Judul apaan tuh?
Bwahahah. Sesekali aku pengen buat judul postingan yang fenomenal gini. Pasti
pada bingung. Apakah mungkin si Huda ini pengen bahas tata cara memilih ban
yang baik dan benar? Atau mungkin dia pengen jadi tukang tambal ban?
Begitulah, sepertinya sudah menjadi fitroh manusia untuk mengecek dan mentabayuni hal-hal yang menimpanya, atau dikatakan padanya. Nggak bisa asal ngecap gitu. Perlu ada proses dan tahap yang harus dilakukan, itu fitrohnya.
Ciee, yang bingung.
Oke, aku nggak pengen ngasih tips itu, apalagi jadi tukang tambal ban. Judul
ini, terinspirasi dari kisah yang ustadzku, Pak Giyato menyampaikan materi
sewaktu pelajaran bahasa Indonesia. Begini ceritanya.
Kalian pernah nggak
sih, dapetin atau liat orang yang bannya bocor di pinggir jalan? Bilamana ada
yang bilang, “Om, bannya bocor!”, atau mungkin ia merasa jalannya rada nggak
stabil gitu, apa yang pertama kali ia lakukan? Seharusnya sih dia segera
bertanya, “pak tukang tambal ban terdekat mana ya?”, seharusnya. Tapi, ia pasti
akan turun terlebih dahulu, lalu memencet bannya dan kemudian berguman, “Bannya
memang bocor”. Pyuh..
Begitu juga ketika
kalian lagi jalan, ada burung yang muter-muter di atas, lalu tanpa permisi
tanpa sungkeman burung itu poop dan kotorannya jatuh di baju kalian. Apa yang
kalian lakukan? Aku yakin, pasti kalian bakal ‘ndulit’ kotorannya, terus dicium
baunya. Mengetes, dan kemudian berguman, “tahinya emang bau”. Iya kan?
Begitulah, sepertinya sudah menjadi fitroh manusia untuk mengecek dan mentabayuni hal-hal yang menimpanya, atau dikatakan padanya. Nggak bisa asal ngecap gitu. Perlu ada proses dan tahap yang harus dilakukan, itu fitrohnya.
Tapi sungguh, miris
kalau lihat segolongan orang dari kita. Mereka yang mungkin rada-rada ‘ekstrim’
gimana gitu, seolah mudah banget buat ngecap orang . Mudah banget bilang si A
itu gini, si B itu gitu, hanya berdasarkan kabar burung atau berita yang tak
pasti. Dan mereka mengatakannya tanpa ada klarifikasi.
Bisa nggak sih,
orang yang berbuat kayak gitu kita bilang ‘menyimpang dari fitrohnya”? Padahal
kan, fitrohnya manusia itu ya tadi, mengedepankan baik sangka dan nggak
langsung menjustifikasi. Sekalipun ia tahu bahwa pada umumnya tahi burung itu
bau, ia tetap berusaha husnudzdzon padanya.
Maka, begitulah
seharusnya kita dalam menyikapi sesama. Bahkan, dalam menyikapi seorang pribadi
yang mungkin masyhur dengan kesalahan yang jamak dilakukannya pun, kita tetap
tidak boleh memandangnya dengan tatapan menghina. Bukankah akan jauh lebih baik
jika kita berusaha untuk menyadarkannya?
Mungkin suatu saat
aku akan bercerita tentang hal ini, Insya Allah. Tapi sekarang, kita
kesampingkan dulu hal tadi.
Kembali ke pokok
bahasan, apakah mungkin kita terlalu lalai dengan firman-Nya sehingga kita
melupakan yang namanya tabayyun? Bukan Allah telah berfirman dalam
kitab-Nya, “ Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang
fasiq dengan sebuah berita, maka ber-tabayyun-lah.” Nah, loh...
Tapi dalam hal tabayyun
ini, ada pengecualian. Sekalipun manusia berfitroh untuk ber-tabayyun, tapi
berbeda dalam Iman. Dalam iman, kita dipercaya untuk percaya, apapun hal itu.
Kita nggak bisa, nggak boleh dan nggak mungkin menyelidiki wujud Allah sebelum
kmita beriman pada-Nya, kan?
Misal yang lain,
saat orang bilang khomer itu merusak, dan Islam juga mengharamkan. Orang yang
beriman nggak perlu meminumnya dulu, melakukan kerusakan, baru bilang,
“ternyata bener, khomer itu merusak”. Enggak kan? Begitulah iman.
Maka, aku cuma
pengen menutup dengan sentilan. Kalau Allah berfirman untuk menjauhi zina, lalu
kita masih berusaha mendekatinya dengan pacaran atau yang lainnya, masih adakah
keimanan di hati kita?
Astaghfirullah.
Semoga apa yang aku
tulis bisa memberi sentilan. Semoga Allah membimbing kita. Barakallah fiikum.
Wallahu a’lam bish showab.