima di UGM, la wong ndak daftar di sana. :D Tapi sama aja sih, di UNS juga ndak diterima. Kata pak Raviqnya sih nilai UN biologiku ndak memadai :D

Aku yang udah deg-degan seharian saat itu langsung drop. Mangkel banget sama UNS yang katanya ngasih kemudahan buat para Huffazhul Quran buat masuk kedokteran. Tapi perlahan juga sadar, ah Al Quran dihafal bukan untuk sekedar masuk kedokteran. Ditambah sokongan dari berbagai pihak, aku kembali tersadar kembali. Udah dilupakan yang lalu, biarlah jadi bahan buat postingan di blog ini. Dan ndak nyangka, banyak orang yang berhusnudzon, yang terkadang bikin aku sendiri malu, ‘ah, aku sungguh terlampau jauh dari pandangan baik kalian"

Semua berjalan kembali normal. Rutinitas buat les tetap dijalani. Walaupun sekarang jadi agak kurang bersemangat. Bayang-bayang yang aneh-aneh itu muncul terus. Gimana kalau ternyata ndak lulus. Gimana kalau ternyata ndak diterima di kedokteran. Gimana kalau ternyata dia minta dilamarnya tahun depan (hey). Ya, meski udah punya planning B buat cadangan kalau-kalau ndak diterima, tapi tetep aja hati ini masih was-was. Mungkin gegara itu hikmahnya bikin aku jadi ndak lupa diri. Jadi inget terus sama Rabbul Izzati. Yakali harusnya dalam keadaan kayak gini kudu inget juga ya, huhu.

Hari H telah tiba. Hari H telah tiba. Hore, hore, hore hore hore. Yakali ndak Cuma Tasya kok yang gembira dengan hari H, aku pun juga :). Para pejuang pensil di manapun berada juga udah bersiap siaga buat bertempur. Pun kami, para pejuang muda dari mahad hidup mulia. Ada belasan kawanku yang mengundi nasib bertempur di jalan ini. Alhamdulillah, aku tiada sendiri di tempat tesku. Ada kawan karibku Fahry Fahrozy yang setia menemani. Alhamdulillah, aku tidak ditakdirkan menjadi gelandangan sendiri.

Sepurna tes, kulihat wajah peserta lain cerah. S**t, apa cuma aku yang berwajah suram gini. Dan sebulan lamanya harus kembali ikut senam ayo bangkit. Bangkit dari keterdetakan jantung. Berdag-dug ria. Eh, ndak juga sih. Udah menjelang wisuda soalnya, pikirannya jadi terbiaskan. Habis itu semasa rekreasi di malang juga udah agak tenang. Paling-paling kalok ada yang nanya sekolah di mana aku jawabnya, “Doakan bapak, ibu, semoga saya diterima di kedokteran ataupun tempat terbaik lainnya.”

Dan akhirnya masa rekreasi di Malang pun purna. 7 Juli 2015, karena udah kangen pondok, gue langsung capcuss ke mahad. Mumpung gratis kalau alumni. Hihi. Dan mulai H-2 itulah aku kembali ketar-ketir. Pengumuman kali ini lebih  menyangkut banyak hal. Menyangkut nasib 7 hari sisa dari bulan Ramadhan, menyangkut hal yang bakal disunggangkan di wajah, senyumankah atau kemurungan.

Ketika tiba hari H-nya, aku tambah menggalau ria. Dari jam 7 pagi aku udah buka situs pengumuman.sbmptn.or.id isinya countdown eui. Tambah bikin nyesek. Seharian penuh aku ndak bisa konsen buat ngapa-ngapain. Alhamdulillah habis asharnya ada kajian tahsin seru dari ustad Aos. Tapi tetep aja, sang tepak imutku tetap kupegang erat-erat. Di refresh terus situsnya. Hahaha.

Jam 5 pun tiba. Dan situsnya pun overload. Haduh. Aku yang udah nggalau ria jadi tambah risau. Bolak-balik itu situs di refresh, kemudian nyari-nyari situs mirrornya, tapi tetep aja sama. The page you request cannot be displayed. Jam 17.12 udah bisa buka via situs its, tapi waktu masukkin nomor ngelag lagi. Fiuh. Dan akhirnya jam 17.20 barulah bisa dibuka via situsnya Undip. Mungkin karena jaringannya lemot backgroundnya pun masih putih sederhana. Dan saat itu hanya satu yang tertangkap di mata, kata-kata “KEDOKTERAN – UNIVERSITAS SEBELAS MARET”.
ALhamdulillah :')

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Langsung di tempat itu pula aku bersujud, berterima kasih atas karunia yang tak terhingga dariNya. Langsung kukabari sanak keluarga, dan juga ikhwah Pasukan Langit tercinta. Dan terlihat senyum mereka yang juga ikut merekah. Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar. :’)

Berturut turut setelah itu, beberapa kawan mengabari keterimaan mereka. Mulai dari Pak Boss Naufal Ade yang diterima di pilihan keduanya Geologi-Universitas Indonesia, kemudian juga bang Ibrahim Fay yang diterima di pilihan kedua juga, Teknik Informatika-Universitas Riau. Dan malamnya baru satu ikhwah lagi mengabari, Pak Profesor Fisika Bahaul Fahmi, yang diterima di pilihan ketiga Teknik Kimia-Universitas Sebelas Maret.

Tapi seindah apapun senyuman yang tersungging di bibir kami, tetap ada rasa sedih yang menyelinap. Ya, kami sedih atas belum diterimanya ikhwah kami yang lain. Ah, Barakallah lakum, Allah selalu punya rencana yang lebih indah dibanding rencana-rencana kita.
----

Dari saat itulah, judul artikel ini bermula. Senyuman Sang Pejuang Pensil. Alhamdulillah sang pejuang pensil tersenyum, karena doa dan usaha yang ia panjatkan berbuah manis dan senyum menentramkan. Alhamdulillah sang pejuang pensil tersentum, bersebab karuniaNya yang tiada terkirakan. Alhamdulillah sang pejuang pensil tersenyum, kerana saat ia beritahu kawan karibnya berita membahagiakan ini, mereka memberikannya doa yang menyejukkan, barakallahu fiik.

Sungguh, aku ndak mampu merasakan kecuali bahagia, saat ikhwah-ihwah memberiku doa termanis itu. Bahkan, kawan yang mungkin sudah lama tak berkontak, ikut mendendangkan doa mesra itu. Sungguh, di sini aku ingin sekali berkata, uhibbukum fillah, aku mencintai kalian kerana Allah.

Dan terlepas dari pro dan kontra ujian menggunakan Lembar Jawab Komputer (LJK), sebenarnya ada salah satu pelajaran penting yang bisa diambil. Mungkin ini Cuma mengada-ada, tapi tak apalah. Bukankah kita berharga bersebab kebaikan yang kita ambil di segala warna?

Jadi, ujian menggunakan LJK menuntut kita untuk kembali menggunakan pensil. Ya, pensil. Sarana menulis yang kita akrabi dahulu di masa kecil. Bukan hanya saat UN, tetapi juga saat SBMPTN. Semua itu seolah mengisyaratkan kepada kita, “Kembalilah berkanak-kanak, karena dalam kekanakanmu, kau menyimpan sejuta mimpi yang tak terengkuh oleh keraguan hatimu. Kembalilah berpolos ria, karena dalam kepolosanmu, harapan-harapan itu menjadi sangat nyata 5 cm di depan matamu. Tak perlu kau risaukan kegagalan, karena yang kau butuhkan hanyalah semangat untuk meraih cita-citamu.”

Dalam masa berpensil kita tak pernah malu untuk berkata, aku ingin menjadi dokter, aku ingin menjadi pilot, aku ingin menjadi tentara. Dalam masa berpensil, kita tak pernah ragu untuk mencoba, mengabaikan realitas bias yang ada. Huhu.

Yakali saya berpendapat ujian menggunakan komputer ditiadakan. Mungkin iya sih lebih hemat, lebih praktis, dan lebih mudah, tapi bukankah dalam mengejar cita itu butuh pengorbanan dalam ketiganya? Ah, siapa sih yang mau mendengar celotehan anak blogger serabutan gini?

Oh ya, lupa. Jangan sampai dipinggirkan juga, tak ada cita yang lebih indah daripada menjadi khodimul Quran, para pelayan Al Quran. Oh ya aku lupa, minta doanya lagi ya kawan, bukan minta kuliah kok, minta jodoh. :D

Klaten, 7 Syawal 1436H
Salam hangat dari sang pejuang pensil yang selalu tersenyum berdoa untukmu
Huda S Drajad

Sang Pengandung Kalam Mulia

“Asyrofu ummati Hamalatul Qur’ani wa ashhaabul lail”. Sebaik-baik golongan dari umatku adalah mereka, para penghafal Al Qur’an dan ahli qiyamul lail.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZkAuVJaoNT2gkeSt2du1_vn7uiyIygtbUf2CIrQ7vI9RbI7D111gdQEiseqoTZaD5rqN5kNmX-uTcjYXj5fab7kjGpBEZLajwYI9JPaDjuENLpPykKAOOb_tEgDXzXuAWdeFnyVRL2jA/s1600/Metode+Sederhana+Menghafal+Al-Qur'an+Bagi+Orang+Sibuk.jpgBagi sebagian ikhwah yang berkonsentrasi dalam menghafal Al Qur’an, mungkin ada yang menjadikan hadist ini sebagai motivasi. Ada yang menempelnya di dinding kamar, di pintu lemari, atau mungkin di mushaf yang dengannya sering berinteraksi. Hadist ini sering mengingatkan di kala futur menghampiri. Memberi pencerahan dan menggugah jiwa untuk bangkit kembali.
Sebenarnya, kalau kita mau memperhatikan, ada redaksi unik dalam penyebutan ‘penghafal Al Qur’an’ dalam hadist Rasulullah tersebut. Rasulullah menyebut mereka yang mulia dengan hamalatulQur’an, para pengandung Al Qur’an, bukanhuffazhulQur’an. Ada suatu indikasi, yang layak bagi kita untuk meninjaunya kembali
.
Kalau kita tengok sejarah, zaman dahulu gelar alhafizh sebenarnya disematkan kepada mereka yang mampu menghafal ratusan ribu hadis, Ibnu Hajar contohnya. Dan kita pun telah akrab dengan julukan nan agung itu, AlHafizh Ibnu Hajar Al-Atsqoilani. Sungguh, ternyata ada begitu banyak makna yang terbiaskan di sekitar kita.
Rasulullah menyebut para penghafal Al Qur’an sebagai para pengandung Al Qur’an, bukan sekedar penjaga, karena –wallahu a’lam- seorang pengandung akan lebih berhati-hati dengan kandungannya. Ia akan terus memperhatikannya siang dan malam. Hatinya pun juga selalu memikirkan apa yang ia bawa, karena sungguh ia tiada ingin semuanya berakhir sia-sia, atau bahkan berujung nestapa.
Hammalatul Qur’an, seolah mengisyaratkan bahwa Al Qur’an adalah sesuatu yang harus ia jaga sepanjang hayatnya. Selayaknya bagi mereka untuk mencukupi asupan gizinya dengan terus mengulangsecaraberkesinambungan dan mengamalkannya dalam keseharian. Selalu ia jaga kandungan itu dengan vaksin keikhlasan, agar tiada berakhir dengan sesalan. Dan di akhir, ia berupaya untuk terus melahirkan generasi pembaharuan, yang rabbani lagi berakhlaq menawan.
Maka sungguh, adalah sebuah keanehan saat seorang yang mengandung Al Qur’an dalam jiwanya, tetapi dia masih terpukau dengan rumah yang megah. Sungguh, adalah suatu kemirisan tatkala seorang yang diberi amanah kalam Sang Kholik Yang MahaMulia, tetapi dia tersilaukan dengan dengan kendaraan yang mewah. Sungguh, adalah sebuah kesedihan ketika seseorang yang dijuluki asyrofu ummah, bahkan ahlullahiwakhosshotuhu, tetapi kebeningan hatinya mudah terhijabkan oleh gemerlap dunia dan perhiasan yang indah.
Bukan kesalahan untuk memilikinya, akan tetapi terlalu naif apabila semua hal itu dijadikan tujuan semata. Sungguh menjadi seorang hamilulQur’an adalah karunia tiada terhingga, nikmat yang tiada tara, yang memuliakannya di akhirat dan di dunia.Dan juga harus selalu kita ingat bahwasetiap amal yang bernilai tinggi bisa menjadi bumerang saat hati diniatkan bukan untuknya lagi. Sungguh, niat begitu penting, dan menentukan seberapa tinggi derajatnya di hadapan Sang Pemberi rizqi.
Hadits itu begitu masyhur. Ketika di hari kiamat kelak seorang Qari akan dihadapkan di depan Rabb-Nya. Ditunjukilah nikmat padanya yang terkarunia di dunia. Ia pun mengakuinya. Lalu ditanyalah ia oleh Sang Pemberi Karunia, “Amal apakah yang engkau kerjakan dengan nikmat-nikmat itu, wahai hamba-Ku?”
“Ya Rabb, sesungguhnya daku membaca Al Qur’an, mempelajari, dan mengajarkannya semata-mata hanya untuk-Mu.”
“Dusta, engkau belajar Al Qur’an hanya agar dikata engkau alim di antara manusia. Dan engkau membaca Al Qur’an semata-mata hanya agar engkau dikata sebagai seorang Qari’ oleh mereka. Engkau telah mendapatkannya, dan memang begitulah yang dikata manusia tentang dirimu.” Kemudian diperintahkanlah Malaikat untuk menyeret dan melemparkannya ke neraka.
Astaghfirullah. Maka kita harus lebih berhati-hati lagi, menjaga hati ini. Menjaga segumpal daging ini agar terus lurus menetapi jalan Ilahi. Selayaknya kita takut, karena sesungguhnya dalam hadist lain Rasul nan Mulia pernah bersabda, “kebanyakan munafik dari ummatku adalah para Qari’ mereka”
Ya Allah, kami berlindung pada-Mu dari perbuatan syirik yang nista. Maka, selayaknya bagi kita untuk terus mengulang hadist yang termaktub di akhir doa pertama dari kumpulan doa khotmilQur’an. “Waj’alhu lanaa hujjatan Yaa Rabbal ‘Alamin”. Duhai Rabbi, jadikanlah dia hujjah bagi kami.
Laa haula wa laa quwwata illa billah.
(terinspirasi dari tausiyah ustadzana Salim A Fillah)

NB: Artikel ini juga dimuat di majalah Al Huffazh edisi 9, "Al Quran, Bukan Prosesor Biasa"

Alhamdulillah, belum diterima

09/05/15


Tiga setengah tahun yang lalu, aku masih ingat bagaimana kejadian itu berlangsung. Impianku untuk segera menyudahi ujian Basic Program 2 di Elfast pupus sudah. Di tes gelombang keduaku, aku gagal untuk menaklukannya. Ya, di tes yang memang terkenal susah di seantero Pare tersebut, aku gagal hanya karena salah meletakkan satu kata. Dan setelah itu, semangatku mulai mengendur. Sampai sekarangpun, aku belum mengambil sertifikatnya. Ahihi

Hari ini, 9 Mei 2015 pun menjadi hari bersejarah, bukan hanya buatku, tapi juga bagi beratus ribu siswa lain di nusantara. Ya, hari ini adalah hari dimana bilamana SNMPTN diumumkan. Tercatat lebih dari seratus delapan puluh dua ribu siswa diterima via jalur ini. Barakallah, barakallah.

Aku sebenarnya juga menjadi salah satu siswa yang harap-harap cemas mengikuti program ini, tapi ternyata, ekspektasiku berbeda dengan kenyataan yang ada. Pilihanku di UNS dan UNDIP ternyata belum diluluskan oleh Allah via universitas yang bersangkutan. Sedih? Pasti dong. Tapi inilah hidup, ada banyak kejadian yang mungkin tiada kita harapkan. But so what? Toh, aku masih punya Allah yang bisa kugantungi kok.

Sebenarnya aku berharap dengan diterima di SNMPTN ini, aku bisa segera menyudahi pergulatan dengan pelajaran eksak, bisa langsung fokus ke hal-hal lain, bisa nulis artikel lagi, bisa belajar nyopir mobil, ngapalin matan tholibil ilmi, ikut PKL lagi besok bulan Ramadhan, ahh tapi kan itu hanya harapan. Toh ternyata Allah menunjukkan, itu bukanlah jalan terbaik yang harus kulalui.

Selepas pengumuman tadi, aku langsung posting pengumuman ketidakterimaanku (itu bahasanya betul gak?) di SNMPTN. Mungkin beberapa orang ada yang beranggapan aku kurang kerjaan, pamer suatu hal yang gak bisa dibahagiakan. Padahal, aku gak bermaksud kayak gitu loh. Aku posting pengumuman tersebut di Instagram, Facebook, dan twitter cuma pengen biar khalayak ramai tahu, aku masih punya cita yang belum terwujudkan.

Aku berharap memosting pengumuman tersebut, namaku jadi terselip di doa teman-teman, follower, maupun para stalker akunku (ahihi). Kan ketika seorang mukmin mendoakan saudaranya dalam diam, para Malaikat akan mendoakan yang seperti itu juga pada mereka. Dan aku berharap para saudaraku juga seperti itu, mereka juga mendapat kebaikan yang sama. Pun juga aku husnuddzon, ada banyak yang segan buat ngepoin aku, makanya aku ngasih tahu mereka tanpa perlu mereka bertanya.. :D

Dengan tidak diterimanya aku di SNMPTN ini, aku jadi mendapatkan banyak hikmah yang mungkin gak bakal kudapatkan jika aku diterima. Pertama, aku jadi tersadar, betapa jauhnya keihlasanku menyimpang. Seperti yang disampaikan salah satu hijaber terkemuka Indonesia, ketika kita berdoa, harusnya kita menggabungkan antara harapan dan keikhlasan. Betapa seringnya kita meminta kepada Allah, lalu menggantungkan harapan kita kepada-Nya, tapi ketika pinta kita belum diwujudkan kita masih ngeyel. Masih menganggap hal yang kita harapkan itu baik bagi kita. Kita jadi terlupa firmanNya, asaa an tuhibbu syaian wa huwa syarrun lakum. Boleh jadi, kalian mencintai sesuatu, padahal hal itu buruk bagi kalian. Huhu

Dan juga, aku juga sebenarnya takut. Aku takut kalau seandainya aku diterima hanya karena hafalan Quranku. Emang buat apa sih sebenarnya hafal Al Qur’an? Buat mencari ridho Allah, atau biar diterima di PTN Idaman? Astaghfirullah. Mungkin dengan tidak diterima, Allah ingin memberi kesempatan aku menjaga niatku untukNya, hanya untukNya.

Kedua, aku jadi bisa belajar menginsyafi lagi, agar tidak terlalu berharap kepada selainNya. Aku berharap dengan SNMPTN, ada banyak kebaikan yang bisa kupetik. Bukankah selayaknya kebaikan digantungkan hanya padaNya? Dan sekali lagi, aku merasa bersalah.

Ketiga, dengan ini aku jadi terbangun. Betapa hati ini belum siap untuk menerima karunia yang besar. Mungkin saja, aku bakalan jadi terbang, lupa daratan, merasa ujub dan takabbur saat aku diterima saat ini. Hati kecil mungkin belum siap untuk menjaga hati agar tidak memamerkan kelebihan diri. Ahh, betapa bersyukurnya, ternyata keburukan ini tak sempat kulakukan.

Dan terakhir, bisa belajar menerima sesuatu yang tidak diharapkan. Ahaha. Alhamdulillah, sekarang udah berkurang satu beban. Maka, dengan sedikit coretan ini, aku minta doa dari kalian, doa yang gak perlu tertulis di kolom komentar, doa yang tak perlu tersebut di linimasa, hanya doa yang terlantun di simpuh dan sujud, di keheningan malam yang sunyi. Syukron lakum wa jazaakumullah khoiron katsiron. :)

[Dan alhamdulillah, ada satu ikhwah dari pasukan langit yang diterima di teknik sipil Universitas Brawijaya via jalur ini]

Klaten, 20 Rajab 1436H

Al faqir ilallah

Huda S Drajad

ketika UN kelar

02/05/15

Beberapa hari yang lalu, aku dan berjuta pelajar di Indonesia udah kelar dari UN. Kayak orang ketiban duit kertas runtuh -karena durian runtuh terlalu mainstream dan juga menyakitkan-, rasanya tuh sesuatu banget.

Berbicara tentang UN, berarti kita berbicara tentang pelajaran, tentang log dan bagaimana bentuk inversnya, tentang Fasciola Hepatica dan di mana fase Mirasidiumnya, tentang radioaktif dan untuk apakah ia, dan tentang toluena dan seberapa besar cintaku padanya. Oke, aku rada ngelantur.

Hidup sebenarnya indah, seindah sekolah 3 tahun yang ditentukan dalam 3 hari. Dan sayang keindahan itu kini sirna. Dan kita patut bersyukur, meski keindahan itu telah tiada, namun kita masih bisa mencecap manisnya. Masih ada kok kabar bahwa soal UN bocor di beberapa daerah, tentang kabar UN mau diulang, dan kabar bahwa sebagian siswa tidak bisa mengerjakannya. Manis kan?

Kenapa manis? Yah, semua hal itulah yang bakal kita rindukan suatu saat nanti, ketika mungkin kita diberi kesempatan menginjakkan kaki di luar negeri jauh dari ibu pertiwi. Ketika mungkin suatu saat hidup akan menjadi membosankan, dimana saluran televisi kehabisan bahan untuk diberitakan, hingga kita selalu bangga untuk berkata, “Indonesia tanah air beta, pusaka abadi tak jaya.”

Nah, dari berjuta pelajar di Indonesia, berjuta pula ekspresi mereka setelah kelar dari UN. Ada yang langsung sujud syukur, ada yang berkemah, bercengkrama, dan bertadabbur alam, ada pula yang langsung kembali ke kota kelahiran, bertemu sanak saudara dan berkesempatan untuk berbakti kepada kedua orang tua. Eh, itu anak-anak pasukan langit ding :P

Ada mereka yang biasa-biasa saja, keep calm and simple, ada mereka yang berbahagia karena bisa berlibur kemana saja, tapi yang menyedihkan, ada mereka yang terjatuh setelah mendaki begitu tingginya. Miris banget, waktu tahu ada sekelompok pelajar di Kendal berzina ria setelah UN selesai, dan lebih miris waktu lihat video splash after class, wew, sekelompok pelajar ngajak pesta bikini. Sayangnya, acaranya dibatalkan. Padahal aku pengen ikut loh, eh.

Beberapa dari kami pun terlena loh, seolah-olah UN selesai berarti perjuangan selesai. Padahal enggak kan coeg? Misalnya, masih ada tugas buat daftar di PTN idaman. Belum lagi perjuangan pas kuliah kelak, perjuangan buat skripsi, perjuangan mencari nafkah, perjuangan menikah, dan perjuangan-perjuangan selanjutnya.

Kalau mau sedikit merenung, sebenarnya hidup hanyalah kumpulan dari ujian-ujian dan perjuangan. Dan UN, hanyalah satu keping kecil dari rangkaian puzzle kehidupan. Aku jadi teringat pesan Syaikh Abdul Karim ketika tahsin surah Al Balad. Inna kholaqnal insaana fii kabad. Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam keadaan berpayah-payah. Maksudnya, emang udah fitrohnya manusia buat berpayah-payah, gak ada waktu buat berfoya-foya, buat berleha-leha, buat berlena-lena. Ada banyak PR yang belum terselesaikan.

Ahh, beta terlalu banyak bercakap, takutnya malah tak bermanfaat. Semoga Allah memberi hidayah, untukku, untukmu, untuknya, untuk mereka, dan untuk kita semua

Klaten, Rajab 1436 H

Al faqir ilallah

Huda S Drajad

[PICT] FAI X

24/03/15

Momen reuni keluarga kecil. Meski tak mendapat juara umum, tapi alhamdulillah 'alaa kulli haal














Selamat Ulang Tahun Cinta

25/02/15

Selamat ulang tahun cinta. Semoga rahmat dan berkahNya selalu tercurahkan kepada engkau. Semoga engkau bisa menjadi wanita sholehah yang bermanfaat bagi Islam, keluarga, dan sanak saudara. Semoga di sisa umur, engkau selalu diliputi cintaNya dan dianungi kasih sayangNya.
Salam sayang, Huda

Kata-kata itu hanya bisa kupendam dalam-dalam. Kata-kata itu hanya kupendam dalam salah satu memoar batinku. Sungguh aku tak mampu dan tak mau mengirimkannya padamu. Biarlah kau tiada tahu, karena aku takut bersebab kata ini, perasaanmu berubah padaku.

Pagi hari aku terbangun dari mimpi indahku. Ku buka hp dan kudapati pemberitahuan menarik di berandaku. Kau berulang tahun hari ini. Dan aku pun tersenyum. Sungguh, aku ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan ‘barakallah fii umriki’ yang pertama, namun hal itu urung kulakukan. Aku tersenyum, ternyata selama ini aku salah mengahafal tanggal lahirmu.

Aku ingin menjadi yang pertama yang mengucapnya langsung untukmu, meski mungkin aku bukanlah lentera yang paling bersinar di hatimu. Aku ingin bersegera mengungkapkannya, meski mungkin bukan itu yang kau harapkan di hari spesialmu. Tapi lagi-lagi aku tak mampu, dan tak mau untuk melakukan semua itu.

Dan kau tahu, ketika aku mengintip akunmu, kudapati beberapa lelaki memberi selamat atasmu. Kau tahu, saat itu api cemburu membakarku. Ya, aku cemburu. Tapi sekali lagi, tiadapun rasa itu bisa kupermasalahkan, karena kau bukan siapaku, dan aku bukan siapamu.

Aku cemburu dengan kata yang mampu mereka tuliskan, meski kata itu sederhana. Bukan nyanyian, bukan sajak, bukan puisi, tapi hanyalah kata sederhana yang bersahaja. Aku cemburu, meski mungkin, bukan kata mereka juga yang kau pinta.

Aku ingin memberimu sesuatu yang spesial. Aku ingin menjadi yang spesial di hatimu, aku ingin menjadi lentera paling bercahaya di matamu dengan sesuatu itu. Aku berpikir dan mencarinya, tapi sekali lagi aku menyerah. Kurasa segala yang terlintas di benakku tiada cukup untuk kuberikan padamu.

Rangkaian bunga? Rampaian puisi? Rumbaian sajak? Atau mungkin buku yang menarik bagimu? Ahh, bukan, bukan. Aku urungkan niat untuk memberikannya. Aku takut mawaddah kita tercipta sebelum saatnya. Tapi aku lebih takut, saat kuberikan salah satunya, justru bukan mawaddah yang tercipta, tetapi orok dan nanah yang membuat luka.

Maka, sekali lagi kumantapkan hatiku. Kurasa ada sesuatu yang lebih layak untuk kuberikan. Doa, ya doa. Kulantunkan doa mesra untukNya bagimu. Agar engkau dilindungiNya, agar engkau selalu Dia beri cahaya, agar kau dan aku bisa kembali dipertemukanNya, setidaknya kelak di surga.

Biarlah doa ini kulantun dalam diam, tanpa sepengetahuanmu. Biarlah hanya aku dan Dia yang tahu, seberapa cinta aku padamu.

Kampung 2 Menara, satu empat tiga enam hijriyah
Yang berharap cinta-Nya dan cinta orang yang mencintaiNya
Huda S Drajad

[Pada akhirnya aku mem-publish tulisan ini di hari ulang tahunku, agar kau tidak merasa yang kumaksud itu kamu. Lagipula, tiada istilah hari ulang tahun dia agama kita kan? :)]

Ternyata dia dari negara adidaya

26/01/15

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPwGvBRYiguqiXOFP00HuNm32RXvUotIksvuYEg-TksLeRxyZxwrh91W0gSGR1wgn3NjM1C46_V4MW92F9r1tj_g6jZkQHeBUH-bwjHwGNj6JhFCP73eg2KW_f1EA9C51uEcTlL2pLCUc/s320/Image1019.jpg
Beberapa waktu yang lalu, aku pernah blogwalking ke blog seseorang yang sedang belajar filsafat. Isinya subhanallah, bikin aku miris. Entah dia yang salah pemahaman atau aku yang agak gimana, tapi pokoknya banyak hal yang dia tulis bertentangan dengan prinsip yang aku pegang.

Inti dari tulisan beliau adalah, esensi dalam Islam lebih penting dari kulitnya. Misalnya, kita nggak harus berkopiah dan bersurban, untuk menjadi seorang yang baik budi lagi akhlaknya. Yang penting hati baik, kalau masalah penampilan dikembalikan ke setiap pribadi. Bagi beliau percuma, orang yang mengaku Islam, berwajah Islam, bersimbolkan Islam, tapi kelakuannya tak mencerminkan Islam sama sekali... Mendingan semua simbol yang ia kenakan dicopot. Dan aku pun cuma bisa mengelus dada. Dari manakah pemahaman seperti ini sebenarnya muncul?
   
Kalau secara pemahaman dangkalku sih, mereka mendapatkan hal itu karena mereka mencari referensi dari peradaban yang salah. Kalau logika sederhana, nggak mungkin kita belajar memasak makanan Eropa kepada Chef makanan Arab iya kan? Kalau masih dibantah, mungkin aku ingin mengingatkan sebuah kisah yang sering dilupakan atau mungkin emang nggak diketahui oleh kaum muslimin di masa ini.

Adalah saat itu Amr bin Luhay, seorang yang dianggap alim dan tokoh religius di masanya. Semua masyarakat Quraisy zaman itu menaruh hormat padanya. Suatu ketika, beliau berkunjung ke Imperium Persia yang dianggapnya maju. Ia yang udik melihat kaum yang maju secara peradaban itu menyembah berhala. Maka, dia ingin membawa budaya baru itu ke tanah aslinya, karena menganggap mungkin itu adalah alasan kenapa mereka bisa memajukan peradaban.

Akhirnya kembalilah Amr bin Luhay ke kaumnya dan membawa cara menyembah jenis baru tersebut. Kemudian digali dan dicarilah patung-patung dan berhala lama yang telah tertimbun dalam pasir. Akhirnya dimulalah masa itu, masa dimana mereka menyembah sesuatu yang dijuluki Allah, laa yadhurruhum wa laa yanfa’uhum. Tidak membahayakan lagi tidak memberi manfaat.

Tapi kita tahu bahwa tiada sekalipun kaum Quraisy maju dengan cara bersembah baru itu. Kita tahu, setelahnya mereka terus terkungkum dalam masa yang kelam, yang mendewakan nafsu kebinatangan, yang mudah berperang hanya karena masalah yang sepele, yang terkungkung oleh fanatisme kesukuan yang semu dan menipu, hingga datanglah Islam, menjadikan mereka memiliki peradaban yang tinggi dan menoreh tinta emas dalam sejalah perjalanan hidup manusia.

Bisakah Amr bin Luhay kita samakan dengan tokoh-tokoh liberal di masa ini? Mereka mengaku sebagai ‘cendekiawan’, mereka adalah orang yang dianggap sebagai tokoh-tokoh pemimpin religius, sosok pemimpin spiritual, yang mengaku tinggi dan beradab karena mempelajari Islam di tanah yang sekarang menjadi negara Adidaya. Aku takut, bersebab mereka Allah semakin menghinakan kita sebagaimana hinanya kaum Quraisy jaman dahulu.

Ahh, sungguh mereka memang orang yang sulit untuk diajak berbicara dengan nurani. Mereka selalu melawan dan mengecam kotak pengkotakan, meski kadang merekalah yang mengkotak-kotakan hal itu sendiri. Ahh, sungguh, merekalah orang rumit yang suka merumitkan masalah mudah. Ahh sungguh, hanya kepada Allah kita memohon semoga Dia memberi hidayah kepada kita semua.

Karangpandan, 6 Rabi’ Ats Tsani 1436H
Huda S. Drajad

Code Blue, belajar psikologi seorang dokter

08/01/15

Aku adalah salah seorang penggemar NARUTO. Sejak ia ditayangkan di Global TV sewindu yang lalu, aku jadi tergila-gila pada tokoh penyukan ramen ini. Ada banyak hal yang kulakukan. Mulai dari minjem komik dari temen atau perpustakaan sekitar rumah, ngrekam animenya di TV lalu ditonton di kelas bareng, sampai beli gantungan kunci atau aksesoris lain bertema NARUTO.

Doctor Heli
Suatu ketika, ketika aku beranjak dewasa, aku mulai menyukai teman sekelasku. Eh bukan. Suatu ketika, aku membeli majalah Animonster. Padahal aku sendiri juga nggak tahu itu majalah tentang apa. Kau tahu alasanku kenapa membelinya? Ya, karena cover depannya bergambarkan NARUTO. Ahh, aku emang payah. Dan aku mendapati ternyata pembahasan tentang NARUTO dikit banget. Tapi tak apalah, aku kan doyan baca majalah sampai habis. Pokoknya dibaca, pasti suatu saat bermanfaat.
               
                Dan perhatianku tertumpuk pada artikel yang membahas tentang Jdrama, entah awalnya aku nggak tahu judulnya. Pokoknya tentang kisah orang yang kembali ke masa lalu itu. Dan akhirnya, drama itu pun menjadi salah satu mimpi kecilku. Aku kebelet nonton, tapi dari dan lewat mana? Saat itu kan ngunduh film dari internet belom jaman.

                Beberapa tahun kemudian, aku dan kakakku menemukan seorang avatar yang baru, seorang pengendali udara yang bernama Aang. Eh, beberapa tahun kemudian, aku menemukan di laptop kakakku, sebuah film dengan judul yang bagiku agak asing. Judulnya, Proposal Daisakusen. Aku iseng buka, dan ya Allah, ini drama yang selama ini aku cari. Aku seneng, bahagia nggak ketulungan. Ibarat cinta Naruto dan Hinata, meski awalnya mungkin kelihatan nggak berjodoh, tapi akhirnya mereka menikah juga.

                Setelah menontron dorama tersebut, aku jadi demen ama film yang dibintangi Yamapi. Setelah berselancar di dunia maya, kudapati ternyata ada banyak dorama lain yang dia bintangi. Ada Kurosagi, Dragon Zakura, Buzzer Beat, dan juga Code Blue. Tapi aku juga nggak tahu, itu film apakah. Pokoknya sekali lagi target film yang ingin kutonton bertambah. Dan sekali lagi takdir seolah mempertemukan kami. Kakak sepupuku ternyata seorang penyuka dorama juga. Aku pun mendapatkan file-file dorama tersebut darinya. Syukron kakak.

                Nah, salah satu yang membuatku berkesan adalah Code Blue. Awalnya aku kira ini dorama tentang cinta-cintaan, ternyata dugaanku tepat 180o. Itu film malah nggak ada kisah cinta yang menonjol. Isinya ternyata tentang kisah para dokter muda yang bertugas di rumah sakit khusus keadaan darurat. Pokoknya isinya menolong kecelakaan gitu. Dan yang menarik, ketika mereka punya kendaraan khusus untuk menyelamatkan orang-orang, yakni helikopter. Maka mereka pun dijuluki dokter heli :))

                Inti kisah dari dokter heli adalah tentang kemanusiaan. Mengisahkan tentang intrik dan konflik batin seorang manusia. Mengisahkan bahwa dokter adalah manusia. Mengisahkan tentang berbagai hal yang kadang menyayat hati. Beberapa kali aku menonton film ini, dan aku terpaksa harus menangis. Huda-i, cengeng pol.. :p Pertama kali namatin, waktu di kereta sepulang dari Cirebon. Dan aku nggak bosen, karena selain ceritanya bagus, yang main juga cantik-cantik, Eh. #Plak

                Dari dorama ini aku belajar banyak hal, diantaranya konflik batin yang dialami para dokter. Yah, aku seneng banget karena bisa jadi pembelajaran untuk kelak jika citaku menjadi dokter di ACC oleh Sang Pencipta. Diantara pelajaran-pelajarannya,,,

Pertama, dengan menonton film ini, berarti kita belajar jadi berani. Lihat film ini berarti kita kudu nonton banyak darah yang tertumpah. Ada banyak adegan penyuntikan, pembedahan, penyayatan daging, bahkan pengamputasian. Awalnya aku merinding, tapi lama-kelamaan terbiasa Alhamdulillah. Makanya, persiapkan mental kalian, pokoknya seru kok. Aku ingat ketika salah satu dokter ditanya, “apakah kau pernah merasa takut?” “Ya, aku selalu takut. Tapi, jika rasa takut itu membuatku ragu dan bimbang, aku lebih takut saat nyawa pasien menjadi tidak terselamatkan.

Kedua, di film ini, aku jadi tahu bahwa ketika menjadi seorang dokter kita harus bermental kuat. Bayangkan saat kita harus ngodel-odel daleman manusia, yang isinya organ vital semua, salah sedikit bisa berakibat buruk, bahkan kematian. Makanya, dibutuhkan mental dan keyakinan yang bulat. Awalnya para dokter muda di sini juga masih ragu-ragu, jadi hasilnya nggak maksimal. Tapi setelah mereka meyakini, skill dan kemampuan mereka pun menjadi benar-benar tergunakan.
Cover season 1

Ketiga, menjadi dokter, berarti harus mengesampingkan perasaan dan lebih mengutamakan hal yang memang penting. Seperti adegan saat salah seorang dokter wanita diminta pasiennya untuk tetap meneruskan persalinannya. Padahal saat itu keadaannya tidak memungkinkan, karena dihawatirkan jika tetap diteruskan nyawa sang ibu juga akan melayang. Tapi sang ibu kekeuh, dan sayangnya dokter tersebut iba. Dia tetap berusaha meneruskan persalinannya, dan ternyata keduanya malah meninggal. Begitulah, hingga akhirnya sang dokter menyesal karena telah mengedepankan perasaannya. Meski begitu, di episode terakhir dorama ada adegan  saat mereka mengedepankan perasaan mereka untuk tetap menolong seorang pasien meski disuruh menyudahi karena keadaan yang berbahaya.

Keempat, apa lagi ya? Pokoknya banyak banget lah. Misalnya, bisakah kalian membayangkan, seorang dokter senior dan paling berpengalaman, harus kehilangan salah satu tangannya karena kecerobohan kalian? Atau saat sebuah harapan menjadi seseorang yang besar tertumpuk di pundak kalian, masihkah kalian kuat untuk terus berusaha memantaskan diri untuknya? Film yang benar-benar menguras emosi dan perasaan.

Makanya, film ini bener-bener recomended buat kalian. Aku yakin, ketika kalian nonton dorama ini sendiri kalian bakan menemukan nilai-nilai kemanusiaan yang ada di dalamnya. Terus saranku, kalau lihat film jangan cuma fokus dengan pemain-pemainnya aja, soalnya emang cantik-cantik sih, eh #plak, tapi cobalah cari nilai positifnya. Siap? :)
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS