Kupu-kupu sebelum Kupu-kupu

28/07/15

“Binatang apa yang paling aneh?”.
“Belalang kupu-kupu, siang makan nasi kalau malam minum susu”
Tebakan tersebut menjadi begitu tersohor di masa kecil saya. Pun juga ketika seorang ibu me-ngliling bayi kecilnya dengan kata legendaris tersebut, ditambah sedikit awalan “pok ame-ame”. Ah, jadi rindu masa ketika memberi hiburan ke anak dengan kata cinta, bukan sekedar gadget yang tak bernyawa.

Tentang kupu-kupu, pasti kita pernah mendengar lirik lagu ini, “persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu”. Entah siapa penyanyinya saya sendiri juga ndak tahu, yang jelas ada salah satu stasiun televisi swasta yang menayangkan sinetron dengan soundtrack lagu ini, yang juga sempat menjadi salah satu topik obrolan kawan-kawan saya di mahad Al Mukmin semasa itu. Saya cuma bisa menyimak tanpa mampu menanggapi, Alhamdulillah saya emang rada kuper. :)

Mengenang masa di pondok emang tiada habisnya, pun bagi saya yang baru purna dari mahad ‘Hidup Mulia’. Masa-masa di pondok ibarat sejarah kehidupan yang perlu dikenang, bersebab di dalamnya sebuah pribadi bermetamorfosa, dari seorang yang mbok-mbokan dan suka dimanja menjadi sosok pasangan-able yang ndak cuma memancarkan akhlak mulia, tapi juga bermanfaat bagi sesama. Seperti ulat yang banyak dilirik jijik, menjadi kupu-kupu yang berwarna ceria. Menebarkan keindahan ke alam semesta. Tak salah mungkin kalau kita mengganti lirik lagu di atas menjadi, “Pesantren itu bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu.”

Setiap santri pasti punya kenangan indah tentang kehidupan kepesantrenannya. Dari sejak awal ia masuk, hingga ketika ia berisak mengikrarkan janji untuk berbudi mulia saat wisuda. Namun, izinkan saya bercerita tentang dua orang pribadi, orang yang begitu dekat dengan saya dan telah saya anggap adik kandung sendiri, tentang secuil perjuangan mereka. Perjuangan bermetamorfosa menjadi akhwat yang sejati, yang kelak kan dicemburui para bidadari.

Saya menjadi saksi mereka berdua berkembang semasa SMP. Melihat dari masa masih dipenuhi kepolosan, sampai masa ketika saya harus menundukkan pandangan. Melihat bagaimana mereka menetapi dan meniti jalan ini, hingga mampu berubah menjadi sosok yang layak untuk diceritakan kebajikannya. Sekarang pun, mereka masih terus berusaha berubah, karena saya yakin mereka sadar, jalan hijrah yang kan ditempuh masih panjang.

Sungguh, saya merasa malu, sering dianggap oleh mereka berdua sebagai sosok yang memotivasi, padahal sesungguhnya sayalah yang lebih layak untuk bercermin dan berbenah diri. Izinkan saya berceritera tanpa menyebut nama asli mereka, pun bagi yang tahu dimohon untuk tidak menyebarkan siapa sebenarnya mereka, demi menjaga keikhlasan hati mereka berdua.

Dia yang pertama, anggap saja si A. Dia terlahir dari keluarga pra-sejahtera. Kata orang pun rumahnya mewah, mepet sawah. Tapi semangatnya menuntut ilmu tak tergantikan. Setiap saya taklim ia selalu menjadi juru bicara kawan-kawannya. Mencecar saya dengan pertanyaan yang kadang bisa dikatakan rada nyeleneh, tapi justru berbobot dan menyadarkan. Kalau dia tak ada, masjid pun seolah terasa sepi. Tapi jujur, saya bersyukur bersebab itulah saya sadar, aih ilmu saya masih terlampau sedikit. Dan hal itu pun masih berlanjut hingga generasi berganti.

Purna masa studi di mahad ‘hidup mulia’, saya mendengar kabar yang mengejutkan, lebih tepatnya menggembirakan. “Kak, insyaAllah saya sama si B (sahabat karib si A yang nanti akan saya ceritakan) akan melanjutkan sekolah di pondok. Si B alhamdulillah sudah diterima di mahad X. Kalau saya, doakan biar diterima di mahad Y“. Saya yang menerima kabar itu pun hanya bisa mengamini, seraya berdoa semoga niat mulianya dikabulkan oleh Rabbul Izzati.

Suatu ketika, dia datang ke rumah nenek saya di lereng gunung lawu. Bukan, bukan menemui saya, tapi menemui tante saya yang juga tetangga dia di desa aslinya. Mereka mengobrol lama berdua di ruang tamu, dan saya pun ndak berani menyimak. Obrolan wanita. Beberapa waktu pun saya baru mendengar kabar dari umi, ketika tante saya bercerita. Ternyata sore itu dia menangis, bercerita tentang kendala buat masuk ‘penjara suci’.

Jadi, uminya alhamdulillah, akan dikaruniai buah hati lagi. Tapi dari situlah kegalauan itu bermula. Uminya kini tak lagi bisa bekerja seperti biasa, demi kebaikan janin yang dikandungnya. Dikhawatirkan jika dia bersekolah di pondok, orang tuanya ndak bisa membiayai, dan lebih takut seandainya dipaksa, sekarang bisa masuk tapi nantinya berhenti di tengah perantauannya. Umiya pun menyuruhnya untuk menunda studi setahun dulu, menggunakan setahun itu untuk bekerja, membantu menyokong kehidupan keluarga sambil mengumpulkan tabungan untuk kelanjutan studinya.

Dia kurang setuju dengan yang diinginkan uminya. Bukan, bukan karena niat durhaka. Tapi dia takut ketika ia berkerja sekarang, niat untuk masuk pesantren jadi hilang terpudar. Saya yang mendengarnya langsung terenyuh. Ketika mendengar itu dari umi, saya langsung bilang dengan aksen jawa yang kurang lebih artinya, “Mi, alhamdulillah kan kita diberi rizki agak lebih oleh Allah. Lha uangnya beberapa juga dipakai buat anak asuh kan? Mending beberapa anggaran diarahkan buat membantu si A. Saya kan pernah mengajar dia, insyaAllah semangat dan kepribadiannya baik kok mi.”

Saat itu, saya menyampaikan dengan wajah rada melas. Dan hal itu cuma berani saya sampaikan ke umi, soalnya kalau ke ayah takutnya dikira ada apanya. Alhamdulillah, umi bilang “InsyaAllah, nanti umi sampaikan ke ayah.” Alhamdulillah, akhirnya permintaan saya beliau kabulkan.

Dan Senin kemarin, kami mengantarnya ke mahad atas permintaan salah satu teman karib ayah yang juga kolega mahad Y. Saya pun turut serta, karena mau sekalian mampir ke Magetan, memenuhi beberapa keperluan kuliah. Sesampainya di mahad yang dituju, saya ndak tega lihat kondisinya. Jauh banget dari mahad saya semasa SMP dulu, apalagi sama mahad ‘hidup mulia’. Terpencil dari kota, aksesnya pun jauh dari kendaraan umum. Saya sendiri merasa, ah mungkin kalau saya yang dilepas di mahad ini mungkin ndak bakal betah lebih dari sehari.
Tampak depan mahad yang akan dicintainya

pembangunan mahad yang sampai sekarang masih berjalan

Di sana teman karib ayah menceritakan bagaimana keberkahan mahad tersebut. Tentang kebersahajaan dan kesederhanaannya, yang justru darinya naungan barakahNya tercipta. Meski dengan lauk seadanya, tapi  justru banyak santriwatinya lebih gemuk ketika pulang menikmati liburan. Mungkin segala keadaan tersebutlah yang justru bisa melahirkan para calon ummahat sejati. Ya Rabb, baarik lahunn wa baarik ‘alaihinn.

Sepulang dari sana, saya mendapati cerita lain yang juga membuat saya terharu. Tentang bagaimana si A tadi semasa SMP mengumpulkan uang untuk bekalnya, bahkan ketika libur UN menjadi seorang perawat bayi dadakan selama 2 bulan agar bisa memenuhi mimpinya menuntut ilmu di mahad. Tentang bagaimana dia menjadi yang pertama meminta brosur dan mendaftar, bahkan ketika pendaftaran sendiri belum dibuka. Dan saya teringat tak henti ketika kami hendak pulang, dia mengucap jazakumullah terus. Meski tak memandang langsung, tapi saya bisa merasakan bagaimana terharunya dia. :’( Tapi alhamdulillah mulai hari itu, akhirnya terwujudkanlah mimpinya untuk menjadi seorang santriwati.

Berkisah ke sosok lain, sahabat si A yang belakangan saya ketahui ternyata dia juga saudara sepupunya. Seorang yang bagi saya lebih nyantri daripada seorang santriwati yang sejati. Semasa SMP pun, saya begitu takjub melihat amalnya. Bagaimana dia meski di sekolah negeri masih bisa istiqomah menghafal juz amma, melaksanakan sholat dhuha, dan juga berpuasa. Puasanya pun bukan hanya puasa senin dan kamis, tapi juga digabung dengan puasa dawud. Saya selalu malu, jika membandingkan amal saya dengan amalnya.

Semasa saya ajar pun, si B ini juga hampir selalu hadir. Meski lebih banyak diam, tapi dia seolah menjadi ruh dari halaqoh itu. Ketika dia berhalangan, seolah ada sesuatu yang tidak terhadirkan. Sebenarnya, saya dan bahkan tante saya sendiri pun menyayangkan, kenapa dia masuknya mahad X tadi. Tapi tak apalah, bukankah tak bermasalah jika sama-sama menimba ilmu agama, pikir kami. Dan juga, hawa mahad ‘hidup mulia’ insyaAllah bisa mewarnai langkahnya untuk tidak tergesa.

Tentang si B, mungkin tiada banyak kisah yang bisa saya ceritakan. Karena meski belum layak dikatakan berakhlaq Al Quran sempurna, tapi setiap amalnya selalu membuat saya terkesima. Kaana amruhaa ‘ajaban, mungkin itu agak bisa mewakilinya.

Oh ya terlupa. Semenjak lulus dari jenjang SMP bulan lalu, mereka berdua memutuskan untuk meningkatkan kualitas berpakaian mereka. Memang sudah syar’i sebelumnya, tapi mereka menambahkan cadar untuk lebih menjaga taqwa. Bercerita tentang mereka, sebenarnya mereka tak layak untuk dianalogikan sebagai ulat yang bermetamorfosa. Karena mereka telah menjadi kupu-kupu, sebelum meringkuh dalam kepompong untuk bermetamorfosa lebih indah dari sebelumnya. Mungkin dari situlah saya terinspirasi memberi judul artikel ini, kupu-kupu sebelum kupu-kupu. Barakallahu fiihimaa.

Sebenarnya saya malu bercerita tentang kedua sosok ini di sini, karena jujur saya begitu banyak menimba ilmu dari mereka. Saya bersyukur, pernah bertemu dengan kedua sosok ini, karena mungkin setelah ini, akan susah bagi kami untuk berinteraksi kembali. Bagaimanapun, kami bukan mahram kan? Sebenarnya juga ada beberapa yang lain yang juga punya cerita, hanya karena keterbatasan saya ndak sampaikan semua. Saya berharap, jika calon istri saya kelak saat ini membaca artikel ini, mohon kelak ingatkan saya untuk menyambung tali silaturahmi dengan mereka. Jangan berburuk sangka juga ya. Hehe.

Semoga cerita di atas bisa memberi kita motivasi. Saya hanya menitip doa bagi kebaikan saya, kalian semua, dan terutama mereka kedua. Semoga Allah selalu mengilhami kita jalan yang Dia ridhoi. Semoga kita diberi keistiqomahan untuk meniti ‘jalan lurus’ ini. Wallahu a’lam bish showab.

Klaten, 12 Syawal 1436 H
Huda S Drajad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saran Anda Untuk Perbaikan Diri dan Koreksi. Terima Kasih :)

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS