“Asyrofu ummati Hamalatul Qur’ani wa
ashhaabul lail”.
Sebaik-baik golongan dari umatku adalah mereka, para penghafal Al Qur’an dan
ahli qiyamul lail.
Bagi sebagian ikhwah yang berkonsentrasi dalam menghafal Al Qur’an,
mungkin ada yang menjadikan hadist ini sebagai motivasi. Ada yang menempelnya
di dinding kamar, di pintu lemari, atau mungkin di mushaf yang dengannya sering
berinteraksi. Hadist ini sering mengingatkan di kala futur menghampiri.
Memberi pencerahan dan menggugah jiwa untuk bangkit kembali.
Sebenarnya, kalau kita mau
memperhatikan, ada redaksi unik dalam penyebutan ‘penghafal Al Qur’an’ dalam
hadist Rasulullah tersebut. Rasulullah menyebut mereka yang mulia dengan hamalatulQur’an,
para pengandung Al Qur’an, bukanhuffazhulQur’an. Ada suatu indikasi, yang layak bagi
kita untuk meninjaunya kembali
.
.
Kalau kita tengok sejarah, zaman
dahulu gelar alhafizh sebenarnya disematkan kepada mereka yang mampu
menghafal ratusan ribu hadis, Ibnu Hajar contohnya. Dan kita pun telah akrab dengan julukan nan agung itu, AlHafizh
Ibnu Hajar Al-Atsqoilani. Sungguh, ternyata ada begitu banyak makna yang
terbiaskan di sekitar kita.
Rasulullah menyebut para penghafal Al
Qur’an sebagai para pengandung Al Qur’an, bukan sekedar penjaga, karena –wallahu
a’lam- seorang pengandung akan lebih berhati-hati dengan kandungannya. Ia
akan terus memperhatikannya siang dan malam. Hatinya pun juga selalu memikirkan
apa yang ia bawa, karena sungguh ia tiada ingin semuanya berakhir sia-sia, atau
bahkan berujung nestapa.
Hammalatul Qur’an, seolah mengisyaratkan bahwa Al
Qur’an adalah sesuatu yang harus ia jaga sepanjang hayatnya. Selayaknya bagi mereka
untuk mencukupi asupan gizinya dengan terus mengulangsecaraberkesinambungan dan mengamalkannya
dalam keseharian. Selalu ia jaga kandungan itu dengan vaksin keikhlasan, agar
tiada berakhir dengan sesalan. Dan di akhir, ia berupaya untuk terus melahirkan
generasi pembaharuan, yang rabbani lagi berakhlaq menawan.
Maka sungguh, adalah sebuah keanehan
saat seorang yang mengandung Al Qur’an dalam jiwanya, tetapi dia masih terpukau
dengan rumah yang megah. Sungguh, adalah suatu kemirisan tatkala seorang yang
diberi amanah kalam Sang Kholik Yang MahaMulia, tetapi dia tersilaukan dengan
dengan kendaraan yang mewah. Sungguh, adalah sebuah kesedihan ketika seseorang
yang dijuluki asyrofu ummah, bahkan ahlullahiwakhosshotuhu,
tetapi kebeningan hatinya mudah terhijabkan oleh gemerlap dunia dan perhiasan
yang indah.
Bukan kesalahan untuk memilikinya,
akan tetapi terlalu naif apabila semua hal itu dijadikan tujuan semata. Sungguh
menjadi seorang hamilulQur’an adalah karunia tiada terhingga, nikmat yang
tiada tara, yang memuliakannya di akhirat dan di dunia.Dan juga harus selalu
kita ingat bahwasetiap amal yang bernilai tinggi bisa
menjadi bumerang saat hati diniatkan bukan untuknya lagi. Sungguh, niat begitu
penting, dan menentukan seberapa tinggi derajatnya di hadapan Sang Pemberi
rizqi.
Hadits itu begitu masyhur. Ketika di
hari kiamat kelak seorang Qari’ akan dihadapkan di depan Rabb-Nya. Ditunjukilah nikmat padanya yang
terkarunia di dunia. Ia pun mengakuinya. Lalu ditanyalah ia oleh Sang Pemberi
Karunia, “Amal apakah yang engkau kerjakan dengan nikmat-nikmat itu, wahai
hamba-Ku?”
“Ya Rabb, sesungguhnya daku membaca
Al Qur’an, mempelajari, dan mengajarkannya semata-mata hanya untuk-Mu.”
“Dusta, engkau belajar Al Qur’an
hanya agar dikata engkau alim di antara manusia. Dan engkau membaca Al Qur’an
semata-mata hanya agar engkau dikata sebagai seorang Qari’ oleh mereka. Engkau telah
mendapatkannya, dan memang begitulah yang dikata manusia tentang dirimu.”
Kemudian diperintahkanlah Malaikat untuk menyeret dan melemparkannya ke neraka.
Astaghfirullah. Maka kita harus lebih
berhati-hati lagi, menjaga hati ini. Menjaga segumpal daging ini agar terus
lurus menetapi jalan Ilahi. Selayaknya kita takut, karena sesungguhnya dalam
hadist lain Rasul nan Mulia pernah bersabda, “kebanyakan munafik dari ummatku
adalah para Qari’ mereka”
Ya Allah, kami berlindung pada-Mu
dari perbuatan syirik yang nista. Maka, selayaknya bagi kita untuk terus
mengulang hadist yang termaktub di akhir doa pertama dari kumpulan doa khotmilQur’an.
“Waj’alhu lanaa hujjatan Yaa Rabbal ‘Alamin”. Duhai Rabbi, jadikanlah
dia hujjah bagi kami.
Laa haula wa laa quwwata illa billah.
(terinspirasi dari tausiyah ustadzana
Salim A Fillah)
NB: Artikel ini juga dimuat di majalah Al Huffazh edisi 9, "Al Quran, Bukan Prosesor Biasa"
NB: Artikel ini juga dimuat di majalah Al Huffazh edisi 9, "Al Quran, Bukan Prosesor Biasa"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran Anda Untuk Perbaikan Diri dan Koreksi. Terima Kasih :)