Long March, Ring of Lawu Expedition

21/12/14

Kelompok 3, kece-kece yak, eh
Oke, aku mau cerita tentang kegiatan akbar yang udah pernah aku lalui. Long March XI The Ring of Lawu Expedition. :)) Perjalanan rutin tahunan ini emang mengesankan banget. Dan tahun lalu, kami mendapat rute cincin lawu, 99 kilometer melalui jalanan desa dan kota, melewati rimbunnya hutan dan damainya kebun teh, menaklukkan tanjakan dan menikmati turunan. Alhamdulillah alhamdulillah.

“ Impian ada di tengah peluh bagai bunga yang mekar secara perlahan ...”

Oke stop jangan diterusin. Itu cuma cuplikan lirik yang kebetulan (kebetulan?) kedengeran waktu jalan kemaren. Jujur, aku nggak (terlalu) hafal, mungkin kalian ada yang lebih hafal? Sedikit out of topik, sehabis denger lagu ini aku jadi bersemangat lagi setelah mulai penat dan lelah jalan 4 hari.

Yap, kembali ke topik utama, aku pengen bercerita tentang long march tahun lalu. Bukan bermaksud buat pamer atau riya’, cuma buat sekedar berbagi pengalaman dan ilmu yang aku dapetin selama perjalanan 4 hari 4 malam.

Persiapan Long March
Dalam setiap long march selalu dibagi menjadi beberapa kelompok. Untuk memudahkan koordinasi selama perjalanan. Aku tergabung di kelompok 3 dengan ketua temen aku yang buuuaaaiiiik banget, Kak Fahry Fahrozy. Bukan melebaykan, tapi ini sesuai dengan kenyataan. Kalau diantara kalian pengen punya suami atausaudara ipar yang baik, pilih anak ini. Ma Sya Allah banget. Nggak kalah sama Fahry-nya Ayat-Ayat Cinta.









Ahad, 15 Desember 2013

Perjalanan kami dimulai. Berbekal persiapan yang udah ada, terus tausiyah singkat dari Ustadz Syihab, kami berangkat memulai ekspedisi memutari Lawu. Kelompokku berangkat ke 6. Hari pertama katanya paling berat. Dimulai dari Ma’had terus jalan ampe Sarangan.

Tausiyah Ustadz Syihab jilid 1
Dan mitos paling berat itu bukan isapan jempol belaka. Emang bener-bener berat. Tanjakan menukik tajam menanti di jalur yang kami lewati. Setiap berhenti pasti ngabisin satu liter pocary. Parah. Dan ‘Penderitaan’ itu masih ditambah dengan panasnya terik matahari. Fyuh.

Berjalan sekitar 4 jam cuaca berubah, bukan sekedar mendung tapi hujan deras. Aku yang waktu itu sok kuat nekat nggak makai jas hujan. Dan hasilnya aku kedinginan dan selangkanganku lecet semua. Tapi alhamdulillah, hujan akhirnya reda. Setibanya di bundaran HI-nya Tawangmangu, kami berhenti. Nyantap-nyantap cilok yang kebetulan (pedaganya) ikut berteduh. So sweet pokoknya. Sayang disekeliling aku cowok semua -_- :D

Kemudian perjalanan dilanjutkan kembali. Masih diiringi dnegan bulir barakah dari langit. Jam 1 kami sampai di pos bayangan. Istirahat lagi, sholat ama makan siang. Langsung cabut lagi. Setelah itu perjalanan biasa, nggak ada momen spesial, hingga kami tiba di Cemoro Sewu. Sejak awal niat kami emang pengen nguliner di sana. Makan bakso sembari menikmati dinginnya angin semilir. Brrr...

Habis itu udah, kami lanjut. Hujan kembali turun, meski nggak selama dan nggak sederas yang pertama. Kami jalan lagi nyampe pos 1 di Masjid Baitul Makmur Sarangan. Kami tiba nomor 8, sekitar jam 5an. Habis itu, acara pribadi.. :))

Senin, 16 Desember 2013

Tausiyah ustadz Syihab jilid 2, Sarangan
Pagi hari terbangun langsung melakukan tradisi, nyari kamar mandi. Dan Masya Allah, penuh semua sama adho’. Karena udah nggak ketulungan, aku sama temenku paksain buat nyari masjid lain. Alhamdulillah ketemu. Karena udah terlanjur numpang MCK, kami sekalian sholat disana, sembari berbaur sama warga sekitar. Tak lama, karena matahari udah meninggi dan kami udah ada di Sarangan, kami langsung move ke telaganya. Nggak disangka disana temen-temen aku yang lain udah pada berpose. Eaaaa. Aku nggak mau kalah ikut nyempil masang muka sok keyen :3

Pagi itu, ada tausiyah lagi dari ustadz Syihab. Jam 6 perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini kelompok kami dapat giliran pertama. Meski begitu aku pesimis nyampe pos pertama juga. Secara, mentalnya jadi kelompok penyapu -_-“

Di tengah jalan, kami sempet-sempetin beli Mpbox. Buat temen selama di perjalanan. Soalnya perjalanannya serasa garing. Alhamdulillah dapet. Merek kaleng KFC, harga 50.000. Tapi habis itu muncul masalah baru, ga ada memori. Hadeh...

Perjalanan kali ini lebih panas. Panas dalam dua arti. Pertama, udara emang panas banget. Kedua, panitianya salah nyari pos bayangan. Secara, posnya barengan ama anak-anak pramuka yang lagi pada kemah. Kalo cuma cowok mungkin nggak bikin panas, tapi ini ada harem-nya juga. Fyuh. Untungnya aku udah punya tambatan hati, jadi nggak sempet liat liat yang bertebaran kayak gitu. Eh...

Masih sempet maen bola :0
Perjalanan terus berlanjut. Jam 4, kami tiba di daerah yang jalannya super jelek. Bergelombang batu, bukan cuma kerikil. Kalau mobil kalian Honda Jazz, in sya Allah nggak bisa lewat :)). Lubangnya menganga banget. Daerah itu udah masuk Ngawi, bukan di Magetan lagi. Saat itu 4 kelompok saling berlomba susul menyusul buat jadi kelompok terdepan. Tapi tak disangka, ternyata kami tiba di pos kedua bersamaan. 4 kelompok nda. Dan lebih ngagetin, kami nyampai jam setengah empat :0

Waktunya ternyata luang banyak banget. Karena temen-temen aku termasuk tipikal yang waktunya nggak pengen terbuang sia-sia, mereka mencoba cari aktivitas. Maen bola woy --“. Emang itu kaki bukan kaki biasa.

Di sana, kami numpang di SMP 2 Kendal, Ngawi. Sekolahnya memprihatinkan banget. Semoga pemerintah segera membuka mata. Amin


Dan malem hari di sana terasa horor banget. Bayangkan aja, sekolah di tengah hutan, dengan keadaan remang-remang gitu. Dan karena masjidnya penuh, beberapa mudabbir tidur di ruangan kelas, dan bikin merinding. Hiiii.. :|








Selasa, 17 Desember 2013

Pagi, sehabis bersarapan dengan nasi berlaukkan mi, kami berangkat menyusuri Ngawi. Di hari ketiga ini, kami diberi amanah dari asatidzah, untuk menyebarkan biji-bijian di sela-sela perjalanan. Diharapkan dengan disebarnya biji itu, mereka bisa tumbuh dan memberi manfaat bagi semua mahluk, manusia maupun hewan.

Perjalanan hari ketiga ini ekstrim banget. Ada jalur menanjak 60 drajat, yang panjangnya hampir 1 kilometer. Pokoknya kaki pegel semua. Alhamdulilllah, setelahnya kami disambut dengan kebun teh yang hijau, lagi menyejukkan. 8D

Sampai di Mts kehujanan
Pas di kebun teh itu, ada salah satu anggota kelompok kami yang rada nyeleneh. Dia memisahkan diri dari rombongan. Waktu itu, aku takut banget kalau kalau dia hilang atau tersesat. Tapi alhamdulillah, ketua kami, Fahry emang bener-bener keren. Dia kembali ke belakang buat menyemangati adik kelas yang satu tadi. Jazaahullahu khoiron minhu.

Singkat cerita, sampailah kami di SMP Al Irsyad Sine. Sore hari, kami pun menghabiskan waktu sinambi leyeh-leyeh dan dengerin nasyid bareng-bareng. Ditambah ngemil bakso bakar dan hujan yang mengiringi, sore itu terasa indah buat kami. Malem hari, bubur kacang ijo, menemani syahdunya kami di penghujung hari.

Rabu, 18 Desember 2013

Hari itu, hari terakhir long march Ring of Lawu. Pagi hari, sebelum pemberangkatan diisi tausiyah dari ustadzana Zaenal Abidin. Pas tausiyah itu, ada anak-anak pemilik sekolah itu yang mau sekolah, tapi harus tertunda gegara kehadiran kami. Ahihihi, yang ikhlas yak. Dan terlihat, beberapa adho’ curi-curi pandang ke anak-anak MTs tadi. Sekali lagi aku bersyukur, udah punya sawah target, jadi nggak berminat dengan sawah-sawah yang bertebaran di jalanan. Eh.

Makan di Kemuning Resto
Perjalanan hari terakhir terasa ringan banget. Apalagi waktu udah sampai ke perbatasan Karanganyar, rasanya itu plong. Lega. Kelompok kami berjalan dengan santai, karena di perjalanan terakhir ini, ada gosip asatidzah mau menaktrir seluruh santri makan ikan bakar di Resto Kemuning. Dan ternyata hal itu beneran. Alhamdulillah.

Selepas makan-makan, kami kembali melanjutkan perjalanan. Dan sore itu, kami berbarengan 4 kelompok sampai ma’had. Udah kayak orang habis perang gitu. Geger. Apalagi, di jalan kami bertumu dengan rombongan besar anak PRAMUKA. Beneran udah kayak orang mau perang. Dan di jalan, anak-anak pada usil. Saat ada cewek cowok lewat, pasti anak-anak langsung teriak ‘istighfar’. Ahihihi. Dan beberapa mereka jadi salting.

Semuanya bisa jadi model
Jam empat-an, kami sampai di ma’had. Dan terakhir, selepas sholat, kami bercerita sampai kantuk datang.

Mungkin sekian cerita tentang long march tahun kemaren. Sebenarnya aku mulai nulis tentang long march ini setahun yang lalu, tapi karena berbagai kesibukan, akhirnya baru selesai sekarang. Alhamdulillah.


Dan pelajaran yang paling berharga saat Long March adalah kebersamaan dan persaudaraan. Dari perjalanan itu, kita tahu sebesar apakah rasa berkorban dan kecintaan kita pada saudara. Dan aku menyadari, ternyata banyak dari dalam diriku yang masih perlu dibenahi, terutama sikap egoisku. Allah muyassir.

Oh ya, kemaren adik-adik kelas baru saja selesai menaklukkan long march 110 kilometer mereka. Menempuh jalur dari Wonogiri, Ponorogo, sampai Magetan. Aslinya aku pengen ikut, cuma karena berbagai alasan, terpaksa urung dilakukan. Yah, semoga Allah memberkahi semuanya.

Sekian, semoga kita bisa saling berbagi pengalaman dan pelajaran. See

Klaten, 29 Shafar 1436H
Huda Syahdan

Belajar memang Menyebalkan

20/12/14

“Belajar memang benar-benar menyebalkan”

Semua orang mengakuinya.Ya, belajar memang hal yang sangat menyebalkan. Ada begitu banyak materi yang harus dipahami. Ada berjuta rumus yang harus dihafalkan. Ada seabrek hal yang menurut kita tidak berguna, tapi kita dipaksa untuk mempelajarinya.Terutama kami yang terbiasa hidup di lingkungan pesantren.

Memang, bagi kami mengulang-ulang hafalan Al Qur’an -yang bagi sebagian orang di luar susah- bukanlah merupakan pekerjaan yang berat. Tapi belajar ilmu eksak? Ilmu yang berisikan hal-hal yang bersifat duniawi –menurut kami-? Mempelajarinya jauh lebih menjemukan. Ditambah lagi, dengan tausiyah beberapa asatidzah yang menyebutkan, bahwa kita belajar ilmu seperti itu adalah hal yang sia-sia. Maka, kami semakin drop untuk mempelajarinya.

Tapi aku mendapatkan jawabannya
 “Makanya, orang yang bisa belajar itu hebat.”

Sekali lagi, aku disentil oleh salah satu film yang kutonton. Kali ini giliran film Taiwan berjudul You’re the Apple of my eye. Ya, dari situ aku belajar, bahwa belajar memang menjemukan, belajar memang menyebalkan, belajar memang menjengkelkan. Tapi, mereka yang mampu melewatinya adalah orang-orang yang hebat. Belajar memang kadang membuat frustasi, bahkan bagi mereka yang hidup di luar pesantren.

Tapi di situlah letak keajaibannya. Sekalipun ia menyebalkan, tapi memang hanya orang-orang yang bisa mengalahkan kesebalannya itulah orang yang hebat. Mereka mampu menahan ego dalam dirinya. Meski bukan berarti, belajar formal adalah segalanya.

***

“Fisika, matematika, biologi, kimia, buat apa sih mempelajarinya”, kalimat itu sering terngiang di dalam benak kami.
Fisika? Kurang kerjaan menghitung tegangan katrol, kecepatan bunyi, bahkan tegangan pada gagang sapu. Yang penting kita bisa makai kan? Bukankah itu udah cukup?
Matematika? Nggak bakalan juga semua rumusnya dipakai dalam kehidupan. Misalnya SPLDV-nya, nggak mungkin kan pas kita beli siomay kita bilang, “Bang, kalau 2 siomay ditambah 3 tahu kan 5 ribu, terus kalau 5 siomay ditambah 1 tahu kan 7 ribu, berapa harga gerobak siomay-nya?” -_- Yang jelas bagi kami, matematika yang penting bisa menghutang uang dan anggaran kehidupan. Itu cukup.
Biologi? Itu ngapain sih ngapalin profase, anafase, metafase, ama telofase. Telofase, itu apa hubungannya ama singkongfase? Atau mungkin kentangfase? Ada meiosis, mitosis, mendesis, itu buat apa gunanya bagi kita? Yang penting kita hidup udah cukup kan?
Apalagi kimia. Ngapalin berderet deret sistem periodik unsur, buat apa? Ngapain susah-susah menghafal Bebek Mangan Cacing Seret Banget Rasane. Hla wong ngapalin Al Qur’an aja udah susah. Lagian kalau pengen unsur kimia tinggal beli kan? Selesai sudah masalah.

Seringkali kita berfikir, apa yang kita lakukan adalah percuma. Belajar susah-susah, tapi pada akhirnya kelak juga semuanya nggak berguna. Sia-sia. Mubadzir. Itu sering terlintaskan. Maka sekali lagi aku tersentil.

“ Aku berani bertaruh, 10 tahun lagi, sekalipun aku tidak mengetahui apa itu log, aku masih bisa hidup baik-baik.”
“ Emm”
“ Apakah kamu percaya?”
“ Ya, percaya kok”
“ Lalu kenapa kamu masih giat belajar?”
“ Dalam kehidupan manusia, memang banyak usaha yang tidak membuahkan hasil. “

Fyuh, aku pun harus mengusap keringat kembali. Ya, aku tersadarkan lagi. Memang ada banyak usaha dalam hidup kita yang tidak membuahkan hasil. Dalam belajar, bekerja, berwirausaha, dan dalam urusan cinta. Semuanya sama. Tapi kita lupa, kalau bergerak aja belum tentu membuahkan hasil, apalagi kita diam dan tidak bekerja sama sekali.

***

Sehabis menonton film ini, aku jadi teringat kisah Hajar, yang dahulu berlarian di antara Shofa dan Marwa ketika bayi kecilnya menangis kehausan. Bisa jadi saat itu beliau mengetahui, bahwa memang tidak ada air di kedua bukit itu. Tapi beliau tetap berusaha mengais dan berlarian di antara keduanya. Kenapa? –Wallahu a’lam- mungkin beliau ingin menunjukkan, bahwa beliau tidak berputus asa. Beliau meyakini, bahwa sekali-kali Allah tiada pernah menyiakannya. Dan keyakinan beliau ini, beliau refleksikan dalam usaha yang tiada henti.

Maka aku belajar untuk mencoba menginsyafi, bahwa bisa jadi apa yang kupelajari saat ini, kurang berguna atau mungkin tidak berguna bagi masa depanku kelak. Who knows? Tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya. Tapi aku tetap mencoba berusaha, karena aku yakin sekalipun ending yang tercipta tidak selalu sama dengan yang kita harapkan, tapi Allah selalu menyiapkan yang lebih baik untuk kita sebagai gantinya.

***

Di balik kebanyolan dan kekonyolan film ini yang kadang bikin males, ada banyak hikmah yang bisa kita dapatkan. It’s very recomended bagi kalian yang butuh penguatan atas usaha yang sedang kalian upayakan. Sebenarnya masih ada banyak hikmah lain, cuma mungkin sekarang bukan saat yang tepat untuk membaginya. Semoga suatu saat kita bisa berbagi lagi. Syukron.


Klaten, 28 Shafar 1436H

Huda Syahdan

Tentang sukses yang kita cita

05/12/14

Ketika yang lain masih tersibuk dengan buku dan catatan
Kuberingsut menarik diri dari keramaian
Ada kalanya ikhtiar kita henti
Dan kita ganti dengan doa dan puji

Kau pandangku dengan cinta
Kau berfikir aku bisa
Kau berfikir aku menguasainya

Maka senyum manis coba kupatri
Agar kau memahami
Bahwa bukan itu yang terjadi akhi

Karena aku menyadari
Bahwa sukses yang kita citakan
Tiada semata pada usaha dan perjuangan
Ataupun letih dan kepayahan

Karena aku meyakini
Ia terselip pada rengek yang kita ucap
Pada mushaf yang dengan erat kita dekap
Pada derai linangan di malam gelap
Dan simpuh di hadap-Nya saat manusia terlelap.

Karena aku mengakui
Aku lemah, maka aku berharap pada-Nya
Aku bodoh, maka aku meminta pada-Nya
 Aku kerdil, maka aku berlindung pada-Nya

Maka aku mendekap Rabbku
Bersebab jahil dan hina-Nya diriku

Kampung 2 Menara, 12 Shafar 1436H
Teruntuk sahabatku #PasukanLangit, yang ingin mengetahui cara yang kuupaya:)
Huda Syahdan

We'll miss this moment :')

Mencintainya dalam diam

03/12/14

ramadhan fasting

Mencintai seseorang, adalah suatu hal yang tiada habis untuk diperbicangkan. Ya cinta, mempunyai daya untuk terus mengundang lisan untuk terus berucap, mengundang tangan untuk terus menulis, dan mengundang hati untuk terus berguman. Cinta selalu punya daya yang tiada terduga. Kadang mampu mebuat sang perasa berseri, tapi tak jarang membuat nyeri.

Cinta berawal dari perasaan, begitu kata ustadz Abu Hasanuddin dalam kajiannya di Kajian Ahad Pagi kemarin. Perasaan, jika ia ditanam pada tanah yang bukan miliknya, bisa jadi berakhir tersia, atau bahkan berujung nestapa. Dan bukan haknya untuk mempertanyakan jika suatu hari tanah itu dibeli orang, karena ia tidak berkuasa atasnya.

Mencintai seseorang, beberapa hari terakhir aku merasakan kembali getarannya. Rasa itu menyusup ke dalam hati. Memasuki rongga dan pori-pori batin. Membuatku tersiksa, walau jujur aku menikmatinya. Love is sweet torment, begitulah istilah Maria dalam ayat-ayat Cinta.

Mencintainya adalah sebuah lelucon. Ya, karena aku begitu merindukan sosok yang tiada kutahu perasaannya padaku. Tapi aku menikmatinya. Menikmati setiap detik ia bahagia. Menikmati setiap saat dia ada. Menikmati setiap keadaan yang tercipta.

Aku menikmati mencintainya dalam diam. Dalam keadaan sendiri, yang tiada diketahui kecuali oleh diriku dan Sang Pencipta saja. Meski kadang ada saat aku cemburu dengannya, tapi aku selalu teringat bahwa ia bukan hakku dan aku bukan haknya.

Dalam setiap keadaan yang ada aku selalu menahan untuk tidak memberi sinyal hati. Aku takut jika hubungan kami harus ternodai. Aku takut jika rasa ini tumbuh di saat ia belum layak untuk bersemi. Aku takut, maka aku pun memendamnya.

Aku berusaha menjaga dalam suci dan senyap. Meski aku terus memperhatikan, meski aku terus memantau lini masa akun media sosialnya. Tapi aku selalu diam, tidak berusaha mengeklik tombol suka, atau memberi komentar pada status yang dibuatnya. Aku takut kesucian kita tersia.

Aku diam karena aku ingin menjaganya. Karena seperti yang ditulis mbak Futri -blogger yang blognya nggak sengaja kutemukan- menjaga seseorang yang dicinta berbeda dari penjagaan hewan atau benda lainnya. Jika aku menolongnya saat jatuh, maka hanya kelemahan yang nantinya dia rasa. Jika saat ini aku memberi cinta sebelum masanya, hanya akan menumbuhkan benalu yang merusak di akhirnya.

Seperti yang dituliskan mbak Futri juga, aku pun juga ingin menjadi orang yang pertama mengucapkan selamat saat dia mendapat kebahagiaan, tapi hal itu urung kusampaikan. Aku hanya terdiam di tempatku, berdoa semoga dia tetap mengingat tempatnya di bumi, dan mengingat bahwa segalanya Allah-lah yang beri.

Maka dalam mencintainya, aku memilih untuk menceriterakannya pada buku harian dan Ar Rohman. Aku memilih untuk memperdengarkannya pada tulisan dan rengek pada-Nya yang kulantunkan. Aku memilih untuk bertahan dalam keadaan yang tercipta, sampai kelak hati kita ditaunkan oleh dan pada-Nya.

Karangpandan, 10 Shafar 1436H
Huda S Drajat

Guruku, Pahlawanku

20/11/14

10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan, karena peristiwa agung yang terjadi di Surabaya zaman dahulu. Adalah saat itu, Bung Tomo memimpin kaum pribumi melawan kaum londo yang menirani. Dan terukirlah kalimat yang menyejarah itu, merdeka atau mati, “Isy Karima au Mut Syahida”.

Setiap dari bangsa mempunyai pahlawan, begitu pula ibu pertiwi. Ya, Indoneisa mempunyai berjuta pahlawan, dari yang terkenal mendunia hingga yang menjelata di desa-desa. Ada Tuanku Imam Bonjol dengan perang paderi-nya hingga Pangeran Diponegoro yang dengan perang gerilya-nya mampu menggentarkan Belanda. Tapi ada pula, bahkan bejibun jumlahnya, mereka yang tiada pernah tertulis nama, tapi para generasi penerus masih mewarisi karya.

Sayang, dewasa ini banyak orang yang melupakan jasa-jasa mereka. Meski tak mesti sosok-sosok mereka diabadikan sebagai patung di jantung keramaian. Tak perlu pula nama mereka diabadikan menjadi nama-nama jalan. Tidak, bukan itu yang mereka inginkan. Karena sungguh, bukanlah ketenaran yang mereka citakan.

Dalam berjuang, yang mereka inginkan hanyalah agar anak cucu, agar para generasi penerus melanjutkan perjuangan yang telah mereka mulakan. Mereka hanya ingin bangsa ini maju, menjadikannya negeri yang makmur sentausa, gemah ripah loh jinawi, terberkahi dalam setiap jengkal tanahnya. Itu cukup.

Maka benarlah istilah yang diungkapkan oleh sang bapak Proklamator Indonesia, Ir Soekarno, “JAS MERAH”, jangan sampai melupakan sejarah. Janganlah kita lupa, bahwa negeri ini ada berwasilah dengan jasa para pahlawan.

Di sudut yang lain, ada pahlawan lain yang tiada masyhur. Mereka tiada diberi gelar pahlawan berdasar SK Negara. Jalan-jalan juga tiada dinamai dengan nama mereka. Dan makam mereka pun berbaur dengan rakyat lain dengan bersahaja. Merekalah guru, pahlawan tanpa tanda jasa.

Entah kenapa di hari pahlawan, jasa-jasa mereka jadi sering terlupakan. Dan julukan itu pun seolah menguap ditelan zaman. Bahkan, martabat guru kini semakin direndahkan, dipandang sebelah mata, dianggap sebagai pekerjaan yang tiada bermanfaat di dunia.

Tapi ada juga fenomena yang berkebalikan dari semua itu. Ada segolongan manusia yang lain, yang menganggap guru adalah ranah yang prospek untuk mengeruk kekayaan di dunia. Etos kerja dikesampingkan, sehingga substansi guru yang seharusnya digugu lan ditiru pun jadi terlupakan. Begitu banyak pengajar yang sibuk mencari sertifikasi, hingga teralihkan dari tugas mereka untuk mengajar para siswa dan siswi.

Maka, bukan 100% salah para siswa, jika banyak dari mereka yang melakukan perzinahan di usia belia, lha wong guru-gurunya aja banyak yang selingkuh, bahkan beberapa malah mengajak berhubungan badan dengan muridnya. Maka, tidak bisa disalahkan para siswa, jika akhlak mereka tiada terperi, lha wong gurunya aja nggak bisa memberi contoh banyak lagi.

Sungguh memasygulkan.

Dan kalau berbicara tentang pahlawan tanpa tanda jasa, aku selalu teringat dengan ustadz, guru, dan pengajar-pengajarku di ma’had. Bagiku, merekalah pahlawan yang sejati. Sosok-sosok inspiratif yang rela mengorbankan waktu dan tenaga, hanya untuk mengajar kami, santri-santri yang kadang (n)dablek.

Sungguh, perjuangan mereka begitu mengharukan. Ketika banyak guru yang mengejar gaji dalam mengajar, mereka rela diberi gaji yang tidak banyak, bahkan mungkin sedikit. Seorang ustad pernah berkata ketika mengajar, “kalau seandainya saya hanya mencari dunia, saya tidak akan mengajar di sini. Karena sungguh yang saya temukan di sini adalah barakah, kebahagiaan, dan ketentraman.”

Ustadzana Joko tercinta, mengajari betapa cantik matematika
Ada juga ustadz ustadz yang sebenarnya udah PeWe dan mempunyai posisi yang nyaman di sekolah induk mereka, tetapi mereka rela mengorbankan waktu di akhir pekan mereka, untuk mengajari kami. Dan sayangnya, kami yang diajar kadang kurang memperhatikan, bahkan lebih memilih tidur atau bermain PES di tengah pelajaran. Ya Rabb, ampunilah kami.

Dan bahkan, ada asatidzah yang menempuh jarak puluhan kilometer, menembus gelap dan dinginnya malam, hanya untuk memberi bimbel, tambahan pelajaran kepada kami di malam hari. Begitu bersemangat mereka mengajar, meski kadang kami yang datangnya terlambat dan dengan wajah yang kurang bersemangat. Ya Allah, ijzaahum khoiron mimma aatau
.
Maka terkadang aku berpikir, bahwa sebenarnya ilmu hakiki yang kudapatkan dari mereka bukanlah ilmu eksak atau apa yang menjadi spesialisasi mereka. Sebenarnya, ilmu hakiki yang kudapat dari mereka adalah tentang adab, semangat, dan bagaimana kita berusaha ikhlas di segala lini hidup kita. Semoga Allah selalu memberi keistiqomahan kepada kita dan mereka. Amin.

Klaten,  29 Muharram 1436 H
Huda Syahdan

Ketika KEMENAG PHP

18/11/14

“Aku nggak tahu ini anugerah atau musibah, yang bisa kulakukan hanya bertaqwa pada Allah”
Kalimat nukilan ini pas buat menggambarkan keadaanku saat ini. Ya, harusnya hari ini aku berada di Brebes, mengikuti lomba STQ ke XXII. Tapi apa daya, Allah-lah yang punya kuasa untuk mengatur segalanya.

Semua cerita ini dimulai hari Jum’at kemarin. Habis keluar, biasa kita ber-ndoboz ria di masjid. Saling berceritera tentang kegiatan yang dilakukan dalam hari itu. Nah, pas aku balik ke kamar cerita dimulai. Ada surat yang tiba-tiba nampang di depan kaca lemariku. Kirain sih awalnya itu surat lama. Ternyata baru. Pemanggilan buat mewakili Karanganyar lomba tahfizh 30 juz ke Brebes. what?

Aku bingung. Habis itu aku interogasi semua adho’ di kamar, dan gak ada yang tahu. Aku juga tanya ke temen-temen se-angkatan, dan hasilnya sama. Ini KEMENAG-nya Gaje banget. -___-

Akhirnya besok pagi kuputuskan buat tanya ke penanggung jawab tahfizh ma’had.
“Ustad, besok Senin itu ana maju lomba ke Brebes-kah?”
“Loh, iya toh? Saya nggak tahu malah.”
“What?”, batinku.
Akhirnya undangannya aku kasih ke ustad itu, lalu beliau bilang, “Ya kalau mau ikut-ikut aja nggak papa, itung-itung sekalian persiapan buat ujian tahfizh juga”.
“Uhh”, aku (m)batin lagi.
“Ya udah tadz, insyaA”
Tiba-tiba ada ustad yang nimpali, “Kalau Ustad Fulan paling ente gak disuruh berangkat Da. La wong nggak jelas gini. Gak papa ente jual mahal aja, datengnya agak telat, paling nanti merekanya nunggu” (Sebelumnya aku cerita ke beliau tentang bagaimana pengalamanku nunggu di kantor KEMENAG selama 3 jam)
“Siap tadz”

Habis itu, berjalanlah waktu. Aku cari segala persiapan yang dibutuhkan. Dari baju, FC Akte, sampai pas foto berwarna. Bahkan aku juga udah Foto Copy materi pelajaran Kimia, biar nanti bisa belajar di sana. Begitulah.

Dan hari H, aku masih sempet setoran dulu. Habis itu persiapan, ngobrol bareng adho’, de el el. Jam tujuh seperempat aku baru mandi. Tiba-tiba ada adik kelas yang manggil, “Mas Huda, dicari ustad Fulan. Katanya KEMENAG marah-marah, ditunggu nggak dateng-dateng.”

Habis itu, aku langsung mempercepat langkah. Dan dianter kakak kelasku, aku langsung cabut ke KEMENAG. ngebut mode on pokoknya. Dan kalian tahu, sampai di sana, ternyata aku ditinggal rombongan -_-. Hasbunallah.

Habis itu, kita rundingan sama kepala KEMENAG, dan aku disuruh tetep berangkat. Naik bis sendiri. Payah. Jelas aku tolak lah. Kuker banget.
Dan setelah aku cari tahu keGJan lomba ini, tersimpulkan penyebabnya adalah;
1. KEMENAGnya gak teges ngasih undangan. Masak undangan dititipin ke satpam. Terus langsung dikasih langsung ke lemari lagi. Dan yang bikin tambah bingung, gak ada CP-nya.
2. Ternyata jadwal keberangkatan mereka dimajukan jadi jam 6 pagi. Dan aku gak dikasih tahu hal ini.
3. Mereka pagi itu katanya udah nunggu aku sampai jam setengah delapan, tapi nggak dateng-dateng, akhirnya ditinggal. Aku herannya kenapa mereka nggak konfirmasi ke ustad siapa gitu, tanya ada perwakilan atau enggak. Terus kalau emang ada ditunggu bentar gitu kek.
4. Ketika aku udah sampai KEMENAG, aslinya mereka juga baru sampai Solo, tapi pas dihubungi, mereka nggak mau nunggu.
Pokoknya gara-gara 4 hal di atas, aku jadi males waktu disuruh ngebis sendiri ke Brebes. Ogah. Lha penjabatnya nggak jelas gitu. Dan singkat cerita, aku batal berangkat ke sana, dan akhirnya balik ke Klaten. Meditasi. -_-

Degitulah gambaran umum cerita PHP yang nganyeli kemaren.

***

Afwan kalau ceritanya agak Gaje. Tapi begitulah adanya. Dan ketika aku muhasabah diri sendiri, mungkin kebatalan ikut lomba bermanfaat bagiku. Tapi nggak bisa ditulis, masih belum bisa jaga hati. :))

Semoga Allah segera memperbaiki urusan instansi-instansi di negeri ini.
Oh ya, hari ini Karanganyar tercinta ulang tahun ke 97. Allah yubaarik fiiha :))

Taat meski Berat

13/11/14

Ada beberapa orang yang paling malas jikalau harus berbuat taat. Taat kepada orang tua, taat kepada ayah bunda, atau mungkin taat kepada mereka yang telah mengasuh dan membesarkan kita. Oke, ketiga tadi artinya sama -_-. Maksudku taat dari segala sisi, dari segala bentuk, dan dari siapapun jua.

Teman-temanku merasakan betapa beratnya ujian ketaatan tersebut. Seharusnya pagi ini, mereka berada di Gelora Bung Karno, mengikuti jalannya wisuda akbar ke-5 yang dihadiri oleh Syaikh Misyari Rosyid Al Afasy.

Saat itu, bayangan mereka untuk melihat Syaikh Misyari secara langsung terasa begitu dekat. Tiket kereta api pulang pergi Solo-Jakarta udah dibawa. Tiket masuk GBK juga udah. Bahkan, udah buat kartu pers resmi dari multimedia ma’had, biar bisa melihat sang syaikh lebih dekat. Tapi apa daya, meski sudah mengantongi izin dari madrasah dan kesantrian, ternyata ada salah satu ustadz yang melarang.

Semua usaha udah dilakukan. Melakukan negosiasi ulang, melobi, bahkan mungkin bisa dibilang mendebat ustadz yang bersangkutan. Tetapi beliau tidak bergeming. Dan akhirnya, teman-temanku tersebut batal berangkat ke Jakarta.

Sempat terbesit keinginan untuk tetap berangkat dan kabur, itu yang mereka rasakan. Tapi niat itu buru-buru mereka urungkan. Mereka takut perjalanan mereka justru tidak diberkahi. Ya Rabb, ijzaahum khoiron minhu.

***
Pernahkah kalian mengalami keadaan seperti di atas? Mempunyai sebuah rencana yang matang, mempunyai sebuah planning yang indah tapi nggak jadi dilaksanakan karena nggak dapet izin? Entah dilarang orang tua maupun orang yang berkedudukan di atas kita. Pasti nyesek. Tapi apa yang kalian lakukan, tetap bertahan dalam ke-nyesek-an, atau melanggar larangan?

Pilihan yang begitu berat.

Tapi sungguh, kalau kita telisik cerita-cerita dalam Al Qur’an, ternyata saat-saat seperti ini pernah terjadi. Saat-saat bilamana ketaatan diiringi dengan ujian, tetapi tetap harus dilaksanakan. Saat bilamana ketaatan adalah hal yang harus diutamakan. Allah mengisahkan dalam Al Qur’an, seakan menandakan bahwa perkara seperti ini bakalan sering terjadi dalam kehidupan. Allahu akbar.

Mari kita buka surah Al Baqoroh. Di halaman terakhir juz 2, terpatrilah kisah yang agung itu. Di halaman sebelumnya, Al Qur’an menceriterakan bagaimana kelakuan Bani Isroil sepeninggal Nabi Musa, yang memohonkan sesuatu yang diragukan oleh Nabi mereka. Tapi mereka bersikeras, hingga akhirnya Allah akhirnya memilihkan Tholut untuk memimpin mereka, berjihad menegakkan kalimat-Nya. Tapi kita tahu, pada akhirnya tiadalah menyertainya kecuali sedikit dari mereka.

                Lalu, sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Begitu jernih air yang mengalir, mengundang setiap pribadi untuk melihat keelokannya. Begitu jernihnya ia, seolah menggoda setiap hamba untuk berkecipak bermain dalamnya, meminum darinya dan melepaskan dahaga.

                Keadaan yang lelah setelah perjalanan yang jauh, membuat siapapun yang berada di sana saat itu, semakin berhasrat untuk segera meminumnya. Tapi sang komandan menyergah mereka, “Sungguh, Allah ingin menguji kalian dengan sungai ini. Maka, tiadalah termasuk dari pasukanku apabila ia meminum airnya, kecuali hanya sebanyak tangkupan di tangannya.”

                Maka, tiadalah terasa dari kelompok yang sejak awal memang sedikit itu, kecuali segelintir orang saja. Tholut pun meneruskan peperangan bersama kelompok kecil itu. Dan akhirnya, kita bisa simak di Al Qur’an, “ Fa hazamuuhum biidznillah”. Maka binasalah Jalut atas kehendak Rabb semesta. Allahu akbar.

                Setiap kali kisah ini disinggung saat SAPALA, aku jadi tersadarkan dari niat yang menyimpang. Biasanya, serampung makan pagi, kami berusaha mencuri-curi kesempatan mencari kran, dan meneguk sedikit air darinya. Tapi, sebakda ditahdzir dengan ayat ini, kami jadi tersadar. Ketaatan itu paling utama, karena keberkahan akan amal bergantung padanya.

                Kita tentu sering mendengar cerita tentang perang Uhud. Pada perang tersebut, meski pada hakikatnya kaum Muslimin memperoleh kemenangan, tapi pada dzahirnya mereka dikalahkan oleh kaum musyrikin. Adalah Khalid bin Walid yang ketika itu belum berIslam, yang memporak-porandakan kaum Muslimin. Akhirnya, korban pun banyak berjatuhan.

                Dan musababnya adalah adanya pasukan dari kaum Muslimin yang tidak mengindahkan perintah. Mereka regu pemanah meninggalkan bukit yang seharusnya mereka jaga karena ingin mengumpulkan ghanimah sebagaimana sahabat lainnya. Dan dari bukit itulah Khalid bin Walid melancarkan serangan balasan.

                Begitulah. Maka, pantaslah Rasulullah mewanti-wanti kita dengan wasiatnya yang mulia; “Ushikum bitaqwallah wassam’i waththo’at.” Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar, dan menaat. Meski pada seorang budak Habsyi, meski ia berkulit hitam nan legam.

Ya Rasulallah, sami’naa wa atho’naa

Karangpandan, 1 Muharram 1436H

Suasana Wisuda Akbar 5

*Pada akhirnya, kami mendapat kabar dari salah satu ikhwah yang bisa merapat ke GBK, bahwa Syaikh Misyari membatalkan kunjungannya. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Berkicau bersama Hujan

11/11/14

sumber : madmini

Terkadang hujan malu menampakkan dirinya
Hanya terwakili oleh gerimis dengan rindu terbawa
Menanti akan keberkahan paripurna

Kita merindu hujan
yang menyerta keberkahan
menentram jiwa akan kegalauan
menghidupkan bumi dan menumbuhkan tanaman

Ketika ia mulai menyapa
Satu sunnah acap terlupa
berhujan-hujanan dalam setiap bulirnya
Menikmati setiap bulir kesejukan Sang Pencipta

Maka patutlah tuk kita panjatkan
Segala puji bagi Dzat yang menurunkan hujan
Menambah syahdu dalam setiap amalan
Semoga berkah menyertai setiap guyuran

Ketika hujan mulai mereda
Senja yang menawan terlukis begitu merona
Menentram hati menyejuk mata
Rabbana maa kholaqta hadza bathila

Kampung 2 Menara, 18 Muharram 1435 H
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS