Kepercayaan pada Ban

26/09/14

Judul apaan tuh? Bwahahah. Sesekali aku pengen buat judul postingan yang fenomenal gini. Pasti pada bingung. Apakah mungkin si Huda ini pengen bahas tata cara memilih ban yang baik dan benar? Atau mungkin dia pengen jadi tukang tambal ban?

Ciee, yang bingung. Oke, aku nggak pengen ngasih tips itu, apalagi jadi tukang tambal ban. Judul ini, terinspirasi dari kisah yang ustadzku, Pak Giyato menyampaikan materi sewaktu pelajaran bahasa Indonesia. Begini ceritanya.

Kalian pernah nggak sih, dapetin atau liat orang yang bannya bocor di pinggir jalan? Bilamana ada yang bilang, “Om, bannya bocor!”, atau mungkin ia merasa jalannya rada nggak stabil gitu, apa yang pertama kali ia lakukan? Seharusnya sih dia segera bertanya, “pak tukang tambal ban terdekat mana ya?”, seharusnya. Tapi, ia pasti akan turun terlebih dahulu, lalu memencet bannya dan kemudian berguman, “Bannya memang bocor”. Pyuh..

Begitu juga ketika kalian lagi jalan, ada burung yang muter-muter di atas, lalu tanpa permisi tanpa sungkeman burung itu poop dan kotorannya jatuh di baju kalian. Apa yang kalian lakukan? Aku yakin, pasti kalian bakal ‘ndulit’ kotorannya, terus dicium baunya. Mengetes, dan kemudian berguman, “tahinya emang bau”. Iya kan?

Begitulah, sepertinya sudah menjadi fitroh manusia untuk mengecek dan mentabayuni hal-hal yang menimpanya, atau dikatakan padanya. Nggak bisa asal ngecap gitu. Perlu ada proses dan tahap yang harus dilakukan, itu fitrohnya.

Tapi sungguh, miris kalau lihat segolongan orang dari kita. Mereka yang mungkin rada-rada ‘ekstrim’ gimana gitu, seolah mudah banget buat ngecap orang . Mudah banget bilang si A itu gini, si B itu gitu, hanya berdasarkan kabar burung atau berita yang tak pasti. Dan mereka mengatakannya tanpa ada klarifikasi.

Bisa nggak sih, orang yang berbuat kayak gitu kita bilang ‘menyimpang dari fitrohnya”? Padahal kan, fitrohnya manusia itu ya tadi, mengedepankan baik sangka dan nggak langsung menjustifikasi. Sekalipun ia tahu bahwa pada umumnya tahi burung itu bau, ia tetap berusaha husnudzdzon padanya.

Maka, begitulah seharusnya kita dalam menyikapi sesama. Bahkan, dalam menyikapi seorang pribadi yang mungkin masyhur dengan kesalahan yang jamak dilakukannya pun, kita tetap tidak boleh memandangnya dengan tatapan menghina. Bukankah akan jauh lebih baik jika kita berusaha untuk menyadarkannya?

Mungkin suatu saat aku akan bercerita tentang hal ini, Insya Allah. Tapi sekarang, kita kesampingkan dulu hal tadi.

Kembali ke pokok bahasan, apakah mungkin kita terlalu lalai dengan firman-Nya sehingga kita melupakan yang namanya tabayyun? Bukan Allah telah berfirman dalam kitab-Nya, “ Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasiq dengan sebuah berita, maka ber-tabayyun-lah.” Nah, loh...

Tapi dalam hal tabayyun ini, ada pengecualian. Sekalipun manusia berfitroh untuk ber-tabayyun, tapi berbeda dalam Iman. Dalam iman, kita dipercaya untuk percaya, apapun hal itu. Kita nggak bisa, nggak boleh dan nggak mungkin menyelidiki wujud Allah sebelum kmita beriman pada-Nya, kan?

Misal yang lain, saat orang bilang khomer itu merusak, dan Islam juga mengharamkan. Orang yang beriman nggak perlu meminumnya dulu, melakukan kerusakan, baru bilang, “ternyata bener, khomer itu merusak”. Enggak kan? Begitulah iman.

Maka, aku cuma pengen menutup dengan sentilan. Kalau Allah berfirman untuk menjauhi zina, lalu kita masih berusaha mendekatinya dengan pacaran atau yang lainnya, masih adakah keimanan di hati kita?

Astaghfirullah.
Semoga apa yang aku tulis bisa memberi sentilan. Semoga Allah membimbing kita. Barakallah fiikum. Wallahu a’lam bish showab.

Kehendak-Nya

21/09/14

Ketika kehendakmu tidak sejalan dengan kehendak-Nya
Biarkan kehendak-Nya yang berjalan di atas hidupmu
Karena kehendak-Nya adalah kebaikan untukmu

Ketika inginmu tidak sejalan dengan ingin-Nya
Biarkan ingin-Nya menjadi skenario terbaik bagi hidupmu
Karena Dia MahaTahu segala tentangmu

Biarkan tangisan mengobati kekecewaanmu
Bukan kecewa pada Rabb-mu
Tapi kecewa pada dirimu sendiri
Karena tak mampu berdiri di atas ingin-Nya

Hidup harus dijalani, teman
Semenyakitkan apapun
Siap atau tidak
Karena Rabb-mu tidak butuh persetujuanmu
Atas kehendak-Nya

***
Itu puisinya keren banget yak? Puisi ini juga dimuat di majalah AL-HUFFAZH edisi 8, bersama 2 artikelku yang lain, kenapa dia stalking dan karena cinta tak harus memiliki. Secara, aku mas’ul bagian KIS sih -_-

Oke, lupakan yang tadi. Sebenarnya, puisi di atas bukan orisinil bikinanku. Itu puisi yang aku ubah dari yang kutemuin di buku jadul compang-comping. Buku itu tanpa sengaja bisa jatuh di tanganku waktu kelas 3 Mts dulu. Aku udah lupa judul dan nama penulisnya. Tapi semoga, dengan dimuatnya puisi beliau di majalah ini, bisa menjadi amal jariyah bagi beliau kelak di akhirat.

Buku itu berkisah tentang perjuangan beliau untuk terus bertahan hidup setelah divonis gagl ginjal. Puisi itu ditulis bersama dengan beberapa lainnya, yang mungkin beliau tulis saat beliau merasa kematian terasa begitu dekat di sisinya.

Keinsyafan beliau dalam memaknai hidup yang membuatku tertegun. Jujur, aku tertohok banget. Tapi Alhamdulillah, puisi-puisi beliau berhasil aku amankan hingga saat ini. Alhamdulillah. Allah yubaarik fiiha.

Dari kisah beliau, gue menjadi tersadar, bahwa bukan hanya diri ini seorang yang merasakan pahitnya sebuah “kegagalan”. Aku tersadar dari kenaifan, bahwa sebenarnya masih ada berjuta-juta orang yang merasakan hal yang sama. Tapi banyak di antara mereka, berusaha untuk melapangkan hati dalam memaknainya.

Dan aku yakin, kalian juga pernah merasakan hal yang sama. Dan aku lebih yakin, bahwa di antara kalian juga ada yang lancing, mencoba melangkahi Allah. Menganggap suatu hal penting dan berharga, tapi lupa bahwa Allah lebih tahu tentang kebaikan yang hakiki. Astaghfirullah.

Dan aku pengen cerita satu kisah lagi, yang juga berkenaan dengan kehendak-Nya, tapi dengan sedikit perspektif yang berbeda. Dan kisah ini, terjadi di sekelilingku.

Kalian pernah mendengar nama Andi Wiyarto? Beliau adalah sosok super inspiratif yang kini telah tiada. Alumnus kampung dua menara, yang sepak terjangnya begitu mempesona. Subhanallah pokoknya.

Saat itu, bulan Februari 2013. Saat ketika kita ditakdirkan untuk bertemu, bersama mengikuti dauroh Syaikh Abdul Karim hafidzohullah. Saat itu, beliau bercerita tentang kisah hidup beliau.

Beliau bercerita, bagaimana masa-masa hidup beliau sewaktu masih menjadi santri di sini. Beliau bercerita keadaan orangtua beliau yang saat itu biosa dibilang kurang mampu. Beliau juga berkisah, bahwa saat bersekolah di ma’had ini, Syahriyah beliau nunggak berbulan-bulan.

Bahkan, sampai-sampai beliau dipanggil oleh ustadh Ali Mursyidi, kepala sekolah kami berkenaan dengan tunggakan ini. Beliaupun hanya bisa pasrah. “Kalau saat dikeluarkan juga nggak papa ustadz, saya ikhlas”, tutur beliau. Aku rapopo, Cuma itu yang bisa beliau lakukan. Setelah itu, beliau hanya fokus belajar dan mengaji.

Waktu berlalu, tapi kehendak-Nya berkata lain. Teman-temannya satu angkatan, berinisiatif mengumpulkan dana untuk menalangi tunggakan SPP beliau. Sebuah ukhuwah yang masya Allah. Dan singkat cerita, beliau akhirnya mampu menamatkan pendidikan di ma’had ini.

Banyak prestasi yang telah beliau torehkan, mulai dari menjuarai Olimpiade Matematika dan Fisika tingkat Kabupaten, menjadi wisudawan terbaik, hingga nilai UN yang kalau nggak salah nomor 2 se-Jawa Tengah. Ma Syaa Allah.

Prestasi beliau terus bertambah, ketika beliau menamatkan dua pendidikan sarjana di Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan mengabdika dirinya untuk Al Qur’an. Dan Alhamdulillah, aku bisa bertemu sosok inspiratif ini.

Tapi, setelah kehendak-Nya yang begitu indah, Allah berkehendak yang lain. Sesuatu yang berbeda dengan yang dibayangkan manusia. Saat beliau mungkin sedang menikmati masa-masa ‘pengantin baru’, beliau tiba-tiba sakit dan divonis menderita penyakit kanker darah atau leukimia. Singkat cerita, beliaupun wafat di usia mudanya. Allahumaghfirlahu warhamhu wa 'aafihi wa'fu 'anhu

Sewaktu dauroh dulu, beliau paling atas, tiga dari kiri

***

Begitulah rencana Allah. Ada hal-hal yang nggak bisa kita bayangkan sebelumnya. Ada kebahagiaan, ada kesedihan, tapi yang harus kita yakini bahwa semua itu mengandung kebaikan dan keberkahan.

Mungkin, beliau mas Andi telah tiada, tapi jasanya akan terus dikenang sepankjang masa. Mungkin beliau telah wafat, tapi ruh yang beliau tinggalkan akan selalu membuat kami, santri 2 menara untuk terus bersemangat. Dan mungkin beliau telah meninggal dunia, tapi kami akan terus berusaha untuk meneruskan cita dan perjuangannya.

Karangpandan, 21 September 2014

[PICT] XI Vacation Travel

05/09/14


Sekedar postingan, beberapa hal  dan petualangan yang dilakukan selama liburan kemaren..

Di pantai Klayar

Waktu maen ke rumahnya Kak Bahaul, itu kak Fahry ama Kak Bahaul

Kalau yang ini, gue ama kak Mintul

Ini kita lagi di depan "gua", payah yak..

Yang paling kiri kayak tukang ojek plis..

Waktu silaturahim ke rumah kak Fiki di Semarang

Habis dinner di Solaria, coba-coba Lumpia, dan gue gak suka -_-

Ini Masjid Agung

Di parkiran GM, kak Andi dan Kak Bahaul

Habis lunch, dibayarin kak Maul

Ke 6 pantai bareng keluarga




Kakak gue, mirip gak? :) Kakak perempuan gak diposting, takut timbul fitnah :p
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS