Innamal a’maalu bin niyat
Sesungguhnya
setiap amal itu tergantung pada niatnya, itulah sabda Rasul yang mulia. Yang
dipilih Imam An Nawawi sebagai hadits pertama dari 42 kumpulan
haditsnya. Menggambarkan betapa mulianya niat, betapa besarnya, betapa
pentingnya.
Ya, niat,
pondasi dari setiap amal yang kita lakukan. Dan di zaman yang penuh tekanan
ini, ada banyak hal yang kita lupakan. Niat amal sholeh untuk kita sendiri,
bagus tapi masih ada kekurangan. Bagus, tapi masih ada yang terlupakan. Bagus,
tapi masih butuh sedikit perbaikan.
Sungguh, kita
akan termasuk dari golongan orang egois, tatkala kita berniat untuk kebaikan
kita semata. Sungguh, kita akan termasuk dari golongan orang individualis,
manakala kita hanya berupaya untuk kemajuan kita saja. Kenapa? Karena Islam
mengajarkan kita untuk maju bersama. Karena Islam mendorong kita untuk terus
berbagi. Berbagi harta, berbagi cinta, berbagi cita, dan berbagi suka duka.
Karena dengan
bersama, keajaiban akan terjadi. Karena dengan bersama, keajaiban logika langit
mampu bekerja. Karena dengan bersama, niat kadang menjadi kenyataan, meski kita
belum mampu melaksanakannya.
Begitulah,
karena saat kita berfikir sendiri, otak ini terlalu lemah untuk ditimpa
berbagai masalah. Dengan berfikir bersama, cita-cita akan mudah tercapai.
Karena saat bersama, kita akan saling mengisi. Saling menambal kekurangan antar
pribadi. Saling mengingatkan saat lalai menghampiri. Dan saat futur menerpa
bisa terus berbagi motivasi. Semua berawal dari niat untuk kebaikan bersama.
***
Lelaki rabun dan
lelaki buta, dari merekalah cerita ini bermula. Kisah agung nan mulia. Mungkin
kisah mereka akan membuka sebuah cakrawala, yang bagi kita kadang dilupa.
Tersebutlah di
zaman dahulu, ketika kekuasaan Islam masih berjaya, dua orang yang bersahabat.
Mereka bukanlah sahabat biasa, karena yang satu rabun, dan yang lain buta. Rojulun aghmadh wa rojulun a’ma.
Mereka begitu
padu, berangkat ke masjid bersama berlalu. Sang lelaki rabun menuntun Sang
Kawan, menunjukkan padanya rumah Ar Rahman. Tapi sebagaimana sunnatullah yang
selalu ada, banyak pribadi yang mencibir dan mencela. Bagaimana seorang yang
rabun menuntun si buta, padahal untuk melihat saja, dia harus bersusah dan melebihkan
usaha? Sebuah pemandangan yang mengundang gelak tawa.
Sang lelaki
rabun pun menyadarinya. Maka, suatu hari dia berkata pada sahabatnya,
“Sepertinya kita harus mengambil jalan yang berbeda, agar tiada lagi orang yang
mencela kita.” Sang kawan menyergah, “Kenapa? Bukankah ketika kita dicela
mereka mendapat dosa dan kita memanen pahala? Bukankah ketika kita dihina
mereka justru yang kan
terhina dan kita menjadi mulia?” Dijawablah sang buta dengan ketulusan dan
senyum yang menawan, “Ya, kau benar akhi. Tapi, aku lebih suka jika kita
mendapat kebaikan dan pahala, dan mereka juga mendapatkan hal yang sama”
Subhanallah.
Begitulah kharateristik orang terdahulu, berbuat kebaikan yang sering membuat
kita tersipu. Begitulah sifat-sifat agung yang terpancar dalam hidupnya, ingin
selalu berbagi dan memberi cahaya, meski hal itu tiada disuka. Begitulah watak
agung yang mereka wariskan kepada generasi penerus, yang tiada dilekang zaman
dan tiada tergerus.
Karangpandan, 7 Dzulhijjah 1435
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran Anda Untuk Perbaikan Diri dan Koreksi. Terima Kasih :)