Udah nggak sabar

14/08/14

                Udah nggak sabar. Mungkin kita sering banget merasakannya. Lupakan perasaan kalian dulu, mari kita belajar bersama. Udah pernah baca satu anekdot tentang sabar? Kalau belum, simak dulu.

        Suatu ketika, seorang pemuda sebut saja Fiki, berkata ke sahabatnya, Fiko.
“Fik, katanya sabar itu indah. Gue udah lama menunggu. Sabar. Tapi kok gak kerasa juga ya indahnya?”
“Kata siapa, sabar itu indah kok.”
“Masak? Terus kapan gue bisa merasakan keindahannya?”
“Ya, sabar aja”

                Ini mungkin anekdot rada aneh, tapi sesungguhnya mencerminkan keadaan kita sehari-hari. Mencerminkan keadaaan seseorang yang berusaha bersabar, tapi masih merasa hidupnya selalu berada dalam kesusahan. Ia mungkin, belum menyadari indahnya kesabaran dalam hidupnya.

                Yang pengen gue bahas sekarang adalah pembiasan makna sabar yang sering terjadi di antara kita. Sabar itu seolah-olah artinya cuma menunggu. Itu perkataan ulama’ siapa juga gak tahu. Pokoknya sabar itu menunggu. Sampai muncul quote, sabar itu ada batasnya, ketika seseorang terlalu lama menunggu.

    Salim A Fillah, menggambarkan dalam satu bukunya, Jalan Cinta Para Pejuang, tentang pembiasan makna ini. Karena gue gak hafal ceritanya ngeplek, gue pas-pasin aja ya.

                Alkisah seorang pemuda, sebut saja dia Fahry Muhammad Ihsan, ingin melamar seorang akhwat, sebut dia Aisyah. Fahry datang ke rumahnya Aisyah. Nembung ke bapaknya (langsung to the point aja kakak)..

                “Pak, Kedatangan saya di sini pertama ingin menjalin silaturrahim. Agar kita semua diberkahi. Agar Allah memanjangkan umur kita. Kedua, tujuan saya ke sini adalah hendak mengamalkan salah satu sabda Rasulullah. “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu, menikahlah” Nah, maksud saya, saya ingin menikah dengan anak Bapak, Aisyah”

                Si Aisyah udah menunggu di dalam kamar. Dia juga pengen. Yee... Tapi, bukannya bertanya ke Aisyah, tapi sang bapak langsung langsung menjawab. “Ya, saya sebenarnya juga ingin, tapi kan Aisyah masih kuliah, alangkah lebih baik jika adik menunggu dianya lulus dulu”

Kalau gue yang digituin, mungkin gue langsung ngeluarin hadis Rasulullah yang berbunyi,
“Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”
Jleb. Jeder. Klontang-Klontang.

                Tapi Fahry bukan gue. Dia lelaki sopan dan baik hati. Dan pula, bapak tadi gak nolak, cuma menyuruhnya menunggu. Fahry pamit pulang meskipun hatinya remuk. Trek trek dung ces.

                Hari demi hari berlalu. Dia lama berfikir. Dia harus menunggu orang yang di-istikhoroh-inya lulus. Itu masih 2 tahun lagi kakak. 2 tahun memang bukan waktu yang lama seandainya dijalani, tapi kali ini keadaanya berbeda. Dia sudah nggak kuat kalau harus menahan hawa nafsunya terlalu lama. Status hafidz dan mahasiswa berprestasi yang disandangnya, ditambah wajahnya yang ganteng membuatnya digemari mahasiswi di kampusnya. Bahkan, beberapa akhwat pun juga menaruh hati padanya. Gak percaya kegantengannya, coba buka sendiri akun fbnya di sini.

                Oke, lanjut. Setelah berfikir panjang, akhirnya Fahry pun memutuskan untuk menikah dengan akhwat lain. Baginya sabar bukan hanya menunggu orang yang diharapkannya lulus. Sabar, juga berarti merelakan apa yang disukainya, untuk menghindari madhorot dan dosa. Ia ingin segera menikah, bukan karena ia tak mampu menunggu, tapi karena ia tak yakin masih mampu bertahan di fitnah dewasa ini.

***
                Dari cerita itu, dulu gue tersadar dari pembiasan ini. Mungkin kita lupa, pada perkataan Ibnul Qoyyim “Sabar adalah menahan jiwa dari keluh kesah dan marah, menahan lisan dari mengeluh serta menahan anggota badan dari berbuat tasywisy (tidak lurus). Sabar ada tiga macam, yaitu sabar dalam berbuat ketaatan kepada Allah, sabar dari maksiat, dan sabar dari cobaan Allah. ”.

                Bahkan, beliau juga gak menyebutkan kalau sabar berarti menunggu bukan? Jadi, gue berharap setelah ini, kita gak terkekang dengan persepsi bahwa sabar adalah menunggu. Lain kali, kita bahas masalah sabar ini lebih jauh. Gue tutup dengan sabda Rasul

Ash Shobru dhiya’, sabar adalah pelita” Ma Syaa Allah

Hafal Al Qur’an dalam 40 hari

13/08/14

                Membaca judul di atas, membuat orang ngiler. Terbukti animo masyarakat begitu tinggi waktu unit IMTAQ kemaren mengadakan dauroh 40 hari hafal Al Qur’an. Yang dateng banyak bingit, bahkan melebihi kuota yang disediakan.

                Pertanyaannya, bisakah hal tersebut dilakukan? Jawabannya bisa. Ya emang, gue akui bukanlah sebuah kemustahilan seseorang bisa ngapal Al Qur’an dalam 40 hari. Dan anak-anak IMTAQ buktinya. Mereka bisa menyelesaikan hafalan mereka dalam waktu kurang dari 40 hari malah. Tapi satu pertanyaan yang terbesit, lancar gak tuh?

                Itu yang jadi ganjalan di benak kita, yang ada di negeri 2 menara. Enak banget sih, ngapal Al Qur’an 40 hari doang. Kita aja di ma’had sini, susah payah ngapal 3 tahun, eh ini enak banget bisa hafal dalam 40 hari. Dan ganjalan tersebut hancur ketika kita mendengar kisah dari ustad dan seorang peserta program tersebut.

                Sewaktu iktikaf kemaren, ada salah seorang peserta yang setoran ke gue. Setorannya sebenarnya agak kurang lancar, tapi biasa gue coba basa-basi. Habis setoran, gue nanya “mas udah hafal berapa juz?”. Beliau jawab 22. Waw. It’s amazing. Gue tanya, kok bisa. Terus beliaunya malah cerita tentang keikutsertaan beliau ke Makasar buat ikut program ini.

                Beliau jujur merasa kepayahan buat murojaah, karena pada dasarnya di program ini hanya dikhususkan buat menghafal doang. Beliau coba sharing ke salah satu ustadnya, dan ternyata ustadnya pun sebenarnya juga kurang sreg dengan program seperti ini.

                Gue juga dapet cerita dari musyrif halaqoh gue yang juga jadi musyrif program yang diadakan untuk anak IMTAQ. Beliau juga mengeluhkan yang sama, takut kalau seandainya anak IMTAQ pada kesusahan buat murojaah. Banyak yang beliau keluhkan pokoknya. Dan gue dengarnya juga miris.

                Sebenarnya, program ini bagus buat memotivasi orang menghafal Al Qur’an. Hafal Al Qur’an dalam 40 hari, bukankah mudah sekali? Tapi ada sisi minusnya, yang sebenarnya juga jadi masalah terberatnya. Dia Cuma hafal dalam 40 hari. Setelah itu, hafalannya menguap.

                Karena di sini, kita cuma disuruh menghafal, disetorkan, terus menghafal halaman selanjutnya dan seterusnya. Ibaratnya yang udah dihafalin itu udah gak diurusi. Fokusnya Cuma menghafal baru dan baru. Maka, ketika dia udah selesai menghafal 30 juz, dia akan kesulitan buat mengulanginya, karena seperti yang kami rasakan, proses memurojaah hafalan itu jauh lebih susah daripada proses menghafalnya.

                Kadang kita bingung dengan orang yang pengen menghafal dengan cepat, emang setelah 40 hari menghafal, apa yang pengen dia kerjakan? Mungkin penyebabnya karena mereka salah pengertian. Karena sesungguhnya hafizh mempunyai makna sama dengan menjaga. Jadi pada dasarnya, hafizh Al Qur’an mempunyai makna penjaga Al Qur’an, bukan sekedar penghafal.

                Tugas para hafidz sesungguhnya adalah menjaga bagaimana Al Qur’an selalu terjaga hingga hari Kiamat. Menjaga, agar ruh Qur’an terus tertanam dalam jiwa setiap Muslim. Menjaga, agar lisan mereka terus berkesinambungan untuk tetap melantunkan ayat ini.

                Karena Al Qur’an lebih mudah hilang, dibandingkan unta yang terikat. Maka, dibutuhkan proses untuk terus tilawah Al Qur’an dan mentadabburinya, agar ia tidak hilang dari hati. Gue gak menggembosi kalian, enggak. Gue hanya ingin, agar kalian tidak kehilangan substansi dari menghafal Al Qur’an. Gue hanya ingin kita semua sadar untuk terus menghidupkannya dalam setiap langkah kita, bukan hanya sekedar dalam waktu puluhan hari, atau beberapa bulan saja.

                Jujur, gue suka lihat orang yang berusaha keras buat menghafal kitab-Nya. Gue iri melihat mereka, yang siang malam bersusah payah tanpa henti untuk menghafalnya. Dan jujur, kadang gue miris, kalau mereka yang rajin menghafalnya susah, tapi  yang hidupnya asal-asalan bisa menghafal dengan cepat. Dan gue lebih miris, melihat orang pertama pengen jadi kayak orang kedua. Allahummaghfir..

Semoga kita tetap berupaya untuk menjaganya, dalam setiap keadaan kita. Semoga kita tetap diberikan semangat. Dan semoga Allah memudahkan kita untuk selalu dimudahkan dalam menjaga kitab-Nya. Wallahulmusta’an.

Revolusi TPA

09/08/14

Kemaren, gue udah mosting, bahwa salah satu gagasan yang bisa menjadi solusi permasalahan pendidikan agama dewasa ini adalah TPA. Tapi sebenarnya gue juga berfikir, bahwa TPA yang selama ini ada butuh direvolusi. Kenapa? Agar tidak muncul kelak di kemudian hari generasi yang rajin mengaji di masa kecil, tapi lupa dewasanya.

Apa yang gue katakan bukan isapan jempol belaka. Banyak banget mereka para alumni TPA yang lupa mengaji dewasanya. Bahkan, bukan hanya santri TPA, beberapa santri pondok pesantren juga ketika lulus hasilnya jauh lebih mengerikan dibanding mereka yang ‘kenyang’ merasakan kehidupan biasa.

Gue sempet berfikir, apa salah cinta.. Ternyata gue ngawur. Diantara yang sempat gue perhatikan, ada beberapa poin yang kadang kita lupakan dalam mendidik generasi muda yang ikut TPA. Diantaranya...

Pertama, fokus pendidikan TPA yang menurut gue kurang tepat.
 TPA yang ada, biasanya atau mungkin sebagian besar, orientasinya cuman satu, yang penting santri-santrinya pada bisa ngaji. Udah itu cukup bagi mereka. Emang sih enggak salah, tapi menurut gue itu kurang. Apa sih gunanya bisa baca Al Qur’an, tapi kalau akhlak sehari-hari gak mencerminkan Al Qur’an sama sekali? Pertanyaan ini selalu muncul di pikiran gue.

Alangkah baiknya, jika di dalam TPA juga diselingi dengan materi tentang akhlak. Karena akhlak kan utama. Jadi, TPA benar-benar bisa ngasih bekal yang berguna ketika kelak mereka udah dewasa.

Kedua, Orang tua juga harus ikut berperan
Ini juga masalah yang banyak terjadi. Biasanya orang tua itu berfikir, “anakku kan udah ikut TPA, pasti mereka udah dapet bekal. Husnudzon aja deh..” Dan menurut gue ini mindset yang menyesatkan. Karena tugas mendidik agama bukan hanya bagi para muallim TPA, tapi tugas ini juga merupakan milik kedua orang tua.

Keberhasilan pendidikan di TPA tergantung juga pada seberapa besar perhatian orang tua. Kebayang gak sih, seorang anak di TPA belajar ngaji, diajari buat berakhlak mulia, tapi pas pulang lihat orang tuanya malah nonton TV, liat dangdutan, sinetron, atau mungkin cerita ‘siluman’ dan dewa dewi yang merusak pemikiran? Terus ‘dengkul’ itu mau dibawa ke mana?

Peran orang tua yang lain, mereka sepatutnya membantu setiap kegiatan yang diadakan oleh TPA. Misal rihlah, makan-makan, atau acara lainnya. Kadang, gue ngrasa miris. Seorang ortu, bisa ngasih jajan anaknya tiap hari 2000. Tapi, disuruh iuran TPA yang jumlahnya kadang gak lebih dari 5000 per bulan aja susyaaaahhh. Padahal, insyaA gak ada kok guru TPA yang nilep uang... Haduh

Ketiga, Sebaiknya TPA ada program tahfidznya juga.
Ini menurut gue penting. Sekarang banyak berdiri rumah tahfizh, jelmaan dari TPA-TPA. Dan antusiasme para ortu dengan program ini cukup besar. Pasalnya, hasilnya lebih keliatan dibandingkan TPA-TPA biasa. Dan kalian bisa bayangkan, betapa senengnya para ortu kalau tahu anaknya yang masih kecil-kecil udah hafal juz 30 misal?

Program tahfizh sekarang emang lagi ngetrend. Maka, setiap pengurus TPA hendaknya menyiasati hal ini. Mulai belajar lagi, menghafal lagi, biar bisa jadi musyrif yang baik buat adik-adik. Biar TPA jadi ngetrend lagi. Jadi, para ortu gak memandang sebelah mata.

Mungkin 3 hal di atas, yang bisa gue usulkan, agar TPA bisa berevolusi. Agar TPA bisa terus bertahan dan berkarya di tengah kerasnya kehidupan.

Dan satu hal yang sampai sekarang masih gue pikirkan gimana caranya, gue pengen anak-anak lulusan TPA punya wadah organisasi saat mereka dewasa. Emang sih ada rohis di sekolah, tapi kalau di rumah? Jarang banget ada perkumpulan pemuda pemudi yang ngadain pengajian. Kalaupun ada, biasanya hanya sekedar pas bertepatan dengan hari besar doang. Pyuh.

Semoga segera terwujudkan, dan semoga Allah membimbing kita semua. Wallahu a’lam. Syukron :))

TPA untuk solusi

02/08/14


                Sebenarnya, dalam kehidupan manusia ada satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Biasanya dan kayak udah jadi mindset di pikiran manusia kebanyakan, kebutuhan pokok kita adalah Papan, Sandang, Pangan. Emang sih, ada beberapa pakar yang menyatakan kalau kebutuhan primer itu tergantung setiap orang. 3 tadi hanyalah yang umum, yang pasti dibutuhkan. Tapi menurut gue, dan mungkin udah ada kali pakar yang ngungkapin, kebutuhan rohani juga salah satu yang utama. Salah satu kebutuhan yang gak akan mungkin bisa lepas dari diri seorang anak manusia. Siapapun ia, muslimkah, yahudikah, nasranikah, bahkan mungkin atheis.
                
 Dan yang miris, di bumi pertiwi yang mayoritas muslim ini, pelajaran akan agama di sekolah-sekolah minim banget, bahkan mungkin jauh dari standar. seminggu palingan cuma 4 jam perlajaran. Padahal, kebutuhan pokok kita akan agama itu lebih besar daripada kebutuhan akan sandang, pangan, ataupun papan. Karena kekuatan seseorang sebenarnya adalah kekuatan jiwa.

                Semua kekurangan di atas masih di dukung dengan globlalisasi dan ekspansi kebudayaan yang makin gencar. *aku ngomong opo -_-. Wajar, kalau anak sekarang makin pada nakal. Udah mulai gak kenal dengan adab dan unggah ungguh dalam bermasyarakat. Pikirannya mulai individualistik. Pengen enak buat diri sendiri. Mulai enggan berpikir buat orang lain. Mbooyyak. Pantes, kalau ujung-ujungnya para koruptor menjamur di negeri ini.

                Mereka juga jauh dari Al qur’an. Ya jelas, lha wong sejak kecil yang dibaca cuma rumus, novel, ama lirik lagu. Yang didengerin tiap hari juga lagu-lagu jahiliyyah. Semuanya diputer tiap hari dan tiap saat, gak di bis, gak di minimarket, gak di TV. Maka jangan heran kalau kalian lihat anak 2 menara habis naik bis ngapalnya jadi rada susah. Hla di bis lagunya pokok’e joget sih. -_-

                Maka sekali lagi jangan heran, kalau pada akhirnya generasi masa depan indonesia rusak. Itu semua bukan hanya salah mereka, tapi juga salah para petinggi negara, salah rakyat Indonesia, dan salah kita semua.

Terus loe Cuma ngritik gitu?
                Enggak lah. Gue inget perkataan senior gue, kritik tanpa solusi hanya menambah masalah yang tidak berarti. Karna rukun mengkritik kayak rukun syahadat, ada nafyu dan itsbat. Nafyunya, sistem di Indonesia bermasalah, dan salah satu solusi yang gue usulkan yakni kembalikan TPA di masjid-masjid.

                Kenapa melalui TPA? Karena susah memasukkan kurikulum Islami ke sekolah umum saat ini. Apalagi nanti kalau kabinetnya pak J jadi, mungkin sekulerisme bakalan menjadi-jadi. Maka TPA bisa menjadi solusi, yang mampu mengajarkan anak ilmu agama sejak dini. Membekali generasi muda Indonesia dengan ilmu dan adab untuk terus bertahan di tengah gemerlap dunia. Maka TPA bisa menjadi solusi bagi mereka untuk membekali ilmu agama meskipun mereka tak mencicipi dunia kepesantrenan.

                Miris emang, ketika lihat orang tua zaman sekarang bangga ngelesin anaknya ke berbagai lembaga kursus. Jarang banget ada yang mendukung. Bahkan di beberapa kasus tak jarang orang tua yang mencaci anak-anak yang tiap hari ngaji. Para remaja juga sama, jauh lebih milih update status di sosmed daripada sekedar ke masjid buat ngajari anak-anak yang pergi ngaji. Hadeh..

 Selayang Pandang TPA
                Ada pepatah berkata, tak kenal maka tak sayang. Mungkin pepatah tersebut berlaku dalam hal ini. Salah satu sebab yang mungkin membuat orang meremehkan TPA adalah mereka gak pernah tahu sejarah dari TPA itu. Mereka gak tahu bahwa TPA membuat masyarakat dahulu mengenal Al Qur’an. Menyembuhkan masyarakat Indonesia dari penyakit buta huruf Arab.

                Seperti yang termuat di penyuluhagama.com, disebutkan bahwa sejak lahirnya lembaga yang diprakarsai oleh KH As’ad Humam ini, gairah masyarakat Indonesia untuk belajar Al Qur’an semakin meningkat. Hal ini didukung dengan ditemukannya metode Iqro’ dalam pengajaran Al Qur’an. Bahkan, KH As’ad Umam juga mendapat penghargaan berkat jasa beliau itu. Info selengkapnya bisa dibuka situsnya disini.


                  Kalau kata bang Wikipedia, pengertian dari TPA adalah lembaga atau kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan nonformal jenis keagamaan Islam yang bertujuan untuk memberikan pengajaran membaca Al Qur’an sejak usia dini, serta memahami dasar-dasar dinul Islam pada anak usia taman kanak-kanak, sekolah dasar dan atau madrasah ibtidaiyah (SD/MI) atau bahkan yang lebih tinggi.
                Jadi, udah paham?
--- --- ---

                Gue pernah baca di salah satu poster kurang lebih begini.
              “Jika kalian ingin mengetahui tingkat keIslaman suatu desa lihatnya masjidnya. Jika kalian ingin mengetahui tingkat kemakmuran masjidnya lihatlah TPAnya.”

                Maka, sudah selayaknya bagi kita kembali memakmurkan masjid. Hidupkan kembali ruh cinta Al Qur’an. Jangan minder dan enggan buat sekedar membantu mengajar TPA di masjid sekitar. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Kenapa dia stalking?

01/08/14

              
  Stalking? Istilah ini mulai populer beberapa tahun terakhir. Semua berawal sejak sosmed menjadi kebutuhan sosial. Dan bicara stalking saat ini, berarti kita bicara tentang cyber world. Karena stalking dewasa ini biasanya dilakukan dalam cyber world.

                Beberapa waktu yang lalu gue sempet googling, ngutek-utek mbah google dan coba mencari tahu apa sebenarnya arti dari stalking. Di google translate, stalking berarti menguntit dengan hati-hati. Semacam kucing ngintai bandeng gitu.

                Gue juga buka salah satu situs tentang psikologi, psikoterapis.com dan gue dapat arti yang lebih mengerikan. Stalking adalah kata yang digunakan dalam menunjuk pada suatu perhatian yang tidak diharapkan dari seseorang atau mungkin sekelompok orang terhadap orang lain. Dalam dunia psikologi sendiri kata stalking digunakan untuk mendefinisikan suatu bentuk perilaku yang cenderung bersifat gangguan, hal ini juga digunakan pada bidang hukum dimana stalking didefinisikan sebagai salah satu bentuk tindakan kriminal.

                Kalau menurut buku psychology of stalking karya Meloy, stalking mempunyai arti kurang lebih perilaku kriminal ketika seseorang memburu atau mengejar orang lain lebih dari batas kewajaran secara obsesif sehingga menjadi ancaman dan berpotensi membahayakan.

                Kayaknya dua pengertian di atas udah cukup menggambarkan pengertian stalking secara ilmiah. Kalau emang pengen mendalami mending ente masuk Psikologi aja.. Ntar kalau udah paham kasih tahu gue. Gue agak berat mencerna kalimat kalimat di atas. -_-

                Dan fenomena stalking akhir-akhir ini semakin merajalela, layaknya jarum eutanasia yang menancap membuat rasa pilu semakin menyesakkan dada. *ra nyambung. Dan jujur, gue termasuk dari mereka yang ikut-ikuttan jadi stalker yang jumlahnya udah bejibun. Mungkin kalau para stalkers buat partai politik bakalan ngalahin banteng dan garuda. Eoooh..

                Yang bisa gue pahami dari pengertian di atas, suatu tindakan bisa dikatakan stalking kalau hal itu berbahaya dan berpotensi membahayakan. Berarti yang selama ini gue lakukan gak bisa  disebut stalking dong, kan gue gak pernah membahayakan orang. Malah kalau obyek stalkingnya dapet masalah kadang gue doakan biar dipermudah. Kan postif. Berarti? Atau kalau kalian pengen stalking barakah bisa stalk akun fb gue. Ingat Fb bukan Twitter. Isinya quote-quote keren, yang bermanfaat InsyaA. Berarti? Gue lagi promosi -_-

                Kenapa dia stalking, itu judul yang gue pilih. Setelah gue pikir dan coba analisis, ada 2 penyebab utama yang menyebabkan orang jadi cyber stalker. Pertama, mereka adalah kumpulan dari para mantan. Bisa mantan teman, mantan pacar, mantan sahabat, mantan TTM, bahkan mungkin mantan musuh. Dan mereka takut untuk kembali menyapa. Ya udah akhirnya malah jadi stalker, selalu perhatian, tahu apa yang dilakukan si obyek, tapi si obyek tak pernah tahu bahwa mereka masih diperhatikan.

                Kedua, para cyber stalker adalah para pengagum rahasia, yang gak pernah berani buat berkata atau sekedar menyapa. Mereka adalah orang yang hanya bisa mencintai seseorang diam-diam, tanpa mampu berbuat dan bertindak. Mereka tahu segala yang orang yang mereka sayangi lakukan. Mereka tahu bahkan mungkin yang telah si obyek lupakan.

               Mereka adalah orang yang tahu pertama segala yang si obyek perbuat. Tapi mereka cuma bisa jadi penonton setia.  Cuma bisa menikmati setiap yang si obyek lakukan, hingga pada akhirnya mereka pasrah, dan hanya berharap kebaikan bagi keduanya. Emang miris, tapi begitulah hidup. Dan jiwa mereka merasuk dalam diri gue.. Eoooooh

Mungkin tadi sekilas pengertian dari stalking. Semoga bisa jadi pencerahan. Gue berharap kalian gak pada nyerah buat nyetalk akun orang, terutama akun para Ulama.. See.. :))



 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS