Revolusi TPA

09/08/14

Kemaren, gue udah mosting, bahwa salah satu gagasan yang bisa menjadi solusi permasalahan pendidikan agama dewasa ini adalah TPA. Tapi sebenarnya gue juga berfikir, bahwa TPA yang selama ini ada butuh direvolusi. Kenapa? Agar tidak muncul kelak di kemudian hari generasi yang rajin mengaji di masa kecil, tapi lupa dewasanya.

Apa yang gue katakan bukan isapan jempol belaka. Banyak banget mereka para alumni TPA yang lupa mengaji dewasanya. Bahkan, bukan hanya santri TPA, beberapa santri pondok pesantren juga ketika lulus hasilnya jauh lebih mengerikan dibanding mereka yang ‘kenyang’ merasakan kehidupan biasa.

Gue sempet berfikir, apa salah cinta.. Ternyata gue ngawur. Diantara yang sempat gue perhatikan, ada beberapa poin yang kadang kita lupakan dalam mendidik generasi muda yang ikut TPA. Diantaranya...

Pertama, fokus pendidikan TPA yang menurut gue kurang tepat.
 TPA yang ada, biasanya atau mungkin sebagian besar, orientasinya cuman satu, yang penting santri-santrinya pada bisa ngaji. Udah itu cukup bagi mereka. Emang sih enggak salah, tapi menurut gue itu kurang. Apa sih gunanya bisa baca Al Qur’an, tapi kalau akhlak sehari-hari gak mencerminkan Al Qur’an sama sekali? Pertanyaan ini selalu muncul di pikiran gue.

Alangkah baiknya, jika di dalam TPA juga diselingi dengan materi tentang akhlak. Karena akhlak kan utama. Jadi, TPA benar-benar bisa ngasih bekal yang berguna ketika kelak mereka udah dewasa.

Kedua, Orang tua juga harus ikut berperan
Ini juga masalah yang banyak terjadi. Biasanya orang tua itu berfikir, “anakku kan udah ikut TPA, pasti mereka udah dapet bekal. Husnudzon aja deh..” Dan menurut gue ini mindset yang menyesatkan. Karena tugas mendidik agama bukan hanya bagi para muallim TPA, tapi tugas ini juga merupakan milik kedua orang tua.

Keberhasilan pendidikan di TPA tergantung juga pada seberapa besar perhatian orang tua. Kebayang gak sih, seorang anak di TPA belajar ngaji, diajari buat berakhlak mulia, tapi pas pulang lihat orang tuanya malah nonton TV, liat dangdutan, sinetron, atau mungkin cerita ‘siluman’ dan dewa dewi yang merusak pemikiran? Terus ‘dengkul’ itu mau dibawa ke mana?

Peran orang tua yang lain, mereka sepatutnya membantu setiap kegiatan yang diadakan oleh TPA. Misal rihlah, makan-makan, atau acara lainnya. Kadang, gue ngrasa miris. Seorang ortu, bisa ngasih jajan anaknya tiap hari 2000. Tapi, disuruh iuran TPA yang jumlahnya kadang gak lebih dari 5000 per bulan aja susyaaaahhh. Padahal, insyaA gak ada kok guru TPA yang nilep uang... Haduh

Ketiga, Sebaiknya TPA ada program tahfidznya juga.
Ini menurut gue penting. Sekarang banyak berdiri rumah tahfizh, jelmaan dari TPA-TPA. Dan antusiasme para ortu dengan program ini cukup besar. Pasalnya, hasilnya lebih keliatan dibandingkan TPA-TPA biasa. Dan kalian bisa bayangkan, betapa senengnya para ortu kalau tahu anaknya yang masih kecil-kecil udah hafal juz 30 misal?

Program tahfizh sekarang emang lagi ngetrend. Maka, setiap pengurus TPA hendaknya menyiasati hal ini. Mulai belajar lagi, menghafal lagi, biar bisa jadi musyrif yang baik buat adik-adik. Biar TPA jadi ngetrend lagi. Jadi, para ortu gak memandang sebelah mata.

Mungkin 3 hal di atas, yang bisa gue usulkan, agar TPA bisa berevolusi. Agar TPA bisa terus bertahan dan berkarya di tengah kerasnya kehidupan.

Dan satu hal yang sampai sekarang masih gue pikirkan gimana caranya, gue pengen anak-anak lulusan TPA punya wadah organisasi saat mereka dewasa. Emang sih ada rohis di sekolah, tapi kalau di rumah? Jarang banget ada perkumpulan pemuda pemudi yang ngadain pengajian. Kalaupun ada, biasanya hanya sekedar pas bertepatan dengan hari besar doang. Pyuh.

Semoga segera terwujudkan, dan semoga Allah membimbing kita semua. Wallahu a’lam. Syukron :))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saran Anda Untuk Perbaikan Diri dan Koreksi. Terima Kasih :)

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS