Dokter menjadi salah satu profesi yang didambakan semua orang. Betapa
di masa kecil dulu, banyak kawan yang bercita untuk menjadi dokter di
masa dewasa. Pun, masih banyak juga para orang tua berharap memiliki
anak maupun menantu seorang dokter, dengan harapan kesejahteraan hidup
di masa mendatang.
Alhamdulillah, di masa ini saya diberi kesempatan untuk menjadi salah
satu yang berproses mendapatkan gelar tersebut. Jujur, ada dua
alternatif impian saat dulu memutuskan untuk mengambil jurusan dengan
passing grade tertinggi ini.
Pertama, saya ingin menjadi orang kaya. Bukan hanya kaya biasa, tapi
kaya di atas orang kaya rata-rata. Saya bermimpi ingin menjadi seperti
dokter tundjung, menginfakkan sebagian besar harta untuk Islam, dan
menyambung estafet perjuangan.
Kedua, saya bermimpi untuk mewujudkan bimaristan kedua. Sebuah
lembaga pengobatan gratis, bahkan memberikan emas kepada pasien atas
sakit yang membuat mereka tidak bisa bekerja. Meski seiring berjalannya
waktu, saya tersadar bahwa terkadang gratis bukan menjadi sebuah
kebaikan.
Dan, semakin menyelami dunia profesi ini, saya justru tersadar bahwa
dunia ini tak sesederhana yang saya bayangkan sebelumnya. Ada begitu
banyak bumbu sedap yang tertambahkan, dari isu moratorium kedokteran,
isu tentang kebijakan jaminan kesehatan, isu tentang nasib dokter dan
layanan primer masa depan, hingga nasib dokter dengan stigma masyarakat
dan benturan-benturannya dengan profesi lain di dunia kesehatan.
Di balik berbagai stigma negatif yang ada, kadang rasa prihatin itu
menyusup. Bagaimana seorang dokter dianggap mengejar harta dan dunia,
padahal sebenarnya dokter juga tetaplah manusia. Bagaimana keawaman
masyarakat, tekanan yang diberikan, berbagai regulasi dan aturan yang
ditetapkan, membuat posisi profesi ini menjadi dua sisi mata uang. Bisa
mengangkat harkat dan martabat di akhirat dan dunia, atau justru
menghinakan dan membuat manusia menjadi budak dunia.
Ah, begitu pelik.
Tapi saya yakin, bahwa niatan mulia itu masih dimiliki sebagian besar dari kami. Semoga di sisa perjalanan yang masih jauh ini, niatan kita tetap dikokohkan tetap untuknya, dan setiap ujian yang ditetapkan mampu menjadi pelajaran dan pendewasaan kelak nantinya.
Tapi saya yakin, bahwa niatan mulia itu masih dimiliki sebagian besar dari kami. Semoga di sisa perjalanan yang masih jauh ini, niatan kita tetap dikokohkan tetap untuknya, dan setiap ujian yang ditetapkan mampu menjadi pelajaran dan pendewasaan kelak nantinya.
Klaten, 9 Juli 2016
Sebuah coretan tanpa inti utama :“
Sebuah coretan tanpa inti utama :“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran Anda Untuk Perbaikan Diri dan Koreksi. Terima Kasih :)