Lelaki rabun bertabur cahaya

01/10/14

Innamal a’maalu bin niyat

Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, itulah sabda Rasul yang mulia. Yang dipilih Imam An Nawawi sebagai hadits pertama dari 42 kumpulan haditsnya. Menggambarkan betapa mulianya niat, betapa besarnya, betapa pentingnya.

Ya, niat, pondasi dari setiap amal yang kita lakukan. Dan di zaman yang penuh tekanan ini, ada banyak hal yang kita lupakan. Niat amal sholeh untuk kita sendiri, bagus tapi masih ada kekurangan. Bagus, tapi masih ada yang terlupakan. Bagus, tapi masih butuh sedikit perbaikan.

Sungguh, kita akan termasuk dari golongan orang egois, tatkala kita berniat untuk kebaikan kita semata. Sungguh, kita akan termasuk dari golongan orang individualis, manakala kita hanya berupaya untuk kemajuan kita saja. Kenapa? Karena Islam mengajarkan kita untuk maju bersama. Karena Islam mendorong kita untuk terus berbagi. Berbagi harta, berbagi cinta, berbagi cita, dan berbagi suka duka.

Karena dengan bersama, keajaiban akan terjadi. Karena dengan bersama, keajaiban logika langit mampu bekerja. Karena dengan bersama, niat kadang menjadi kenyataan, meski kita belum mampu melaksanakannya.

Begitulah, karena saat kita berfikir sendiri, otak ini terlalu lemah untuk ditimpa berbagai masalah. Dengan berfikir bersama, cita-cita akan mudah tercapai. Karena saat bersama, kita akan saling mengisi. Saling menambal kekurangan antar pribadi. Saling mengingatkan saat lalai menghampiri. Dan saat futur menerpa bisa terus berbagi motivasi. Semua berawal dari niat untuk kebaikan bersama.

***

Lelaki rabun dan lelaki buta, dari merekalah cerita ini bermula. Kisah agung nan mulia. Mungkin kisah mereka akan membuka sebuah cakrawala, yang bagi kita kadang dilupa.

Tersebutlah di zaman dahulu, ketika kekuasaan Islam masih berjaya, dua orang yang bersahabat. Mereka bukanlah sahabat biasa, karena yang satu rabun, dan yang lain buta. Rojulun aghmadh wa rojulun a’ma.

Mereka begitu padu, berangkat ke masjid bersama berlalu. Sang lelaki rabun menuntun Sang Kawan, menunjukkan padanya rumah Ar Rahman. Tapi sebagaimana sunnatullah yang selalu ada, banyak pribadi yang mencibir dan mencela. Bagaimana seorang yang rabun menuntun si buta, padahal untuk melihat saja, dia harus bersusah dan melebihkan usaha? Sebuah pemandangan yang mengundang gelak tawa.

Sang lelaki rabun pun menyadarinya. Maka, suatu hari dia berkata pada sahabatnya, “Sepertinya kita harus mengambil jalan yang berbeda, agar tiada lagi orang yang mencela kita.” Sang kawan menyergah, “Kenapa? Bukankah ketika kita dicela mereka mendapat dosa dan kita memanen pahala? Bukankah ketika kita dihina mereka justru yang kan terhina dan kita menjadi mulia?” Dijawablah sang buta dengan ketulusan dan senyum yang menawan, “Ya, kau benar akhi. Tapi, aku lebih suka jika kita mendapat kebaikan dan pahala, dan mereka juga mendapatkan hal yang sama”

Subhanallah. Begitulah kharateristik orang terdahulu, berbuat kebaikan yang sering membuat kita tersipu. Begitulah sifat-sifat agung yang terpancar dalam hidupnya, ingin selalu berbagi dan memberi cahaya, meski hal itu tiada disuka. Begitulah watak agung yang mereka wariskan kepada generasi penerus, yang tiada dilekang zaman dan tiada tergerus.

Karangpandan, 7 Dzulhijjah 1435

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saran Anda Untuk Perbaikan Diri dan Koreksi. Terima Kasih :)

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS