Ternyata dia dari negara adidaya

26/01/15

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPwGvBRYiguqiXOFP00HuNm32RXvUotIksvuYEg-TksLeRxyZxwrh91W0gSGR1wgn3NjM1C46_V4MW92F9r1tj_g6jZkQHeBUH-bwjHwGNj6JhFCP73eg2KW_f1EA9C51uEcTlL2pLCUc/s320/Image1019.jpg
Beberapa waktu yang lalu, aku pernah blogwalking ke blog seseorang yang sedang belajar filsafat. Isinya subhanallah, bikin aku miris. Entah dia yang salah pemahaman atau aku yang agak gimana, tapi pokoknya banyak hal yang dia tulis bertentangan dengan prinsip yang aku pegang.

Inti dari tulisan beliau adalah, esensi dalam Islam lebih penting dari kulitnya. Misalnya, kita nggak harus berkopiah dan bersurban, untuk menjadi seorang yang baik budi lagi akhlaknya. Yang penting hati baik, kalau masalah penampilan dikembalikan ke setiap pribadi. Bagi beliau percuma, orang yang mengaku Islam, berwajah Islam, bersimbolkan Islam, tapi kelakuannya tak mencerminkan Islam sama sekali... Mendingan semua simbol yang ia kenakan dicopot. Dan aku pun cuma bisa mengelus dada. Dari manakah pemahaman seperti ini sebenarnya muncul?
   
Kalau secara pemahaman dangkalku sih, mereka mendapatkan hal itu karena mereka mencari referensi dari peradaban yang salah. Kalau logika sederhana, nggak mungkin kita belajar memasak makanan Eropa kepada Chef makanan Arab iya kan? Kalau masih dibantah, mungkin aku ingin mengingatkan sebuah kisah yang sering dilupakan atau mungkin emang nggak diketahui oleh kaum muslimin di masa ini.

Adalah saat itu Amr bin Luhay, seorang yang dianggap alim dan tokoh religius di masanya. Semua masyarakat Quraisy zaman itu menaruh hormat padanya. Suatu ketika, beliau berkunjung ke Imperium Persia yang dianggapnya maju. Ia yang udik melihat kaum yang maju secara peradaban itu menyembah berhala. Maka, dia ingin membawa budaya baru itu ke tanah aslinya, karena menganggap mungkin itu adalah alasan kenapa mereka bisa memajukan peradaban.

Akhirnya kembalilah Amr bin Luhay ke kaumnya dan membawa cara menyembah jenis baru tersebut. Kemudian digali dan dicarilah patung-patung dan berhala lama yang telah tertimbun dalam pasir. Akhirnya dimulalah masa itu, masa dimana mereka menyembah sesuatu yang dijuluki Allah, laa yadhurruhum wa laa yanfa’uhum. Tidak membahayakan lagi tidak memberi manfaat.

Tapi kita tahu bahwa tiada sekalipun kaum Quraisy maju dengan cara bersembah baru itu. Kita tahu, setelahnya mereka terus terkungkum dalam masa yang kelam, yang mendewakan nafsu kebinatangan, yang mudah berperang hanya karena masalah yang sepele, yang terkungkung oleh fanatisme kesukuan yang semu dan menipu, hingga datanglah Islam, menjadikan mereka memiliki peradaban yang tinggi dan menoreh tinta emas dalam sejalah perjalanan hidup manusia.

Bisakah Amr bin Luhay kita samakan dengan tokoh-tokoh liberal di masa ini? Mereka mengaku sebagai ‘cendekiawan’, mereka adalah orang yang dianggap sebagai tokoh-tokoh pemimpin religius, sosok pemimpin spiritual, yang mengaku tinggi dan beradab karena mempelajari Islam di tanah yang sekarang menjadi negara Adidaya. Aku takut, bersebab mereka Allah semakin menghinakan kita sebagaimana hinanya kaum Quraisy jaman dahulu.

Ahh, sungguh mereka memang orang yang sulit untuk diajak berbicara dengan nurani. Mereka selalu melawan dan mengecam kotak pengkotakan, meski kadang merekalah yang mengkotak-kotakan hal itu sendiri. Ahh, sungguh, merekalah orang rumit yang suka merumitkan masalah mudah. Ahh sungguh, hanya kepada Allah kita memohon semoga Dia memberi hidayah kepada kita semua.

Karangpandan, 6 Rabi’ Ats Tsani 1436H
Huda S. Drajad

1 komentar:

  1. Sama kayak pemahaman kejawen : keimanan tu cukup dengan hati saja.

    BalasHapus

Saran Anda Untuk Perbaikan Diri dan Koreksi. Terima Kasih :)

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS